tirto.id - Sebelum memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan direktur kreatif Celine, Phoebe Philo mempersembahkan koleksi musim semi 2018 untuk rumah mode tersebut. Di koleksi terakhirnya ia memilih palet pastel dari warna-warna merah muda, kuning, dan abu-abu.
Dalam peragaan koleksi busana pertama kali di Oktober lalu, ragam warna tersebut saling berpadu menjadi atasan dan bawahan. Ia menjadi warna bagi busana berbentuk jas dengan bahu besar bermodel longgar yang dipasangkan dengan celana atau rok sepanjang lutut.
Selain Phoebe, Victoria Beckham melakukan hal serupa. Ia menciptakan setelan pantsuit, sebutan bagi setelan busana yang terdiri dari celana, jas, dan kemeja. Layaknya Phoebe Victoria memilih spektrum warna pastel. Bedanya, Victoria lebih suka memadukan busana dengan elemen warna yang sama.
Ragam koleksi tersebut mengingatkan pada gaya busana wanita dekade 1970an. Era saat bagian kecil wanita di Amerika baru mulai berani mengenakan celana agar bisa dipandang sama dengan pria dan bisa leluasa dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Di zaman tersebut, wanita mulai punya pekerjaan lain di luar ranah domestik. Sebagian dari mereka jadi pekerja kantoran atau pengusaha. Agar bisa dianggap oleh para pria yang mendominasi lingkungan kerja, salah satu cara yang dilakukan ialah meniru gaya penampilan pria.
Shira Tarrant, penulis buku Fashion Talks: Undressing The Power Of Style, mengungkap bahwa cara wanita meniru gaya itu masih menuai kritik.
Pada era itu, wanita bergaya androgini yang tak menuai kritik melainkan justru dipuja mungkin hanyalah Annie Hall, karakter wanita yang diperankan oleh aktris Diane Keaton dalam film garapan Woody Allen. Dalam film tersebut, Annie senantiasa mengenakan busana pria. Lewat film yang tayang pada tahun 1977, Diane Keaton mendapat penghargaan sebagai ikon gaya androgini di tengah tren busana kontemporer.
Dulu, mengenakan suit alias setelan bukanlah hal mudah bagi wanita. Pada 1930an, artis Marlene Dietrich menjadi satu-satunya wanita yang berani mengenakan tuxedo. Awalnya, pakaian tersebut dikenakan lantaran ia memerankan karakter pria dalam film Morocco. Tiap lakon ia jalani, termasuk adegan mencium wanita. Di tahun itu, sikap Dietrich terkesan mengejutkan.
Ternyata, ia nyaman mengenakan busana tuxedo. Dietrich kemudian memilih busana tersebut sebagai gaya busana sehari-hari. Ia menyewa seorang penjahit khusus untuk membuat beragam model busana. Marlene merasa tuxedo dan pantsuit ialah busana yang tepat untuk melindungi bentuk bahunya yang lebar.
Dalam balutan busana maskulin Marlene pernah mendapat masalah. Suatu hari, ketika aktris asal Jerman ini hendak berlibur ke Paris, seorang polisi mengungkap peraturan yang memuat larangan bagi wanita untuk mengenakan celana di dalam kota. Peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah Perancis pada 1800. Dietrich mengurungkan niat untuk datang ke kota itu. Ia enggan melepas jasnya.
Salah satu tujuan dibentuknya peraturan adalah untuk membatasi ruang gerak wanita dalam melakukan pekerjaan tertentu dan supaya wanita tidak berpakaian sama dengan pria. Pada 1909, pemerintah Perancis melonggarkan aturan dengan mengizinkan wanita mengenakan celana apabila tengah mengendarai sepeda atau menunggang kuda.
Pengalaman pahit karena mengenakan setelan jas juga pernah dirasakan oleh sosialita asal New York, Nan Kempner. Pada 1969, ia tidak diperbolehkan masuk ke sebuah restoran di Manhattan. Saat itu Kempner mengenakan setelan celana dan jas rancangan Yves Saint Laurent. Akhirnya, Kempner terpaksa melepas celana dan memperlakukan jas sebagai terusan mini.
Peristiwa itu terjadi tiga tahun setelah Yves Saint Laurent mengeluarkan koleksi busana maskulin pertamanya untuk wanita. Koleksi tersebut ia namakan Le Smoking. Sejumlah selebritas seperti Liza Minelli dan Bianca Jagger tertarik untuk mengenakan koleksi itu. Salah satu inspirasi Saint Laurent ialah seniman Niki de Saint Phalle yang pernah tampil mengenakan jas dan sepatu berhak tinggi.
Melihat para wanita yang mulai mengenakan setelan jas, desainer Donna Karan mempertanyakan sisi sensual wanita apabila mengenakan busana tersebut. Ia ingin perempuan sebagai perempuan, lengkap dengan sensualitasnya. Pertanyaan ini muncul pada pertengahan 1980an. Saat itu, penjualan suit perempuan tengah mengalami peningkatan.
Buku Backlash: The Undeclared War Against American Women menuliskan bahwa pada tahun 1980-1987, penjualan suit wanita meningkat hampir 6 juta unit setiap tahunnya.
Maka, pada awal tahun 1990an, Karan melansir kampanye (promosi) In Woman We Trust. Dikisahkan, seorang wanita hendak maju menjadi presiden. Wanita tersebut terlihat bekerja dikelilingi sejumlah pria. Di sana, nampak seorang model wanita mengenakan busana kemeja dan jas longgar dengan belahan dada yang dibiarkan terbuka.
Anda bisa melihat gambaran yang cukup maju di zaman itu: Di tahun 1992, seorang perempuan hendak mengejar jabatan presiden, sebuah posisi yang biasanya diduduki pria, dan ia tampil cantik menawan dengan setelan jasnya.
Jauh sebelum Karan, ada Coco Chanel sebagai pionir. Pada 1923, Chanel mengeluarkan koleksi signature suit berupa jas dan rok sepanjang lutut. Grace Lees Maffei penulis buku Iconi Designs: 50 Stories About 50 Things menyatakan bahwa busana yang didesain Chanel berhubungan dengan emansipasi perempuan.
Maffei menganggap Chanel berhasil mengakomodasi sebuah setelan yang mampu menunjang kebutuhan wanita modern. Busana Chanel kian hidup lantaran sejalan dengan situasi Amerika pasca-perang dunia yang berdampak pada peningkatan jumlah wanita bekerja.
Kini, setelan jas menjadi pilihan busana untuk acara-acara yang tidak begitu resmi. Di panggung Hollywood, pakaian ini dikenakan pada momen-momen di karpet merah. Anne Hathaway, Tilda Swinton, Emma Watson, Kristen Stewart adalah beberapa pesohor yang beberapa kali tampil mengenakan setelan.
Jauh di luar panggung Hollywood, Jemima Tumewu, 29 tahun, seorang pekerja periklanan mengaku kerap memilih suit sebagai busana saat menghadiri acara pernikahan kerabat. Ia, katanya, ingin memancarkan kesan yang berbeda.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani