tirto.id - Diperkirakan ada 4,9 ribu ton tinja warga Jakarta setiap harinya. Butuh 12 ribu truk sampah DKI Jakarta berukuran besar untuk menampung seluruh tinja dalam sehari.
Kalkulasi bobot tinja itu diestimasi dengan mengalikan jumlah penduduk Jakarta dengan frekuensi buang air besar, lalu dikalikan massa tiap kali buang air besar. Jumlah penduduk Jakarta menurut data Badan Pusat Statistik DKI pada 2015 adalah 10,17 juta jiwa. Menurut penelitian Seyed Mohammad Kazem Hosseini dan Seyed Davood Hosseini dari Departemen Patologi Universitas Ilmu Kedokteran Shahr-e Kord, Iran, frekuensi rata-rata buang air besar dari 1.000 responden yang dia teliti adalah 1,5 kali sehari. Rata-rata volume tinja yang mereka hasilkan tiap kali adalah 320 gram.
Namun, jumlah perkiraan tumpukan tinja di Jakarta tersebut bisa saja tak mengkhawatirkan. Sebab dari data profil kesehatan Indonesia dari Kementerian Kesehatan, pada 2015 DKI Jakarta tergolong memiliki sanitasi yang baik, jumlahnya sebesar 89,28 persen. Meski begitu, menurut data BPLHD tahun 2009, 55 persen air tanah di Jakarta telah terkontaminasi dengan bakteri E. coli.
Di luar Jakarta, ada beberapa provinsi yang memiliki persentase rendah dalam hal sanitasi, yakni Nusa Tenggara Timur hanya 23,90 persen, Papua 28,04 persen, dan Kalimantan Tengah 35,88 persen.
Menurut data WHO 2010, diperkirakan sebesar 1,1 miliar orang atau 17 persen penduduk dunia masih buang air besar di area terbuka. Sebanyak 81 persen penduduk buang air besar sembarangan tersebar di 10 negara. Indonesia berada di urutan kedua yakni 12,9 persen. Rangking pertama ditempati India, yakni 58 persen.
Kepemilikan jamban merupakan salah satu indikator lingkungan ramah ekologi dan sehat. Namun, di Indonesia masih banyak masyarakat yang tak memilikinya. Pada 2013, mengacu pada riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan, ada 76,2 persen warga Indonesia yang memiliki fasilitas jamban sendiri. Kemudian 6,7 persen memanfaatkan jamban milik bersama dan 4,2 persen warga yang memakai jamban umum. Sisanya sebanyak 12,9 persen warga Indonesia yang memilih buang air besar di sembarang tempat.
Jenjang pendidikan dan kemiskinan mempengaruhi cara seseorang dalam memperlakukan tinjanya. Dari studi yang dilakukan Mahasiswa Program S1 Konsentrasi Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman Irna Yuliana, tahun 2013, masyarakat di sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda sebagian besar menggunakan jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Ada yang menggunakannya terapung di atas sungai. Ada pula warga yang memiliki jamban di rumahnya, namun saluran pembuangannya tetap ke sungai.
Fatalnya, Sungai Karang Mumus adalah salah satu sungai yang mengalir di Kota Samarinda dan merupakan anak Sungai Mahakam. Sungai Karang Mumus telah menurun baik dari segi kualitas air, kondisi fisik sungai maupun sempadannya. Masyarakat mengetahui dampak yang ditimbulkan dari pembuangan tinja cair yang dibuang ke sungai, yakni menimbulkan bau yang tidak sedap dan menurunnya kualitas air. Namun, mereka mengabaikan hal itu.
Terkait jenis-jenis jamban, Mubarak dan Chayatin mendefinisikan melalui buku Ilmu Kesehatan Masyarakat, Teori dan Aplikasi tahun 2009. Beberapa jenis jamban yang dominan di Indonesia, di antaranya ialah Jamban Cemplung. Bentuknya sederhana. Bentuk kakusnya membuat orang yang buang air besar harus jongkok. Tinja dibuang pada sebuah tanah yang digali. Otomatis menimbulkan bau tak sedap.
Kemudian jamban Plengsengan. Jamban ini juga menyediakan tempat jongkok. Namun ada saluran dengan kemiringan tertentu yang menggiring tinja pada tempat pembuangan yang jaraknya jauh. Sedangkan di zaman jamban Bor, wadah penampung tinja digunakan dengan alat bor auger. Diameter lubang buangan sekitar 30 hingga 40 sentimeter. Jamban ini memang tak menimbulkan bau, tapi rentan mengotori air tanah.
Ada juga jamban Angsatrine yang salurannya berbentuk serupa lekukan leher angsa. Hal terakhir itulah yang mencegah munculnya bau tak sedap. Berbagai jenis serangga pun tak bisa keluar-masuk. Ada pula jamban Empang. Tinja akan langsung dibuang ke empang yang airnya mengalir di bawahnya. Selain itu, ada jamban Septic Tank, yang memakai bak penampung sebagai tempat bagi pembusukan kuman.
Di sisi lain, mereka juga mengklasifikasikan jenis-jenis kakus. Beberapa di antaranya kakus cubluk, penampungan tinja tempat berada di bawah tempat pembuangan. Kemudian kakus empang dibangun di atas empang, sungai, ataupun rawa. Kakus model ini membuat tinja tersebar begitu saja. Padahal ada banyak biota akuatik yang akan mengonsumsinya.
Metode pembuangan tinja yang baik berdasarkan konsep dan definisi MDGs ialah menghindari kontaminasi tanah dan air permukaan dengan tinja. Kemudian menjaga agar tinja tak mencemari air tanah yang bisa tersalut melalui mata air atau sumur. Selain itu upayakan agar tinja tak mudah diakses oleh berbagai jenis serangga. Selebihnya harus menjaga tingkat kebersihan jamban.
Tumbang Karena Tinja
Jika tinja tak diorganisir dengan baik, maka akan menjadi bagian dari mata rantai penularan penyakit. Sebab siklus penyakit dimulai dari tinja yang mengandung mikroorganisme patogen. Tinja akan merangsek ke air dan tanah. Penyakit yang mudah menyebar dan mengakibatkan kematian ialah diare.
Dari tinja, pola penyebaran penyakit dihantarkan serangga. Lalat misalnya, berperan dalam penyebaran penyakit yang mudah menular. Serangga gemar menempatkan telurnya pada tinja. Sebab tinja manusia mengandung bahan-bahan yang dapat menjadi makanan hewan itu.
Apalagi di negara dengan iklim tropis, potensi penularan penyakit melalui lalat cenderung tinggi. Maka dari itu jamban seharusnya menjadi wadah isolasi tinja yang mencegah pencemaran air, tanah, kontak dengan manusia, dan tak memicu kedatangan serangga.
Lingkungan yang tercemar tinja, menjadi ruang yang baik bagi penularan penyakit infeksi. Beberapa jenis penyakitnya yaitu diare, kolera, demam tifoid, dan deman paratifoid, disentri, penyakit cacing tambang, ascariasis, hepatitis A dan E, penyakit kulit, trakhoma, schistosomiasis, cryptosporidiosis, dan malnutrisi.
Salah satu dampak yang membahayakan dari salah urus tinja ialah diare. Penyakit itu bisa dideteksi dari perubahan tekstur tinja. Jika terjangkit, tinja manusia lembek sampai berbentuk cairan. Buang air besar akan terjadi melebihi 1,5 kali perhari.
Dari data WHO tahun 2009, ada 2 miliar kasus diare di dunia. Hal tersebut mengakibatkan 1,5 juta orang meninggal pada setiap tahunnya. Di negara berkembang seperti Indonesia, rata-rata anak mengalami 3 kali diare tiap tahunnya. Hal tersebut menghambat tumbuh kembang anak.
Sedangkan Saleh dan Lia Hijriani Rachim, mendeteksi hubungan sanitasi dengan kejadian diare pada anak balita. Dua peneliti UIN Alauddin Makassar tersebut, mendalami masalah di wilayah kerja Puskesmas Baranti, Sidrap, Sulawesi Selatan tahun 2013. Ditemukan bahwa penderita diare per tahun ialah 234 kasus. Dari 270 responden yang terdata, 202 responden memiliki jamban dan 68 responden tidak. Mereka mengungkapkan bahwa, ada hubungan antara jamban keluarga dengan kejadian diare.
Diare merupakan masalah kesehatan yang masih sering dialami oleh masyarakat dan merupakan penyebab penyumbang tingginya angka kesakitan dan angka kematian. Data profil kesehatan Indonesia dari Kementerian Kesehatan, tahun 2015 ada 13 provinsi terserang kejadian luar biasa penyakit diare. Terdapat 1.213 kasus diare mengakibatkan 30 jiwa meninggal. Pada tahun sebelumnya, ada 2.549 kasus diare, sedangkan 29 orang di antaranya meninggal. Kemudian kasus tertinggi terjadi apda tahun 2008, terdapat 8133 kasus berdampak kematian 239 jiwa.
Bahkan jika diare masuk dalam taraf akut, maka akan memunculkan penyakit kolera dari bakteri Vibrio cholera. Begitu juga diisenteri, sebuah penyakit yang ditandai dengan diare berdarah. Bakteri penyebab diare yang sering menyerang adalah bakteri Entero Pathogenic Escherichia Coli (EPEC).
Jika kita meremehkan tinja, sama saja dengan mencederai hak hidup diri sendiri. Sebab kesehatan merupakan hak paling dasar setiap manusia.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani