Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Yahudi, Nasrani dan Kaum Saba dalam Al-Baqarah Ayat 62

Mengapa umat Yahudi, Nasrani dan Kaum Saba disebut dalam ayat tentang mereka yang benar-benar beriman kepada Allah?

Yahudi, Nasrani dan Kaum Saba dalam Al-Baqarah Ayat 62

tirto.id - Dalam surat al-Baqarah ayat 62, Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang SHabi’in, siapa saja di antara mereka yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta beramal saleh, maka untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (baca: teks asli)

Ada beberapa ayat yang mengecam, bahkan mengancam, orang-orang Yahudi yang durhaka. Tentu saja ancaman dapat menimbulkan rasa takut. Melalui ayat ini, ayat 62 dalam Surat al-Baqrah, Allah tidak hanya mengancam namun juga memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri.

Ini sejalan dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang insaf. Kepada mereka disampaikan bahwa jalan bagi mereka (juga umat lain) untuk meraih rida Allah tidak lain kecuali iman kepada Allah dan hari Kemudahan serta beramal saleh.

Karena itu, ditegaskannya bahwa: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad SAW., orang-orang Yahudi yang mengaku beriman kepada Nabi Musa AS., dan orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada Isa AS., dan orang-orang Shabi’in, kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui para nabi. Serta beramal saleh, yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah.

Maka untuk mereka pahala amal-amal saleh yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi Tuhan Pemelihara dan Pembimbing mereka. Serta atas kemurahan-Nya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apa pun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi.

Kecaman dan siksaan yang diuraikan ayat-ayat (al-Baqarah) sebelumnya boleh diduga sementara orang tertuju kepada semua Bani Isra’il. Memang, banyak orang yang menduga bahwa kedurhakaan orang-orang Yahudi mencakup semua dari mereka, padahal tidak demikian. Untuk menampik dugaan keliru itu, ayat ini memulai informasinya dengan kata inna atau sesungguhnya.

“Sementara sahabat-sahabat saya heran ketika saya sampaikan bahwa pada saat berada di Roma saya berkunjung ke kuburan Petrus untuk memperoleh berkatnya karena beliau adalah salah seorang hawariyyin (sahabat Nabi Isa AS. yang setia),” demikian tulis Ibn ‘Asyur ketika menafsirkan ayat 62 ini.

Yang dimaksud dengan kata hadu adalah orang-orang Yahudi atau yang beragama Yahudi. Mereka dalam bahasa Arab disebut yahud. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini terambil dari bahasa Ibrani, yahudz. Dalam bahasa Arab, kata ini ditulis hanya dengan sedikit sekali perbedaannya yaitu meletakan "titik" di atas huruf dal.

Perlu diingat, peletakan "titik" dan abris pada aksara Arab dikenal jauh setelah turunnya Al-Qur’an. Di sisi lain, bahasa Arab sering kali mengubah pengucapan satu kata asing yang diserapnya. Hal itu pun berlaku di sini.

Penanaman tersebut, menurut Thahir Ibn Asyur, baru dikenal setelah kematian Nabi Sulaiman AS, diperkirakan sekitar 975 SM. Ada juga yang memahami kata tersebut berasal dari bahasa Arab, yang berarti "kembali" yakni bertaubat. Mereka dinamai demikian karena mereka bertaubat dari penyembahan anak sapi.

Penulis mengamati bahwa Al-Qur’an tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya, itulah sebabnya, di sini (baca: ayat 62) tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata hadu.

Thahir Ibn Asyur berpendapat lain. Menurutnya, kerajaan Bani Isra’il terbagi dua setelah kematian Nabi Sulaiman AS. Yang pertama adalah kerajaan putra Nabi Sulaiman bernama Rahbi’am dengan ibu kotanya Yerusalem. Kerajaan ini tidak diikuti kecuali oleh cucu Yahudza dan cucu Benyamin.

Sedang kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbi’am putra Banath, salah seorang anak buah Nabi Sulaiman yang gagah berani, dan diserahi beliau (Nabi Sulaiman) kekuasaan yang berpusat di Samirah. Ia digelar dengan raja Isra’il. Tetapi, masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan kekuasaan mereka diporakporandakan, bahkan mereka diperbudak, sehingga akhirnya kerajaan ini punah setelah 250 tahun.

Sejak itu, tidak ada lagi kekuasaan dan kerajaan Bani Isra’il, kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada 120 SM oleh Adrian, salah seorang pengasa Imperium Romawi dan yang mengusir mereka sehingga terpencar ke mana-mana. Agaknya, tulis Ibnu Asyur lagi, mereka itulah yang dimaksud dengan hadu, dan karena itu ayat ini menggunakan kata tersebut, walau pada akhirnya kata ini mencakup semua yang beragama Yahudi.

Kata an-nasahara sendiri terambil dari kata nashirah yaitu satu wilayah di Palestina, di mana Maryam, ibu Nabi Isa AS., dibesarkan. Dan, dari sana pula, dalam keadaan mengandung jabang bayi Isa AS., beliau pergi menuju ke Bait al-Maqdis. Tetapi sebelum tiba di tujuan, beliau sudah duluan melahirkan Isa AS., di Betlehem. Isa AS., (kemudian) digelari oleh Bani Isra’il dengan sebutan Yasu. Dari sinilah pengiut-pengikut beliau dinamai nashara yang merupakan bentuk jamak dari kata nashry atau nashiry.

Kata ash-shabi’in ada yang berpendapat diambil dari kata shaba, yang berarti "muncul" dan "tampak", misalnya ketika melukiskan bintang yang muncul. Dari sinilah ada yang memahami istilah al-Qur’an tersebut sebagai atau dalam arti "penyembah bintang". Ada juga yang memahaminya diambil dari kata saba’, satu daerah di Yaman di mana pernah berkuasa Ratu Balqis dan penduduknya menyembah matahari dan bintang. Ada lagi yang berpendapat bahwa kata ini adalah kata lama dari Bahasa Arab yang digunakan oleh penduduk Mesopotamia di Irak.

Persyaratan beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti (hanya) kedua rukun itu yang dituntut dari mereka. Tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.

Infografik Al Wahhab

Memang akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul SAW., dalam percakapan sehari-hari, sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan Hari Kemudian.

Misalnya, sabda beliau: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hendaklah dia menghormati tamunya.” Di kali lain, beliau bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hendaklah mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.....” Dan masih banyak yang serupa.

Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar-umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diiputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.

Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadat yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu dan atas nama Tuhan yang disembah adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.

Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogratif Allah memang harus diakui. Tetapi, hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar-pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama.

Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di Hari Kemudian kelak agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.

Firman-Nya: falahum ajruhum ‘ina Rabihimi (untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka) diperhadapkan dengan firman-Nya pada ayat lalu menyangkut yang durhaka yakni wa ba'du bi ghadabi min Allah (mereka mendapat kemurkaan dari Allah). (Umat yang) ini mendapat murka dan (umat yang) itu mendapat rida yang tercermin antara lain dalam ganjaran. Karena itu, janji tersebut disertai dengan kata "di sisi Allah".

Sedangkan firman-Nya: wa laa khaufun’alaihim (tidak ada kekhawatiran menimpa mereka) diperhadapkan dengan firman-Nya: wa dhuribat ‘alaihim adz-dzillah (dan ditimpakanlah atas mereka nista) -- nista karena ia menjadikan seseorang takut dan khawatir. Dalam hal (umat) ini takut dan yang itu tidak disentuh rasa takut.

Sedang firman-Nya: wa laa hum yahzanun (tidak [pula] mereka bersedih hati), diperhadapkan dengan firman-Nya: al-maskanah (kehinaan), karena kehinaan hidup menjadikan seseorang mengharapkan sesuatu yang tidak dapat dicapai sehingga menyedihkan hati. Dengan demikian, (umat) yang ini sedih dan (umat yang) itu gembira. Demikian sekali lagi terlihat hubungan ayat ini dengan ayat (al-Baqarah) yang lalu dari sisi uraiannya yang bertolak belakang.

Setelah penegasan yang memberi ketenangan terhadap semua pihak yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian secara benar sesuai dengan yang diajarkan oleh para nabi-Nya, kelompok ayat ini melanjutkan dengan mengingatkan orang-orang Yahudi tentang perjanjian mereka menyangkut kitab suci Taurat.

=========

*) Naskah dinukil dari buku "Tafsir al-Misbah Jilid 1" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

Kultum Quraish Shihab

Baca juga artikel terkait KULTUM QURAISH SHIHAB atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Reporter: M. Quraish Shihab
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS