tirto.id - Semua buah bibir yang berujung cibiran itu dimulai saat Bill Condon diwawancarai Attitude, sebuah majalah di Inggris. Sang sutradara yang dalam kehidupan nyata adalah seorang gay, berbicara tentang LeFou, kaki-tangan Gaston, tokoh antagonis dalam film Beauty and The Beast:
“LeFou adalah karakter yang suatu hari ingin jadi Gaston dan di lain hari ingin mencium Gaston. Dia bingung tentang apa yang diinginkannya.”
Yang bikin lebih heboh, Condon menyebut karakter LeFou akan membawa “sebuah momen gay khusus yang menyenangkan” dari Disney.
Spontan, banjir komentar di dunia maya merespons pernyataan ini.
Kebanyakan datang dari mereka yang protes. Saya ingat, salah seorang kawan akrab penggemar Disney ikut-ikutan protes saat melihat iklan Beauty and The Beast di bioskop. “Nah, kan! Mulai ikut-ikutan Disney ini. Kenapa coba mesti masukin (propaganda) LGBT dalam film kartun anak-anak,” cibirnya. Padahal ia sendiri punya paling sedikit dua sahabat LGBT—Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.
Protes serupa bahkan diejawantahkan sejumlah negara dengan keputusan kontroversial. Misalnya, Malaysia yang meminta Disney memotong bagian “Gay Moment” yang dimaksud Condon. Namun, Disney lebih memilih menarik film mereka dari negara yang memang mengkriminalisasi LGBT tersebut. Di Alabama, salah satu negara bagian Amerika Serikat yang didominasi orang-orang konservatif-kanan, pelarangan serupa juga terjadi.
Lucunya, semua larangan ini bahkan terjadi saat Beauty and The Beast belum diputar sama sekali. Hanya berpangkal dari omongan sang sutradara.
Lantas, apakah versi Live Action—aksi nyata— dari film animasi berjudul sama yang tayang 26 tahun lalu, tepatnya pada 1991 silam, memang sebegitu revolusinernya bagi komunitas LGBT? Tentu, baru bisa dijawab ketika ia sudah ditonton.
Bagi Anda yang belum menonton, dan benci bocoran cerita sebelum menontonnya, maka saya sarankan berhenti membaca sampai di sini.
Yang Berbeda Antara Animasi dan Versi Aksi Nyata
Pertama, perlu diketahui bahwa Beauty and The Beast versi aksi nyata adalah rangkaian proyek baru Disney yang ingin “menghidupkan kembali” kisah-kisah para Princess versi animasi. Sebelum film ini, Disney telah lebih dulu mengeluarkan Maleficent (2014)—kisah lain dari dongeng Putri Tidur—dan Cinderella (2015)—dari dongeng Cinderella, yang sukses dilahap pasar. Proyek ini dibuat untuk mengikuti kesuksesan film aksi nyata Alice in Wonderland yang meraup lebih dari $ 1 miliar saat dirilis 2010 lalu.
Maleficent sendiri meraup $758.539.785, sementara Cinderella meraup $543.514.353 untuk penayangannya di seluruh dunia.
Salah satu yang menarik dari kedua film ini, adalah satu atau dua putaran plot yang disuguhkan berbeda dari versi animasinya. Dalam Cinderella versi animasi, sang gadis yatim-piatu akan bertemu dengan pangerannya di sebuah pesta kerajaan. Dalam versi Cinderella terbaru, ia lebih dulu bertemu sang pangeran di dalam hutan.
Pada film Maleficent, belokan cerita terjadi lebih tajam. Dalam versi-versi Putri Tidur sebelumnya, Maleficent adalah penyihir antagonis yang mengutuk Putri Tidur untuk menusukkan jarinya ke jarum pemintal yang runcing. Dalam versi aksi-nyata, Maleficent yang diperankan Angelina Jolie malah menjadi malaikat pelindung sang Putri.
Lalu, kira-kira apa saja yang jadi dipelintir dalam plot Beauty and The Beast versi aksi nyata ini?
Secara kasat mata, sebenarnya perbedaan itu hampir tidak terasa. Belle (diperankan Emma Watson) tetaplah anak gadis seorang perajin kriya yang dianggap aneh oleh satu desa. Ia cantik jelita, tapi terlalu suka membaca—sesuatu yang aneh bagi seorang perempuan pada masa itu. Ia dikejar-kejar oleh Gaston (diperankan Luke Evan), seorang pemburu yang juga bekas prajurit, untuk dipinang sebagai istri. Namun Belle menolak. Gaston yang sempurna secara lahiriah memang arogan dan narsisistik. Belle tak menyukainya.
Ayah Belle, Maurice juga tak sengaja tersesat di hutan dan mencuri setangkai mawar dari kebun Beast (diperankan Dan Stevens). Pencurian ini yang akhirnya membuat Bella menjadi tahanan di kastil Beast. Sisa cerita juga berjalan sama. Bahkan dialog-dialog serta nyanyian yang ada dalam versi animasi dipakai secara presisi oleh film ini. Condon seolah-olah memang hanya ingin menerjemahkan versi animasi ke dalam versi aksi nyata.
Namun, jika diperhatikan lebih saksama, ada beberapa poin yang ditambahkan Condon dalam filmnya, demi menguatkan cerita utama. Tempelan-tempelan ini dirajut sehalus mungkin, hingga sangat mungkin jika dilewatkan penonton, dan mereka akan mengganggap Condon tak mau bersusah-susah memberikan beberapa bumbu baru ke dalam versi ini.
Bagi mereka yang teliti, sejumlah tempelan ini bisa saja tampak terang benderang. Misalnya karakter Agathe, penyihir cantik yang mengutuk pangeran tampan jadi Beast. Dalam versi animasi, karakter penyihir ini tak diberikan tempat yang begitu menonjol, cenderung lewat-lewat saja. Namun dalam versi aksi-nyata, Condon bahkan memberikannya nama dan beberapa adegan khusus yang membuat karakter ini lebih kuat. Selain jadi narator pembuka film, penyihir ini juga direka seolah-olah jadi malaikat pelindung yang mengatur takdir agar Belle bertemu Beast.
Selain Agathe, ada cerita tentang ibu Belle dan ibu Beast yang sedikit ditambahkan dalam versi aksi nyata. Sebab dalam versi animasi, kisah kedua ibu tokoh utama itu nyaris tak disenggol sama sekali. Padahal, salah satu kesamaan yang membuat Belle dan Beast saling mengerti satu sama lain adalah luka atas kehilangan ibu mereka masing-masing, selain minat membaca yang besar bagi keduanya.
Tempelan lain adalah 4 lagu baru yang sebelumnya sama sekali tak ada dalam versi animasi. Di antaranya: Aria oleh Madame de Gardrobe; Days in The Sun oleh seluruh pemain; Evermore oleh Beast; How Does A Moment Last Forever oleh Maurice, ayah Belle.
Tak heran kalau durasi film aksi nyata jadi jauh lebih panjang ketimbang versi animasinya. Durasi film animasi hanya 1 jam 24 menit, sementara durasi aksi nyata 2 jam 9 menit.
Momen Gay Ecek-Ecek
Lalu, di manakah momen gay yang jadi topik panas itu?
Karakter LeFou, kaki tangan Gaston, yang digadang-gadang sebagai tokoh gay pertama dalam karya-karya Disney pada hakikatnya masih sama saja seperti di versi animasi. Dalam versi aksi-nyata, LeFou yang diperankan Josh Grad, sama sekali tak punya dialog apa-apa yang mendeklarasikan dirinya sebagai gay. Persis dengan LeFou dalam versi animasi, ia hanya terlihat mengagumi Gaston, dan cenderung mengikuti gerak-gerik kawannya itu seolah-olah ingin menjadi sempurna sepertinya.
Persis seperti penggambaran Condon terhadap karakter LeFou—pernyataan yang selama ini ditanggapi heboh tersebut.
LeFou sendiri dalam versi animasi juga jelas kelihatan sangat kagum pada Gaston. Jika karakter demikian dianggap sebagai penggambaran LGBT oleh Disney, maka LeFou tak bisa dibilang tokoh gay pertama dalam film-film Disney. Karakter-karakter pendukung lainnya serupa LeFou juga sudah banyak hadir dalam animasi-animasi sebelumnya. Misalkan Flower dari Bambi, Hugo dan Djali dari The Hunchback of Notre Dame, atau Kuzco dari The Emperor’s New Groove.
Bahkan Princess Mulan dan pasangannya Jenderal Shang juga bisa dimasukkan kategori ‘karakter yang bingung tentang apa yang diinginkannya’ seperti bagaimana karakter LeFou digambarkan.
Satu-satunya momen gay adalah isu yang dilebih-lebihkan sebelum film tayang. Padahal dalam film, nyaris tak kentara. Memang ada adegan Gaston memeluk LeFou saat seisi kampung menyanyikan lagu Gaston dalam sebuah bar. Namun, keduanya digambarkan sebagai kawan karib. Apakah ada yang salah dari dua sahabat laki-laki berpelukan?
Adegan lain yang mungkin dianggap sebagai "momen gay" tersebut adalah saat salah satu cameo prajurit justru tersenyum senang ketika didandani Madame de Gadrobe jadi perempuan. Atau adegan terakhir ketika LeFou berdansa dengan seorang perempuan, kemudian seorang laki-laki. Dua adegan tersebut paling-paling cuma dua atau tiga detik. Sama sekali tak mengubah cerita, bahkan cuma lewat jadi bahan tertawa sesaat.
Itu mungkin sebabnya Lembaga Sensor Film Indonesia meluluskan film ini untuk tayang. Saat Komisioner LSF Rommy Fibri ditanya perihal film ini, ia bilang tak ada yang dipotong. Film ini lulus sensor untuk anak usia 13 tahun. “Artinya memang tidak ada catatan apa pun,” katanya.
Pengakuan Disney atas LGBT
Ian McKellen, aktor yang memerankan Cogsworth, pelayan Beast yang dikutuk jadi jam, menganggap kontroversi isu gay pada filmya terlalu berlebihan. Ia yang juga seorang gay dalam kehidupan nyata menganggap tak ada yang revolusioner dari momen kecil yang nyaris tak kentara itu.
“Itu cuma momen kecil yang tak seorang pun perlu ributkan sebetulnya,” katanya pada CNN selepas premier film tersebut.
Emma Watson, sang tokoh utama juga berpendapat serupa. Ia bahkan berpesan pada mereka yang mendukung isu ini untuk tidak terlalu berharap banyak. “Karena tak ada narasi yang besar tentang hal ini di sana [dalam film],” kata Emma pada Huffington Post.
Meski narasi itu nyatanya tak sebesar yang dihembuskan isu, tapi ada satu poin dari Disney yang patut diapresiasi: kenyataan bahwa ia mengakui keberagaman. LeFou mungkin tidak punya momen melela (coming out) seperti yang digunjingkan sebelum film ini tayang, tapi Disney memercayakan sejumlah gay yang turut berkontribusi membuat film mereka. Mulai dari sutradara (Bill Condon) hingga para pemain (Ian McKellen dan Luke Evan yang juga gay dalam kehidupan nyata).
Di antara studio film lainnya, Disney memang salah satu yang unggul dan memimpin dalam isu keberagaman. Mereka punya serial televisi yang tokoh utamanya Afro-Amerika, orang Latin, dan kartun terbaru yang akan memasukkan ciuman sesama jenis.
Disney sebenarnya hanya sedang mengubah dirinya sendiri, setelah selama ini dikritik banyak pihak, terutama feminis, karena dianggap telah membentuk gambaran gender yang keliru lewat dongeng-dongeng princess-nya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani