tirto.id - Melihat sejumlah temannya sudah pergi ke Jepang, Ratri, 27 tahun, tak mau kalah. Setelah menabung beberapa saat, dia memutuskan membeli tiket pesawat ke negeri Sakura itu. Di aplikasi travel langganannya, harga tiket dari Jakarta ke Tokyo dipatok Rp2,4 juta sekali jalan.
“Ya langsung aku beli. Murah kok, cuma beda tipis dengan tiket pesawat PP dalam negeri,” ujarnya riang.
Namun cerita tak berhenti di sana.
Usai membayar tiket untuk pulang pergi, dia iseng membuka aplikasi travel lain. Dan terkejutlah dia, di aplikasi itu harga tiket ke Jepang sedang promo. Harganya? Rp700 ribu sekali jalan. Keriangan Ratri langsung berubah jadi kepusingan. Walau pada akhirnya dia memaklumi keteledorannya.
“Padahal selisihnya bisa dipake buat jajan. Tapi ya gimana, emang kudu sering-sering cek aplikasi buat cari harga tiket promo,” katanya masygul.
Ratri, dan juga kawan-kawan seumurannya, adalah generasi baru para pejalan yang punya kebiasaan berbeda dengan generasi pendahulunya. Generasi milenial, juga generasi Z, adalah mereka yang sekarang jadi ujung tombak banyak hal, termasuk pariwisata. Jumlahnya besar sekali. Menurut Bloomberg, pada 2019 generasi milenial mencapai 31,5 persen dari total populasi dunia, dan gen Z malah lebih besar lagi: 32 persen.
Di dunia pariwisata, dua generasi ini adalah market share yang amat besar. Jumlah itu diikuti pula oleh kebiasaan dan kultur yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Dalam paper “Millennials: A New Trend of Tourism Industry”, Bogdan Sofronov menyebutkan bahwa generasi ini adalah mereka yang lebih memilih membeli pengalaman ketimbang barang.
Maka tak heran kalau dalam survei Deloitte (2019), 57 persen para wisatawan muda ini menyebut jalan-jalan atau melihat dunia sebagai prioritas mereka.
Karakteristik lain wisatawan muda ini adalah: mereka amat bergantung pada ponsel pintar dan internet. Dengan teknologi ini, mereka mencari nyaris segala hal. Dari tiket pesawat, hotel, tempat makan, hingga penyewaan kendaraan.
Namun, tak jarang ketergantungan ini juga punya masalah.
Bayangkan: dunia travel mobile ini adalah bisnis yang teramat besar. Pada 2016 saja, menurut eMarketer, pasar travel mobile mencapai 65 miliar dolar AS. Tak heran, banyak perusahaan travel lantas merilis aplikasi. Kalau kamu mengetik travel apps di Google Play, ada ratusan pilihan aplikasi travel.
Tepat di sana, orang-orang seperti Ratri mengalami kepusingan. Tak mungkin dia memasang ratusan aplikasi travel di ponselnya hanya untuk mencari harga tiket termurah, bukan?
Tentu saja teknologi memberi jalan keluar untuk nyaris segala masalah. Kali ini solusinya muncul melalui travel search engines. Dalam artikelnya untuk The Guardian, Kevin May menulis bahwa mesin pencari travel ini bahkan sudah dikembangkan sejak 1996.
Salah satu mesin pencari travel yang berkembang pesat dalam waktu satu dekade terakhir adalah Wego, terutama di kawasan Asia Pasifik, India, dan Timur Tengah. Di kawasan Timur Tengah, perusahaan yang didirikan oleh Ross Veitch dan Craig Hewett pada 2005 ini menjadi salah satu perusahaan travel terbesar. Mereka juga didukung oleh beberapa perusahaan ventura kapital Timur Tengah.
Tiga tahun sejak didirikan, perusahaan yang berdiri di Singapura ini mendapat pendanaan seri A sebesar 4,5 juta dolar AS dari News Digital Media, sebuah perusahaan asal Australia. Sekarang, perusahaan yang pada 2018 membukukan booking senilai 1 miliar dolar AS ini tersedia di 59 negara.
Sebenarnya bagaimana cara kerja travel search engines seperti Wego ini?
Sebenarnya tak jauh berbeda dengan mesin pencari seperti Google, hanya saja ini khusus di industri perjalanan. Misal kamu mencari tiket pesawat, tinggal masukkan tujuan perjalanan dan tanggalnya. Wego akan otomatis menyusuri berbagai harga tiket di agen perjalanan online, dan memberikan harga beserta durasi perjalanan. Di sana, pengguna bisa membandingkan sendiri mana perjalanan yang lebih nyaman untuknya.
Satu-satunya perusahaan travel search engines yang membuka kantor di Indonesia ini juga bekerjasama dengan banyak agen perjalanan online, seperti Tiket.com, Arena Tiket, Nusatrip, Via.com, juga Airpaz. Tak hanya itu, Wego juga bekerjasama dengan berbagai maskapai penerbangan, seperti Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan Transnusa.
Pada 2017, Wego mendapat pendanaan 12 juta dolar dari Middle East Broadcasting Center, dan makin memperbesar dominasinya di Timur Tengah. Aplikasi perjalanan ini terus berkembang dan senantiasa menawarkan sesuatu yang baru. Selayaknya perusahaan travel digital yang mengandalkan aplikasi, Wego memberikan banyak fitur menarik untuk dijelajahi.
Fitur Explore, misalkan, memberikan pengalaman menarik. Pengguna bisa memilih sendiri jenis perjalanan yang dia inginkan. Ada sub-fitur bernama Negara Bebas Visa, sebuah penawaran tiket pesawat ke negara-negara yang tak perlu visa untuk dikunjungi. Di sini, kamu bisa memilih tiket ke Thailand hingga ke Uzbekistan.
Ada juga Ide Liburan yang dibagi ke beberapa pilihan. Mulai dari Budaya, Backpacking, Romantis, Alam, hingga Manula dan Ramah Muslim. Yang tak kalah menarik adalah fitur Hot Deals. Di fitur ini, harga penerbangan yang ditampilkan lebih murah sekitar 20 persen dari harga rata-rata.
Sama seperti perusahaan travel di era digital yang juga harus aktif di media sosial, begitu pula Wego. Mereka selalu update informasi terbaru, mulai gambar hingga informasi promo, atau menjawab pertanyaan pengguna. Wego Indonesia bisa ditemukan di Instagram dengan akun @wegoindonesia, Twitter @WegoID, Facebook Wego Indonesia, dan YouTube.
Kini, di ponsel Ratri sudah terpasang aplikasi Wego, lengkap dengan segala pemberitahuannya. Jadi semisal ada harga tiket turun, atau promo terbaru --seperti bulan ini ada “Agustus Promo Tiket” atau “Promo Jakarta Getaway Sale ke USA dan Kanada” maupun Liburan Mewah di Minor Hotels dengan Skyward Emirates yang berlaku hingga Februari 2020-- Ratri tak akan ketinggalan informasi.
“Gak perlu rugi lagi kayak kasus Jepang, dan gak usah pasang banyak aplikasi traveling,” ujarnya sembari tertawa.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis