tirto.id - "Apa kau tahu apa yang kau lakukan?" tanya seorang podcaster.
"Sama sekali tidak," ujar Ryan Reynolds dengan cepat.
Selintas pandang, jawaban itu selaras dengan humor sang bintang film yang sarat lelucon self-deprecating dan sarkasme. Jika ditelaah lebih lanjut, itu mungkin jawaban paling tepat.
Sang pemeran Deadpool itu mungkin sama sekali tak tahu apa pun mengenai pengelolaan klub sepak bola, tetapi ada alasan yang jelas mengapa Rob McElhenney (aktor sekaligus co-creator serial komedi It's Always Sunny in Philadelphia) menggamitnya untuk membeli klub sepak bola asal Wales, Wrexham AFC.
Sebelumnya, berkat Humphrey Ker, yang juga komedian sekaligus penulis, McElhenney mendadak kepincut dengan olahraga yang tak dipahaminya, dan berniat menjadi pemilik klub sepak bola. Setelah profiling mendalam, Wrexham menjadi pilihannya. Entah itu lantaran warisan Wrexham (yang disebut-sebut sebagai klub ketiga tertua di dunia), finansial (kecocokan harga), atau kombinasi banyak hal.
Tetapi yang paling menantang bagi McElhenney adalah sistem piramida sepak bola di Inggris, yang berbeda dengan Amerika Serikat, memungkinkan klub-klub di dalamnya untuk turun-naik kelas--yang menyimpan potensi untuk sebuah kisah kuda hitam.
Untuk itu, McElhenney juga perlu uang dari bintang film, tepatnya bintang film superhero, yang juga baron perusahaan minuman alkohol, perusahaan layanan ponsel, dan banyak lagi. Seorang teman digitalnya, Ryan Reynolds, memenuhi kriteria sebagai co-chairman, mendampinginya menjadi pemilik baru Wrexham.
Kesadaran tinggi keduanya akan publisitas lantas memunculkan dokumenter Welcome to Wrexham, yang mengikuti secara menyeluruh mulai dari proses penjajakan akuisisi klub hingga perjalanan klub berjuluk The Red Dragons di lapangan pada musim 2021/22 lalu.
Di samping investasi bisnis, yang sekilas terlihat tak terlalu menjanjikan, satu pertanyaan besar hadir: mengapa pula duo laki-laki dari AS dan Kanada mau membakar uangnya untuk klub sepak bola dari seberang samudera? Pertanyaan itu dibiarkan terjawab perlahan, tersebar sporadis dalam 18 episode.
Berkah Bos Seleb & Episode-Episode Tak Biasa
Perbedaan paling mencolok dokumenter ini muncul berkat latar duet co-chairman yang berangkat dari industri kreatif. Industri sepak bola yang merupakan 'mainan orang-orang kaya', setidaknya tampil berbeda di tangan Rob & Ryan.
Kita tak akan menemukan Dinasti Agnelli maupun keluarga Glazer menjelekkan diri sendiri, bahkan untuk turun ke proses kreatif publisitas klub-klub kepunyaan mereka. Tak seperti Rob & Ryan, kita tak akan menemukan para bos minyak yang juga 'bermain' di industri sepak bola mengeluhkan sulitnya memahami peraturan seperti offside--yang hingga akhir musim tetap tak dipahami sepenuhnya oleh Rob & Ryan.
Berkat keduanya pula (meskipun condong ke popularitas Reynolds), eksposur luas dan unik segera didapat Wrexham. Dengan cepat, sebuah klub dari kota kecil di utara Wales yang berlaga di kasta kelima Liga Inggris bisa dimainkan dalam gim video FIFA 22 serta mendapatkan sponsor mentereng di jersey mereka, TikTok.
Sebagian orang mungkin sama sekali tak tahu-menahu soal Wales. Lebih banyak lagi yang tak tahu bahwa populasi domba jauh lebih besar ketimbang populasi manusia di negara itu.
Rob & Ryan hadir mengisi kekosongan, memberi edukasi. Dalam salah satu episode, mereka total hanya membicarakan soal negara yang juga bagian Britania Raya--sembari terus-menerus di-roasting penerjemah bahasa Welsh.
Rob & Ryan mengomentari highlight pertandingan klub mereka sendiri, dan di lain waktu menyempatkan diri merekam video reaksi saat keduanya membaca opini fans di internet.
Tak kelewat sibuk bermain-main, Welcome to Wrexham juga menjelma dokumenter yang cukup edukatif. Ia membimbing penonton yang tak familier dengan sistem turnamen maupun sepak bola secara umum, serta tak lupa memaparkan secara gamblang sisi negatif semisal hooliganisme yang tak terlepaskan dari sepak bola di Britania Raya.
Diskursus menarik pun dihadirkan tatkala analisis mendalam pada episode 17 justru sepenuhnya membahas bromance Rob & Ryan secara khusus, dan perbincangan soal maskulinitas secara umum. Dokumenter ini mengambil langkah lebih maju dengan menerangkan sifat olahraga sebagai ruang aman untuk para laki-laki menunjukkan perhatian dan kasih sayang terhadap satu sama lain.
Saat tak dibutuhkan, kedua pemilik tak hadir. Dalam episode 12, misalnya, yang sepenuhnya membahas bagian getir sebagai pemain dan manusia kelas pekerja, terasa lebih tulus dengan absennya Rob & Ryan.
Berulang kali ditegaskan bahwa sepak bola lebih dari sekadar olahraga, dan klub lebih dari soal departemen sepak menyepak si kulit bundar. Seluruh fans tentu kenyang dengan narasi tersebut, dan apa yang ditunjukkan dalam Welcome to Wrexham adalah realisasinya. Bagaimana ia mampu menyatukan (atau membelah) komunitas lebih dari entitas apa pun, bagaimana kedua pemilik baru berupaya menghormati Wrexham sebagai klub tradisional yang ditopang komunitas solid dengan nilai-nilai tersendiri di baliknya.
Kaya Sudut Pandang dan Drama
Pada pertengahan musim, tanpa sadar saya mulai ikut menggumamkan lagu pembuka serial, "Everyday" oleh Buddy Holly.
Pilihan lagu yang jitu. Dengan alusi pada roller coaster, dan keyakinan bahwa cinta pasti tiba. Sebagaimana yang kaurasakan selama menyaksikan Welcome to Wrexham.
Dari The Turf (pub markas suporter Wrexham), studio band kumuh, dan titik-titik nongkrong di kota, ada upaya nyata menyorot komunitas sebagai tulang punggung Wrexham AFC. Kehadiran para suporter tak dipandang semata sebagai tempelan, apalagi pasar, sebagaimana klub-klub raksasa memandang fans mereka hari-hari ini.
Orang-orang biasa diberi suara, berulang kali pada momen-momen berbeda. Kritik terang-terangan ditampilkan dari mulut fans, relawan, bahkan staf. Sasarannya? Manajer, petinggi klub, maupun Rob & Ryan sendiri.
Satu hal yang patut dipuji dari dokumenter ini adalah kepekaannya memberi ruang bagi mereka yang rada terlupakan dari dunia yang dipandang maskulin ini. Ia menyasar opini dan perspektif para fans perempuan, kaum difabel, bahkan menjurus privat ke kehidupan pribadi mereka yang menjadikan naratifnya tak melulu ceria.
Bersambung ke bagian dua...
Editor: Nuran Wibisono