Menuju konten utama
Mozaik

Sengketa dan Ancaman Perubahan Iklim di Ladang Es Patagonia

Patagonia sempat menjadi ladang persengketaan antara Chili dan Argentina. Sementara perubahan iklim terus menggerus keberadaannya.

Sengketa dan Ancaman Perubahan Iklim di Ladang Es Patagonia
Header Mozaik Patagonia. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada akhir abad ke-19, Kapten Leonidas bertugas mengangkut gula melintasi Kanal Messier, jalur air yang berisi pulau-pulau kecil, fyord, dan gletser, membentang di bagian selatan Argentina dan Chili.

Suatu malam kapal yang berlayar dari Santos, Brazil itu diterjang badai dan menghilang. Legenda setempat mengatakan kapal itu dikutuk dan sekarang mengarungi perairan di sekitar kanal sebagai kapal hantu.

Setelah kembali terlihat sekitar tahun 1968, banyak pelaut telah melaporkan penampakan, tetapi tidak ada yang cukup berani untuk mendekatinya. Desas-desus menyebutkan kapal yang membawa gula senilai $1 juta itu hendak ditenggelamkan sebagai upaya untuk melakukan klaim palsu terhadap asuransi.

Baru-baru ini, Pemerintah Chili memasang lampu dan reflektor infra merah pada salah satu tiang kapal tersebut yang berfungsi sebagai mercusuar dan penanda navigasi. Selama lebih dari 50 tahun, bangkai kapal "hantu" itu hilir mudik sepanjang kanal dan sengaja dibiarkan sebagai bagian dari wisata, pengingat tragedi maritim yang kelam.

Pada siang hari, kerap dijadikan obyek wisatawan untuk diabadikan dari kapal feri yang melintas dari Puerto Montt menuju Puerto Eden, sebuah kota terpencil di Chili yang didominasi penduduk asli Indian Kawesqar.

Beberapa kilometer dari kota ini, terdapat sebuah lidah gletser terbesar di Amerika Selatan, Patagonia, yang memiliki ketinggian lebih dari 70 meter dan menjulur ke belakangnya sebuah ladang es non-kutub terbesar di dunia.

Membentang dari Chili hingga Argentina

Gletser paling sedikit dengan skala yang kecil disebut dengan Ladang Es Patagonia Utara, terletak di Chili dengan luas yang terus mengecil, membentang lebih dari 100 kilometer dan ukurannya saat ini diperkirakan sekitar 3.700 kilometer persegi.

Ladang es yang juga dikenal Campo de Hielo Norte ini merupakan sisa Lapisan Es Patagonia, yang menutupi area yang jauh lebih luas selama periode glasial terakhir. Ini terdiri dari banyak gletser dan tudung es yang saling berhubungan, termasuk gletser San Quintín, San Rafael, Nef, Colonia, dan Exploradores.

Gletser ini disuplai oleh akumulasi hujan salju di daerah dataran tinggi Andes. Kini sepenuhnya berada di dalam pengawasan Taman Nasional Laguna San Rafael, Chili.

Sedangkan Ladang Es Patagonia Selatan, dikenal sebagai Campo de Hielo Sur, membentang di sepanjang pantai barat di Chili dan sebagian di Argentina. Ladang es meliputi area seluas sekitar 16.480 kilometer persegi, di mana 14.200 kilometer persegi milik Chili dan 2.600 kilometer persegi milik Argentina.

Ladang es meliputi area sepanjang 350 kilometer dan dialiri oleh jaringan gletser yang berasal dari pergunungan tinggi. Es di Patagonia merupakan sumber air yang vital dan berperan penting dalam mengatur iklim.

Massa es di Ladang Es Patagonia Selatan juga memberi makan lusinan gletser di daerah tersebut, termasuk gletser Upsala, Viedma, dan Perito Moreno di Argentina, dan gletser Pío XI, O'Higgins, Grey, dan Tyndall di Chili.

Gletser mengalir ke area barat ke kanal-kanal di Samudra Pasifik dan ke area timur ke Danau Viedma dan Danau Argentino dan akhirnya melalui Sungai De la Leona dan Santa Cruz sebelum diteruskan ke Samudra Atlantik.

Pada tahun 2005, upaya perlindungan bagi Lapangan Es Patagonia Selatan dilakukan dengan mendirikan Taman Nasional Los Glaciares di Argentina dan Taman Nasional Bernardo O'Higgins di Chili. Taman-taman ini melindungi sebagian besar lapangan es dan area sekitarnya.

Daerah ini juga merupakan rumah bagi dua gunung berapi yang jarang dipelajari, Lautaro dan Viedma.

Tantangan Seru bagi Para Pendaki

Ladang Es Patagonia mencakup bentangan luas gletser dan pergunungan berselimut salju yang menawarkan kesempatan mendaki yang luar biasa.

Jauh sebelum penjelajah Eropa datang, wilayah Patagonia sudah dihuni oleh masyarakat adat, seperti Tehuelche dan Mapuche. Suku-suku ini memiliki pengetahuan yang mendalam tentang tanah dan kemungkinan melintasi bagian dari ladang es sambil berburu atau melakukan rute perdagangan.

Eksplorasi Eropa pertama yang tercatat di wilayah Patagonia berasal dari abad ke-16. Ferdinand Magellan, seorang penjelajah Portugis yang berlayar di bawah bendera Spanyol, menemukan ujung selatan Amerika Selatan pada tahun 1520, yang dia beri nama Tierra del Fuego (Tanah Api).

Namun, baru pada abad ke-19 para penjelajah mulai menjamah ladang es.

Pada akhir abad ke-19, penjelajah petualang seperti Julius Popper dan Francisco Pascasio Moreno berkelana ke hutan belantara Patagonia, termasuk padang es. Mereka bertujuan untuk memetakan wilayah dan menyelidiki keajaiban alam di wilayah tersebut. Ekspedisi mereka meletakkan dasar untuk penjelajahan masa depan dan pengembangan rute pendakian.

Selama awal abad ke-20, para pendaki gunung mulai melakukan langkah signifikan di Lapangan Es Patagonia. Pada 1937, Alberto Maria De Agostini, seorang pendeta dan penjelajah Italia, menyelesaikan lintasan pertama yang tercatat dari Lapangan Es Patagonia Selatan, menempuh jarak sekitar 150 kilometer. Pencapaian ini membawa perhatian pada potensi hiking dan mountaineering di wilayah tersebut.

Sejak pertengahan abad ke-20 dan seterusnya, mendaki gunung di Ladang Es Patagonia semakin populer di kalangan penggemar pertualangan dari seluruh dunia.

Sebagaimana dilansir BBC, kini rute pendakian yang lebih mudah banyak didirikan, seperti halnya Sirkuit Huemul di wilayah Argentina. Lintasan mendaki yang berlatar Gunung Fitz Roy, gunung granit berketinggian 3.400 meter ini menawarkan pemandangan gletser, pergunungan, dan hutan belantara yang menakjubkan.

Jadi Ladang Persengketaan

Di sekitar ladang es dekat perbatasan antara Chili dan Argentina, terletak 50 kilometer dari Gunung Fitz Roy dan Cerro Murallón, masih belum ditentukan batasnya dan menjadi sumber perselisihan yang terus berlanjut antar kedua negara.

Perselisihan muncul pada 1960-an ketika Chili dan Argentina tidak dapat menyetujui lokasi perbatasan di Andes, Patagonia, dikenal dengan Insiden Laguna del Desierto.

Peristiwa terjadi pada 6 November 1965. Bentrokan berlangsung antara empat Carabineros Chili (polisi) dengan 40 hingga 90 anggota Gendarmerie Nasional Argentina (polisi paramiliter) di daerah selatan Danau O'Higgins/San Martín, di wilayah Patagonia.

Insiden tersebut mengakibatkan kematian Letnan Chili Hernán Merino dan terlukanya Sersan Miguel Manríquez. Dua Carabinero lainnya ditangkap dan ditahan selama 72 jam sebelum dibebaskan.

Insiden itu terjadi di saat ketegangan antara Chili dan Argentina sudah terjadi terkait kepemilikan Laguna del Desierto. Kedua negara telah mempersengketakan kepemilikan danau sejak abad ke-19 dan insiden itu hanya memperburuk hubungan kedua negara.

Setelah kejadian, kedua negara sepakat mengirim komisi bersama untuk menyelidiki latar belakang insiden.

Pada 1991, perselisihan dibawa ke Pengadilan Internasional, yang mengakui kedaulatan Chili atas bagian utara wilayah yang disengketakan, termasuk Laguna del Desierto. Argentina setuju untuk membayar kompensasi sebesar $100.000 kepada Chili.

Insiden Laguna del Desierto merupakan kemunduran serius bagi hubungan antara Chili dan Argentina.

Warsa 2006, ketegangan kembali terjadi ketika sebuah kelompok Argentina menduduki daerah tersebut dan mengibarkan bendera mereka.

Di tahun yang sama, Argentina mengedit peta tanpa mencatat pendataan yang ditentukan tetapi menunjukkan klaimnya sebagai batas resmi, yang menyebabkan protes dari Chili. Mereka juga melakukan Inventarisasi Es Nasional yang mencakup beberapa gletser yang disengketakan.

Sebaliknya banyak orang di Chili menganggap perbatasan telah ditetapkan oleh perjanjian tahun 1902, yang membuat sebagian besar wilayah yang disengketakan berada di pihak Chili.

Sampai kini, sengketa perbatasan di beberapa titik masih terjadi.

Infografik Mozaik Patagonia

Infografik Mozaik Patagonia. tirto.id/Tino

Terus Menipis dari Tahun ke Tahun

Ladang Es Patagonia menghadapi sejumlah ancaman, termasuk perubahan iklim yang menyebabkan es mencair. Lapangan es juga rentan terhadap polusi dari kegiatan pertambangan dan industri lainnya.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal Nature Geoscience, gletser di Patagonia telah kehilangan 10 persen massanya selama empat dekade terakhir. Studi tersebut memperkirakan gletser di kawasan itu telah kehilangan 74 gigaton es sejak 1975, setara dengan 270 miliar ton air.

Penyusutan dramatis ini terutama disebabkan oleh kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan akibat perubahan iklim. Para ilmuwan telah mengamati bahwa kenaikan suhu dan perubahan pola presipitasi berkontribusi terhadap pengurangan volume es.

Saat atmosfer bumi menghangat, jumlah hujan salju yang turun di Ladang Es Patagonia semakin berkurang. Ini karena udara yang lebih hangat dapat menahan lebih banyak kelembapan, dan saat suhu udara naik, udara dapat menahan lebih banyak kelembapan tanpa menjadi jenuh.

Akibatnya, ladang es tidak menerima cukup salju untuk mengimbangi jumlah es yang mencair. Suhu yang lebih hangat menyebabkan peningkatan laju pelelehan, sementara perubahan pola presipitasi memengaruhi keseimbangan antara akumulasi dan ablasi (pelelehan dan sublimasi) es.

Selain perubahan iklim, penurunan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti deforestasi dan polusi. Penggundulan hutan mengurangi jumlah uap air yang tersedia di lapangan es, dan polusi menghangatkan udara dan air di sekitar lapangan es.

Faktor-faktor tersebut menghasilkan hilangnya massa es dan penipisan gletser. Selain itu, perubahan juga dipicu oleh pola angin, pengaruh samudra, dan topografi lokal, yang dapat berkontribusi pada perilaku kompleks gletsernya.

Hilangnya es ini menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap ekosistem lokal, serta memengaruhi naiknya permukaan laut dan perubahan iklim global.

Lain itu, hilangnya es gletser mengurangi ketersediaan sumber daya air tawar, yang dapat berdampak negatif pada populasi manusia dan pertanian di masa depan.

Baca juga artikel terkait GLETSER atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi