tirto.id -
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WALHI Wahyu A Pradana mengatakan, klaim itu berpotensi menyesatkan publik sebab penurunan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) justru lebih banyak dipengaruhi faktor cuaca, bukan upaya sistematis yang dilakukan pemerintah.
"2016-2017 dominan bencana alamnya banjir disertai longsor. Bisa dicek laporan akhir BNPB 2016. Kalau pendekatannya angkanya turun, ya, memang turun. Tapi kalau apple to apple kita harus lihat lagi jangka waktunya," kata Wahyu kepada Tirto, Minggu (26/8/2018).
Ia justru mengingatkan bahwa bencana asap akibat kebakaran hutan masih terjadi dan berpotensi membesar hingga tahun 2019. Beberapa hari lalu, misalnya, kebakaran yang terjadi di Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat membuat Dinas Pendidikan meliburkan sekolah.
"Kami cukup khawatir kalau melihat waktunya Agustus itu bukan puncak kekeringan. Kalau melihat iklim sekarang ada kemungkinan sampai September nanti. Karena itu kami kasih warning ke pemerintah ini belum puncaknya," tegas Wahyu.
Sepanjang 1 Januari-25 Agustus lalu saja, WALHI menemukan 3.578 yang tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan. O
verlay (penggabungan peta) sebaran titik api di Kalimantan dan Sumatera itu bersumber dari Citra Modis C6 dengan tingkat kepercayaan 80-100 persen serta Peta Provinsi di badan geospasial.765 titik api di antaranya berada di area lahan konsesi korporasi. "Karena itu lah, kami meminta pemerintah membuka ke publik lahan-lahan konsesi mana saja yang terbakar dan siapa yang bertanggung jawab," imbuhnya.
Menurut Wahyu, ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menanggulangi karhutla yang tak kunjung berkurang di Indonesia.
Pertama, menghentikan konversi dari kawasan gambut menjadi perkebunan dan konsesi Kehutanan. Dan kedua, melakukan review izin kawasan-kawasan konsesi yang kini dikuasai korporasi.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri