Menuju konten utama

Yang Bisa Dilakukan agar Anak tidak Rewel di Transportasi Umum

Anak yang pecicilan dan menangis keras-keras di transportasi umum kerap membuat kesal penumpang dewasa. Apa yang bisa dilakukan orangtua?

Yang Bisa Dilakukan agar Anak tidak Rewel di Transportasi Umum
Penumpang melihat suasana melalui jendela saat KRL yang ditumpangi melintas di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (3/1). Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengalokasikan subsidi angkutan umum atau Public Service Obligation (PSO) sebesar Rp2,09 triliun untuk angkutan kereta pada 2017. Anggaran tersebut sebagian besar disalurkan untuk mensubsidi tiket penumpang KRL (Kereta Rel Listrik) yakni Rp1,34 triliun. ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo

tirto.id - Meski tak melanggar aturan, tingkah laku anak-anak di fasilitas transportasi umum acapkali dinilai mengganggu penumpang lain. Di KRL, misalnya, tidak ada peraturan KRL yang melarang anak kecil merengek, menangis, atau berteriak-teriak. Namun, sebagian orang tak nyaman mendengarnya.

"Yang kayak gini-gini yang bikin gue selalu bilang enggak apa-apa dibilang ibu galak, daripada anak-anak gue enggak punya tata krama. Ini fasilitas umum ada peraturan jelas dilarang duduk di lantai, apalagi yang manjat-manjat itu,” tulis @hayhayhaya dalam Instastory-nya.

Dalam unggahannya, @hayhayhaya menunjukkan foto tiga anak tengah asik bermain di dalam gerbong Kereta Rel Listrik (KRL). Dua anak duduk lesehan di lantai. Satu anak lainnya berdiri di atas kursi. Sementara dua perempuan dewasa yang berada di dekatnya terlihat acuh.

Apa boleh buat, perilaku anak-anak sepanjang perjalanan dikembalikan ke orangtua mereka.

“Ini fasilitas umum, ada peraturan jelas dilarang duduk di lantai, apalagi yg manjat-manjat itu. Ibunya cuma diem aja, “Maklum namanya jg anak-anak”. Maklum emakmu kiper!” katanya.

Meskipun PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI) melarang pengguna KRL duduk di lantai, peraturan tersebut tak melulu ditaati. Anak-anak kerap dimaklumi duduk dan bermain di lantai KRL oleh orangtuanya. “Ya, namanya juga anak-anak,” demikian bunyi pemakluman itu.

Menurut psikolog anak Ajeng Raviando, anak memang perlu diajarkan untuk menjadi pengguna transportasi umum. Tak hanya agar terbiasa menggunakan transportasi umum alih-alih kendaraan pribadi, anak juga bisa mengenal dunia sosial di luar lingkungan keluarga dan belajar menjaga keselamatan diri.

“Kalau naik kendaraan umum kan banyak orang tuh, dia bakal melihat beragam perilaku orang-orang. Kalau orang begini, dia harus bereaksinya seperti apa. Macam ragam orang yang ditemuinya bakal berbeda dengan lingkungan yang biasanya dia temui. Sehingga kemampuan sosialisasinya bisa diasah dari situ,” ujar Ajeng saat dihubungi Tirto, Kamis (30/8).

Ajeng juga mengatakan bahwa orangtua semestinya membekali anak dengan pengetahuan dan panduan berperilaku di transportasi umum sebelum mengajak mereka berpergian dengan bus, KRL, dan kendaraan umum lain.

“Misalnya apa yang mesti mereka lakukan untuk menjaga keselamatan diri dan menghormati orang lain. Orangtua mesti mengingatkan, ‘Kamu ngga boleh mengganggu orang lain’ ketika anaknya naik turun kursi atau teriak-teriak,” imbuhnya.

Mengajak si Kecil Naik Transportasi Umum

Bima Putra Ahdiat (35 tahun) tinggal di Depok dan hampir setiap hari berangkat ke kantornya di Jakarta Barat dengan menggunakan KRL. Suatu hari, di KRL yang dia naiki, seorang anak menangis. Tangisannya begitu kencang dan si ibu tampak tidak bisa menenangkan si anak. Kemungikan besar, menurut Bima, anak itu gerah sebab situasi KRL sangat sesak.

Melihat kejadian itu, Bima lantas teringat perjalanannya menggunakaan kereta dua tahun lalu, dari Jakarta menuju Tasikmalaya. Saat itu, putrinya yang baru berumur 5 tahun menangis keras. Makanan, minuman, dan mainan tak lagi mampu menenangkan anaknya. Akhirnya, Bima menggendong dan menimangnya sang putri sembari berjalan pelan menyusuri gerbong. Jurusnya itu ampuh. Si anak lama-kelamaan tenang.

“Harusnya si ibu gendong saja anaknya,” pikir Bima waktu itu.

Sekarang, anaknya berusia 7 tahun dan acapkali mengajak Bima berjalan-jalan ke Jakarta. “Saya memilih naik transportasi publik. Alasannya karena males kena macet. Kebetulan, anaknya juga senang memakai kendaraan yang luas. Pilihan pertama menggunakan KRL,” katanya.

Bima mengatakan anaknya kerap menyusuri gerbong KRL jika sedang tak dipadati penumpang. Jika gerbong tengah sesak, anaknya tak mau duduk kalau Bima tidak ikut duduk.

“Yang penting ada air bening biasa. Dia enggak minta pun, saya bawa karena takut dehidrasi. Paling juga bawa snack seperti wafer atau Chitato,” sebut Bima.

Infografik Anak naik transportasi umum

Hal serupa dilakukan Dewi Yulia Sari (39 tahun), seorang pegawai swasta di Jakarta. Dewi kerap mengajak putrinya keliling Jakarta dengan bus rapid transit (BRT) Transjakarta atau KRL pada akhir pekan.

Dewi rutin mempersiapkan kudapan dan minuman untuk si buah hati apabila mulai rewel di jalan.

“Di transportasi umum (Transjakarta dan KRL) memang tidak boleh makan dan minum. Tapi saya tetap bawa. Namanya anak kecil, kalau dia lagi bosen, paling saya kasih makanan kecil,” ujar Dewi saat dihubungi Tirto.

Selama ini, Dewi khawatir seandainya penumpang lain merasa terganggu jika anaknya mulai kelihatan gelisah. Karena itu, Dewi juga selalu membawa mainan kesukaan anaknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ada saja pengguna BRT atau KRL, khususnya para ibu, yang malah memaklumi dan membantu Dewi menenangkan anaknya.

“Ibu-ibu sebelah malah ajak anak saya bercanda,” aku Dewi.

“Sudah semestinya orangtua mengalihkan perhatian si anak ketika gelisah”, ujar Ajeng. Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari memberi camilan kecil hingga menggendong si anak.

“Itu hanya salah satu cara untuk mengalihkan perhatian anak. Kalau si anak fokus pada rasa ketidaknyamanannya ‘kan bakal lebih hebat menangisnya. Maka, kita alihkan perhatian dengan dikasih mainan, kita godain,” kata Ajeng.

Orangtua juga mesti paham bahwa motorik kasar berkembang pada usia balita atau batita, sehingga anak pada usia tersebut cenderung gemar mengeksplorasi ruang.

“Rasa ingin tahunya besar dan daya eksplorasinya sedang berkembang pesat. Memang motorik kasarnya lagi fit banget. Lagi kepengen jalan-jalan terus,” ujarnya.

Kondisi ini cenderung berbeda pada anak usia 6 tahun ke atas karena kelompok usia ini cenderung lebih mudah diberi tahu.

“Mereka sudah cukup terbiasa duduk diam, sudah masuk SD [Sekolah Dasar] nih. Mereka biasanya sudah mengerti tata tertib,” pungkas Ajeng.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf