Menuju konten utama

Yang Bertahan di Pramuka karena Cinta

Sejumlah pembina di tingkat kwarcab mengaku tidak mendapat dana yang diberikan Kemenpora ke Kwarnas.

Yang Bertahan di Pramuka karena Cinta
Anggota Pramuka membantu pemudik di Stasiun Lempuyangan, DI Yogyakarta, Rabu (21/6). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Sejak 2010, Abdurrahman Wahid sudah menjadi Pembina Gerakan Pramuka di sejumlah sekolah. Pertama kali ia menjadi pembina di salah satu madrasah ibtidaiyah swasta, di Lamongan, Jawa Timur. Kegiatan ini terus berlanjut hingga Wahid menempuh studi di Universitas Islam Negeri Jakarta. “Dari 2012, saya mengajar Pramuka di Madrasah Aliyah An Nahdlah. Semester empat kalau tidak salah,” kata Wahid kepada Tirto, Senin (24/7).

Wahid mengaku honor dari menjadi pembina Pramuka tak bisa dijadikan sandaran bertahan hidup. Dalam sekali pertemuan, ia mengaku hanya mendapat honor Rp100 ribu. Jika seminggu ia mengajar dua kali pertemuan, maka dalam sebulan Wahid rata-rata bisa mengantongi sekitar 800 ribu. Uang itu mesti ia bagi antara sewa kos Rp600 ribu dan biaya hidup sehari-hari di Ciputat, Tangerang. "Paling itu cuma buat bensin dan rokok. Kalau ngarepin gaji ngajar Pramuka ya enggak hidup kita di Ciputat," ujar Wahid.

Menurut Wahid, honor yang ia terima masih lebih lumayan dibandingkan para pembina Pramuka lain di daerah. Di Lamongan, tempat kelahirannya, Wahid mengaku hanya dibayar Rp20 ribu untuk sekali pertemuan. Ia bahkan pernah tidak dibayar sama sekali. Wahid mengaku sering menggunakan uang pribadi untuk mendanai kegiatan Pramuka yang sedang dibinanya. Karena, menurutnya pihak sekolah tidak menyediakan dana khusus. "Misalkan mau berangkat Raimuna atau lomba pramuka. Enggak mungkin kan semuanya dibebankan ke siswa. Mereka masih sekolah. Apalagi sekolahnya swasta. Sudah banyak beban biaya mereka. Tapi kan butuh seragam dan lain-lain. Nah itu aku sering nombokin," kata Wahid.

Kendati begitu, Wahid tetap menikmati aktivitasnya karena kadung mencintai dunia Pramuka. “Kerja sekaligus hobi kan asik, bro," kata Wahid.

Untuk menutupi sisa kebutuhan hidupnya, sejak 2013 Wahid bekerja di agen perjalanan milik saudaranya. “Tambahannya ya dari Travelan itu. Jualan tiket. Nek orak ngunu muleh kampung awak dewe. Ora sarjana," selorohnya.

Farhan seorang pengajar Pramuka di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Pondok Pinang mengakui hal yang sama. Dirinya mengaku hanya digaji 100 ribu untuk sekali pertemuan dalam satu minggu. "Kontraknya si satu jam per pertemuan, tapi di lapangan ya bisa tiga sampai empat jam," kata Farhan.

Sejak awal, Farhan telah mengetahui bila mengajar Pramuka memang tak akan memberi penghasilan yang cukup. Tapi, itu bukan persoalan karena Pramuka telah menjadi hobi yang dicintainya.

"Aku enggak nyari duitnya. Ya, Pramuka itu hobi. Seneng aja kumpul-kumpul. Ngajari anak-anak SD yel-yel, tali temali, kemah, bikin api unggun. Bikin sumpek ilang," kata Farhan.

"Paling tambahannya dulu dari warkop. Sekarang warkopnya tutup. Ngedesain desain aja lah sekarang."

Butuh Perhatian

Farhan tetap berharap pembina Pramuka diperhatikan kesejahteraannya. Karena, menurutnya, pembina Pramuka masih dipandang sebelah mata dan belum dianggap penting. “Ya, hobi sih hobi. Kalau hobi lain bisa dibayar mahal, kenapa Pramuka enggak? Harusnya pada sadar kalau Pramuka itu penting buat pendidikan karakter siswa. Bermasyarakat kan intinya kebersamaan. Enggak bisa seorang itu kerjasama dalam masyarakat kalau enggak terbiasa. Di Pramuka diajarin sejak level SIAGA (tingkat Pramuka di Sekolah Dasar),” kata Farhan.

Baca laporan Tirto tentang penangguhan dana Pramuka:

Dana Pramuka Ditangguhkan, Menpora: Kami Harus Hati-Hati

Adhyaksa: Jangan Campur Adukkan Pramuka dengan Pribadi

Pengurus Kwarcab: Pramuka Tidak Ajarkan Khilafah

Permendikbud No 63 tahun 2014 menyatakan Pramuka sebagai ekstra kurikuler wajib di sekolah. UU No 12 tahun 2010 juga menyatakan Pramuka telah berbadan hukum sebagai organisasi dan bisa mendapatkan bantuan dana dari pemerintah. Memang pemerintah melalui Kemenpora telah memberikan dana untuk kegiatan Pramuka. Namun, kenyataan di lapangan tidak berbanding lurus dengan peraturan itu. Dana untuk kegiatan Pramuka masih seret dan pengajarnya pun jauh dari kesejahteraan.

Hal itu diungkapkan oleh Sukron Makmun, pengurus Kwarcab Lamongan kepada Tirto. Menurut Sukron, untuk membuat sebuah kegiatan Pramuka pihaknya masih mengandalkan dana iuran dari peserta. "Sumber dananya dari peserta. Misalnya mengadakan Persami, peserta bayar," kata pria yang di dunia Pramuka disapa Kak Kron ini saat dihubungi Tirto.

Menurutnya, dengan mengharapkan iuran dari peserta terus membuat kegiatan Pramuka tidak berjalan dengan lancar. Banyak kegiatan yang akhirnya juga ditomboki oleh pengurus kwarcab dengan uang pribadinya. "Seringnya juga nombokin pakai uang sendiri. Padahal kegiatannya kan banyak. Sekarang kami sedang persiapan Raimuna Nasional dan Pramuka Garuda," katanya.

Sukron mengakui ada dana bantuan dari pemda kabupaten/kota. Tapi bantuan tersebut hanya berkisar 10 persen sampai 20 persen dari biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan. "Itu juga masih ada pajaknya lima persen. Misalnya dana untuk sewa tenda dan sound, itu ada pajaknya. Jadi setiap dana yang diterima dipotong pajak," kata Sukron.

Sukron mengaku Kwarda tidak pernah dapat dana dari Kwarnas untuk melaksanakan kegiatan. Alokasi dana yang disediakan Pemda menurutnya berasal dari anggaran pendidikan daerah. Malahan, kata Sukron, untuk mendapatkan dana tersebut ia mesti mengikuti pelatihan dengan biaya Rp1 juta. Padahal, pengajar lainnya justru mendapat biaya dari pemerintah untuk mengikuti pelatihan. "Kalau bisa ada sertifikasi untuk guru Pramuka dan sekolah tidak lagi menganggap Pramuka sebagai kegiatan yang tidak penting," ujarnya.

Sukron berharap seandainya Menpora Imam Nahwari mencairkan dana Pramuka ke Kwarnas, dirinya berharap kalau dana itu menetes ke tataran Kwarcab. "Dibantu dana saja seret, apalagi tidak dibantu. Tapi kalau dibantu ya mohon sampai ke Kwarcab. Jangan kebanyakan dipajaki yang atas-atas," katanya.

Tata, pengurus Kwarcab Subang pun mengaku dana dari Menpora sangat penting. Karena, menurutnya, dana tersebut berguna untuk kegiatan Pramuka di tingkat nasional. "Kalau bisa jangan sampai dibekukan begitu," kata Tata.

Baca juga artikel terkait DANA PRAMUKA atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar