tirto.id - Perempuan adat bukan saja berperan sebagai penjaga tradisi, melainkan juga aktor utama dalam menjaga kelestarian alam. Mereka punya cara yang unik untuk berterima kasih kepada semesta yang telah berbaik hati memberi penghidupan.
Jika bisa digambarkan, senyuman Mama Aderce bisa mencapai satu jengkal telunjuk tatkala memamerkan tangkapan teripang nanas sebesar dua lengan yang dirapatkan. Aderce adalah salah satu perempuan Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat yang melakukan ritual sasi di awal bulan ini.
Sasi sendiri merupakanmekanisme adat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam—baik di darat maupun di laut—dalam jangka waktu tertentu. Selama sasi berlaku, masyarakat tidak boleh mengambil sumber daya di dalam wilayah sasi hingga tiba waktu panen (sasi dibuka).
Masyarakat Maluku dan Papua lazim melakukan tradisi ini demi menjaga ketersediaan sumber daya alam. Mereka biasa mengelola sasi laut, memanen biota seperti teripang atau lobster dalam waktu-waktu tertentu dalam setahun. Berkat sasi, sumber daya alam akan beregenerasi dan tetap mampu menunjang kebutuhan masyarakat.
Dalam tradisi sasi yang umum, kelompok laki-laki di kampung setempat punya hak pengelolaan penuh, mulai dari panen hingga penyaluran hasil sasi. Tapi, Kampung Kapatcol lain. Sejak satu setengah windu yang lalu, tepatnya sejak 2010, perempuan Kapatcol mendobrak tradisi sasi laki-laki.
Betsina Hay, istri kepala Kampung Kapatcol saat itu, bersama dengan saudaranya Almina Kacili mempertanyakan hak mereka—para perempuan—dalam mengelola wilayah perairan.
“Perempuan juga harus berada di garis depan dalam menjaga kelestarian alam. Hal lain yang tak kalah penting dengan menanamkan prinsip pelestarian alam di lingkungan keluarga,” kata Mama Almina.
Transisi pengelolaan sasi dari kelompok laki-laki ke kelompok perempuan atau kepada para mama di Kampung Kapatcol tergolong mulus karena campur tangan Mama Betsina. Status sosialnya cukup terpandang sehingga kelompok laki-laki ikut mendukung transisi sasi kepada kelompok perempuan sejak awal.
Mama Betsina dan Mama Almina kemudian menginisiasi kelompok sasi perempuan Waifuna yang dalam bahasa setempat berarti berkah dari Tuhan yang Mahakuasa.
“Bisa jadi Waifuna adalah kelompok perempuan pertama di Papua yang memiliki wilayah pengelolaan sasi,” terang Mama Almina yang sekarang didapuk menjadi ketua kelompok Waifuna.
Hak perempuan mengelola sasi di sana pun diakui penuh oleh pemerintah kampung, gereja, dan pemegang adat. Di awal eksistensinya, Waifuna mengelola wilayah sasi seluas 32 hektare untuk teripang dan lobster. Kemudian sejak 2019, pemerintah kampung setempat memberikan perluasan area sasi menjadi 215 hektare.
Kelompok laki-laki di Kampung Kapatcol ikut mendukung dan membantu mengambil biota yang telah siap saat panen dan pemantauan. Namun, proses pengelolaan secara menyeluruh serta pencatatan hasil sudah diserahkan kepada para mama.
Waifuna tak menemui kesulitan berarti ketika menjalankan peran sebagai ujung tombak tradisi sasi di wilayah Kapatcol. Sebab, laut dan perempuan di sana adalah kesatuan. Perkara menyelam bebas tanpa alat pun sudah jadi denyut kehidupan mereka.
Tantangan yang saat ini mereka hadapi berkaitan dengan perubahan iklim—problem yang dihadapi oleh 7,7 miliar manusia di bumi dan paling membuat dampak bagi kelompok marginal dan miskin.
“Beberapa tahun terakhir ombak besar, angin kencang, dan hujan harus kami hadapi saat berpatroli di wilayah sasi,” kata Almina.
Patroli itu bertujuan untuk menjaga wilayah sasi agar aman dari para pembajak yang berniat mengambil biota sebelum waktu panen. Para pembajak itu biasanya melakukan pemboman atau menggunakan cara-cara penangkapan destruktif lainnya.
Perempuan Waifuna Sang Penggerak Roda Ekonomi
Lima tahun pascainisiasi pemindahan hak pengelolaan sasi kepada kelompok perempuan, Mama Betsina meninggal dunia. Namun, warisan perjuangan Mama Betsina tetap berdampak dan bisa dinikmati masyarakat Kampung Kapatcol hingga sekarang.
Kelompok Waifuna mampu membiayai kegiatan keagamaan di gereja, kebutuhan sosial kemasyarakatan, pemeliharaan kesehatan warga, hingga tabungan pendidikan—semacam beasiswa bagi anak kampung yang berprestasi—dari keuntungan penjualan hasil panen buka sasi.
Apalagi, dalam perjalanannya, Waifuna mendapat pendampingan pengelolaan sasi berkelanjutan dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), organisasi nirlaba berbasis ilmiah dengan misi melindungi wilayah daratan dan perairan sebagai sistem penyangga kehidupan.
Mereka kemudian mengembangkan kesepakatan sasi berdasarkan hasil pemantauan populasi teripang dan lobster. Para anggota kelompok harus menyepakati aturan yang dibuat dari hasil pemantauan, misalnya hanya boleh mengambil biota dewasa dengan memakai alat tangkap ramah lingkungan.
Kelestarian tradisi sasi yang mereka pelihara kemudian disempurnakan dengan ilmu baru tentang manajemen organisasi. Supaya efektif dan efisien, kelompok Waifuna dibagi dalam grup-grup kecil untuk menyelam, memanen, mencatat hasil panen, serta mengelola keuangan hasil penjualan panen.
“Konservasi lebih efektif bila didukung sistem sosial budaya dan peran perempuan yang terwujud menjadi kebijakan lokal. Sasi kelompok perempuan Waifuna telah mampu memperbaiki kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat,” ungkap Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman.
Semenjak perempuan Waifuna memegang tradisi sasi, hasil patroli sasi juga mengungkapkan nol kasus pemboman ikan. Dampaknya, ekosistem laut di sana terus terjaga dan pada akhirnya menjadi upaya mitigasi perubahan iklim karena ekosistem laut mampu menyerap 25 persen emisi karbon.
Kiprah kelompok perempuan Waifuna mengajarkan kita bahwa perempuan juga bisa berperan penting dalam pelestarian lingkungan sekaligus tradisi luhur seperti sasi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi