Menuju konten utama

Yang Dilakukan Para Presiden Indonesia Saat Berumur 56 Tahun

Saat berumur 56 tahun, Sukarno mulai menggagas Demokrasi Terpimpin, Soeharto bermuka dua pada kelompok islam, Habibie asyik mengulik N-250, Gus Dur membela NU, dan Mega mengirim pasukan ke Aceh. Lalu Jokowi?

Yang Dilakukan Para Presiden Indonesia Saat Berumur 56 Tahun
Presiden Joko Widodo. ANTARA FOTO/Setpres/ama/16

tirto.id - Rabu, 21 Juni 2017, Presiden Joko Widodo merayakan ulang tahun ke-56. Jokowi lahir pada 21 Juni 1961 di Solo, Jawa Tengah. Warganet meramaikan tagar #Happy56thJokowi hingga menjadi trending topic di Twitter. Ucapan selamat dari sejumlah tokoh pun mengalir deras ke akun media sosial milik Jokowi. Ini adalah tahun ketiga Jokowi menjadi presiden sejak dilantik pada 2014 silam.

Dibandingkan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jokowi cukup beruntung karena saat memasuki umur ke-56, ia sudah menjabat sebagai presiden. Kondisi ini juga dialami oleh Sukarno, Soeharto, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Menarik dicermati apa yang dilakukan presiden-presiden RI sebelumnya ketika memasuki umur ke-56. Masing-masing tentu saja punya kisah berbeda. Ada yang mulai ingin menancapkan kekuasaan agar berkesinambungan seperti Sukarno, yang posisinya mulai terancam seperti Megawati, atau SBY yang baru saja memulai kekuasaan.

Ada juga yang masih bergulat di bidang yang membesarkan namanya, seperti Habibie. Ada pula yang masih menikmati dunia aktivisme seperti Gus Dur. Berikut kami sarikan apa saja yang menimpa dan dilakukan para mantan presiden RI saat berumur 56 tahun.

Sukarno dan Kelahiran Demokrasi Terpimpin

Umur Sukarno genap 56 tahun pada 1957. Saat itu Indonesia masih menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Sukarno berstatus sebagai presiden dan mengampu tugas sebagai kepala negara, sedangkan pemerintahan—dalam hal ini kabinet—dipimpin oleh Perdana Menteri. Inilah era yang kadang disebut dengan istilah "demokrasi liberal".

Kondisi perpolitikan cenderung stabil menghangat, kadang panas, dan jarang benar-benar dingin. Fase "demokrasi liberal" ditandai oleh, salah satunya, jatuh bangunnya kabinet. Situasi tersebut sudah dimulai sejak pertengahan 1950-an. Pemilu 1955 sama sekali tidak mendinginkan tensi.

Di Indonesia bagian timur pecah perlawanan Permesta. Demokrasi parlementer dikritik tidak berjalan maksimal. Pada 14 Maret, kabinet yang dipimpin Ali Sastroamidjojo mundur. Sukarno pun mengumumkan keadaan darurat perang.

Langkah terakhir inilah yang memungkinkan peran Sukarno kembali pasang dalam pengelolaan negara. Ia tak lagi semata kepala negara yang sibuk dengan seremonial, tapi mulai efektif memimpin pemerintahan. Ia, misalnya, menunjuk Djuanda Kartawidjaja, seorang Sunda, sebagai Perdana Menteri. Hingga wafatnya pada 1963, Djuanda menjadi orang kepercayaan Sukarno.

Kekuatan parlemen melemah, dan bandul kekuasaan berayun ke eksekutif—dalam hal ini bukan hanya perdana menteri melainkan juga presiden. Inilah tahun transisi menuju peralihan sistem pemerintahan dari Demokrasi Parlementer menuju Demokrasi Terpimpin. Sukarno menggagas Dewan Nasional untuk mematangkan rencana-rencana politiknya yang kelak memuncak dengan merilis Dekrit 5 Juli 1959.

Pada bulan Juni 1956, Sukarno memuji sistem satu partai yang berlaku di Uni Soviet. Sampai pengujung umur ke-56, Sukarno disulitkan oleh masifnya gerakan kelompok radikal dan insurgensi yang pecah di pelbagai daerah, dari Sulawesi, Sumatera, Aceh, Jawa Barat, dan Papua.

Pada peristiwa pelemparan granat pada 30 November 1957 di Perguruan Cikini, Menteng, nyawa Sukarno nyaris saja terhenti pada usia 56 tahun. Tiga pemuda asal Bima, yang ditengarai simpatisan DI/TII, gagal membunuh Sukarno. Granat yang mereka lempar tak melukai Sukarno, tetapi mobil Sukarno Chrysler Imperial "Indonesia l" rusak berat.

Soeharto Umroh dan Membumihanguskan Timor Timur

Kemenangan partai Golkar dengan raihan 62,1 persen suara pada Pemilu 1977 memuluskan Soeharto kembali menjadi presiden saat umurnya 56 tahun. Kemenangan Golkar kali ini tak didapatkan dengan mudah. Beragam strategi dilakukan Soeharto agar Golkar bisa menang, di antaranya mencitrakan dirinya lebih Islami.

M.C. Ricklef menyebut, sebelum pemilu 1977, rezim Orde Baru khawatir dengan kekuatan partai Islam PPP yang akan memperoleh suara cukup banyak. Lewat operasi yang dilakukan Ali Moertopo, upaya memojokkan islam dengan cap Islam radikal lewat aksi-aksi Darul Islam dan Komando Jihad pun dilakukan. Sejumlah aktivis Islam pun dipenjarakan tanpa jalur pengadilan.

Alangkah kaget, ternyata suara PPP tidak turun sama sekali, PPP meraih suara 29,3 persen. Dalam konteks politik Islam ini, Soeharto memunculkan dua muka berbeda. Ia mencoba menampilkan sikap lunak terhadap kelompok kanan, di antaranya dengan menunjukkan citra bahwa ia juga sosok yang religi.

Pada umurnya ke-56, Soeharto memutuskan pergi ibadah umrah ke Mekkah bersama Tien Soeharto. Sejak itu pula ia mulai gemar memberikan sumbangan dan hadir dalam peresmian masjid. Di antaranya peresmian Masjid Jami’ Pondok Modern “Darussalam” Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, dan Masjid Istiqlal, Jakarta.

Saat pergi umroh itu pula Soeharto melakukan lawatan ke sejumlah negara Timur Tengah. Di atas pesawat yang membawanya pulang ke Tanah Air, Soeharto menjelaskan posisi Indonesia dalam konflik di Timor Timur. Ia mengklaim bahwa masalah Timor Timur adalah persoalan pembebasan diri rakyat Timor Timur sebagai bagian dari agenda dekolonisasi.

Soeharto sudah mengirim tentara ke Timor Timur pada Desember 1975 dengan nama Operasi Seroja. Aksi penumpasan, pembumihangusan, dan kekerasan berlangsung sejak 1975 di Timor Timur.

Pada 1977 itulah Soeharto makin beringas menyerbu Timor Timur. Sejak awal tahun, Indonesia mengerahkan semua angkatan (Darat, Laut dan Udara) untuk memastikan kekuasaan Indonesia di Timor Timur, terutama untuk membasmi Fretilin, kelompok perlawanan rakyat Timor paling solid. Sepuluh ribu tentara baru dikirim ke Negeri Loro Sae.

Apa yang disebut "solusi akhir" masalah Timor Timur pun diambil pada 1977: penyerbuan dari seluruh lini, termasuk penghancuran yang melibatkan pesawat-pesawat tempur yang membom desa-desa dan kawasan-kawasan pegunungan yang diduga menjadi basis Fretilin.

Coreng Habibie di Umur 56

Saat berumur 56 tahun, Habibie belum menjabat sebagai presiden. Posisinya kala itu masih memegang Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jabatan ini sudah dia emban sejak 1978. Habibie diberi tugas oleh Soeharto mengisi posisi ini selama empat periode.

Umur Habibie menginjak ke-56 pada 1992. Pada umur ke-56, Habibie sempat terseret kasus mark-up pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur. Majalah Tempo edisi 7 Juni 1994 mengkritik pembelian ini karena ditengarai terjadi pembengkakan hingga 62 kali lipat dari 12,7 juta dolar AS menjadi 1,1 miliar dolar AS. Nama Habibie terseret karena ia jadi ketua tim pembelian kapal ini.

Masalah jadi semakin merembet setelah Soeharto marah kepada Tempo dan kemudian membredel majalah yang dipimpin Goenawan Mohamad itu. Saat perayaan HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2013 lalu, Habibie hadir membela diri. Ia mengklarifikasi bahwa posisinya saat pembelian 39 kapal perang itu hanya negosiator. Soal pembayaran dan keuangan sepenuhnya diserahkan ke Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan.

Gus Dur dan Operasi Naga Hijau

Berbeda dengan presiden lainnya, saat menjejak umur ke-56, Gus Dur belumlah menjabat presiden. Kala itu ia menjabat Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama.

Berada di luar kekuasaan, membuat Gus Dur leluasa mengkritik penguasa. Kala itu Gus Dur sangat vokal mengkritik Soeharto. Gus Dur dengan gigih, penuh risiko tapi sekaligus penuh perhitungan, membela Megawati dan PDI saat insiden 27 Juli 1996.

Konflik antara Gus Dur dan rezim Orde Baru semakin meruncing setelah ia secara terang-terangan berani menyebut bahwa aktor kerusuhan di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Situbondo, Jawa Timur, adalah orang pemerintah. Operasi yang disebutnya sebagai Operasi Naga Hijau ini dilakukan untuk menyudutkan organisasi NU yang dipimpinnya.

Gus Dur menyatakan bahwa si Naga itu tak lain adalah Yayasan Humanika. Yayasan ini terafiliasi dengan ICMI, yang waktu itu dekat dengan Soeharto.

"Kalau kasus ini dibawa ke pengadilan, saya akan bawa saksi-saksi yang mendapat dana dari Humanika. Saya juga bisa bawa Komandan Korem dan Komandan Kodim setempat," tutur Gus Dur. Ia juga menyatakan siap dengan bukti-bukti. Gus Dur, pada usianya ke-56, berani menantang Soeharto.

Perlawanan itu sudah dimulai sejak era 1980-an, dan memuncak saat Soeharto secara terang-terangan menghalangi usahanya kembali memimpin NU pada Muktamar Cipasung pada 1994. Soeharto mendukung Abu Hasan dan, dengan segala cara, mencoba menggagalkan Gus Dur kembali memimpin NU. Itulah Muktamar NU paling "seru" sepanjang Orde Baru.

Kendati demikian, pada usianya ke-56 itu, meski masih bersuara lantang membela Megawati, Gus Dur mulai melunakkan sikapnya terhadap Soeharto. Dua tahun setelah Muktamar Cipasung, Gus Dur akhirnya untuk kali pertama bertemu dengan Soeharto.

Kado Megawati di umurnya ke-56 kepada Aceh

Megawati merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 23 Januari. Perayaan HUT ke-56 Mega terjadi pada 2003. Kala itu Mega sudah naik jabatan sebagai presiden. Ini adalah tahun terakhir Mega menjadi presiden. Pada pemilihan presiden secara langsung pertama tahun 2004, Mega dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada umur ke-56, Mega memberikan "kado" bagi masyarakat Aceh lewat kebijakan Darurat Militer yang diberlakukan sejak April 2003. Alhasil, Aceh diserbu 30.000 tentara dan 12.000 polisi yang didatangkan dari luar Aceh. Inilah pengiriman pasukan terbesar ke kawasan dalam negeri pasca Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975-1978.

Diperkirakan, sejak kebijakan darurat militer, 2.000 orang meregang nyawa. Pemerintah mengatakan bahwa kebanyakan korban adalah tentara GAM, tetapi kelompok-kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk komisi HAM pemerintah, menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil. Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM dan non-kombatan.

DOM adalah noktah hitam bagi sejarah kepemimpinan Megawati. Tidak terbayangkan oleh banyak orang bahwa setelah reformasi masih ada operasi militer yang demikian masif dan besar.

Kado Kenaikan Harga BBM dari SBY

Saat menginjak umur ke-56, Susilo Bambang Yudhoyono baru setahun menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-6. SBY lahir di Pacitan, 9 September 1949. Di masa-masa awal menjabat, SBY melakukan kebijakan yang dikritik cukup keras: menaikkan harga BBM.

Penaikan ini dilakukannya 21 hari setelah ia menjejak umur ke-56, tepatnya 1 Oktober 2005. Kebijakan ini ditentang keras. SBY tak segan menaikkan harga BBM sampai 88 persen hingga 105 persen. Ini adalah kenaikan harga BBM terbesar sepanjang era reformasi.

Ini bukanlah kali pertama SBY menaikkan harga BBM. Sebelumnya, pada 1 Maret 2005, SBY pun menaikkan harga BBM antara 20 hingga 30 persen. Banyak yang kecewa saat SBY kembali menaikkan harga BBM pada bulan Oktober, sebab saat Maret, ia menjanjikan itulah kali terakhir kenaikan harga BBM.

Dalih kenaikan ini adalah agar negara tidak defisit. Pada 2005, harga minyak dunia meroket dari 25 dolar AS per barel menjadi sekitar 60 dolar AS per barel. Beban subsidi BBM melonjak dari Rp21 triliun menjadi Rp120 triliun apabila harga BBM tidak dinaikkan.

Kenaikan harga BBM mau tak mau mendorong tingkat inflasi pada Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM), satu puncak tingkat inflasi bulanan selama 2005. Untuk meredam kritik publik, program bagi-bagi duit secara tunai kepada rakyat miskin pun diluncurkan SBY, yang kelak dinamai Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Apakah BLT ini mampu menurunkan persentase rakyat miskin? Nyatanya tidak. Data BPS, angkanya malah naik menjadi 4,2 juta jiwa, dari 16 persen menjadi 17,8 persen. Ketidakjelasan program BLT ini membuat SBY menyetop BLT pada 2007. Periode 2005-2006 adalah fase kurang bagus bagi SBY; ya, saat itu, ia menginjak umur ke-56.

Baca juga artikel terkait ULANG TAHUN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS