tirto.id - Menkopolhukam Wiranto menyatakan bahwa istilah “referendum” tidak lagi berlaku dalam hukum positif Indonesia. Hal itu ia ucapkan untuk merespons pernyataan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakir Manaf.
“Referendum itu dalam khazanah hukum di Indonesia itu sudah selesai, enggak ada. Beberapa keputusan-keputusan baik TAP MPR maupun UU sudah ada pembatalan,” kata Wiranto di Kemenko Polhukam, Jumat (31/5/2019) kemarin.
Peraturan yang Wiranto maksud adalah TAP MPR No. IV Tahun 1983 tentang Referendum dan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Peraturan yang pertama telah dibatalkan oleh TAP MPR No. 8 Tahun 1998, sementara yang kedua oleh UU No. 6 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
Wiranto lantas menegaskan, karena tak ada aturannya, pemerintah akan menindak tegas siapa saja yang masih bicara soal referendum (seperti yang selama ini mereka lakukan terhadap orang-orang Papua yang menuntut merdeka).
“Ketika hukum positif sudah tidak ada dan ditabrak, tentu ada sanksi hukumnya. Jadi biar sajalah,” tambah Wiranto.
Soal “tak ada landasan hukum referendum” dipertegas oleh peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari. Feri bilang dengan tidak adanya UU yang mengakui, praktis pertemuan rakyat untuk memutus sesuatu seperti referendum tidak bernilai hukum.
“Referendum bukan lagi mekanisme untuk mengumpulkan aspirasi rakyat dalam memutuskan sesuatu. Jadi secara Undang-Undang, Wiranto benar,” ucap Feri saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (1/6/2019) kemarin.
Karena tak diakui aturan apa pun, kata Feri, maka keputusan untuk memisahkan diri dari Indonesia dapat masuk kategori makar dan pengusungnya bisa kena pidana.
Mantan Ketua Hakim Makhamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, juga mengoreksi penggunaan istilah referendum. Selain tidak lagi dikenal di Indonesia, Mahfud mengatakan referendum, sejak masuk dalam TAP MPR 4/83, tidak pernah berkaitan dengan pemisahan satu wilayah atau provinsi tertentu dari Indonesia.
“Zaman Pak Harto ada TAP MPR No. 4 Tahun 1983 isinya kalau mau mengubah UUD harus referendum. Tidak ada kaitannya dengan pemisahan satu bagian di daerah dari Indonesia. Bukan untuk daerah dan provinsi,” ucap Mahfud usai memperingati hari lahir Pancasila di Gedung Pancasila Kemenlu, Sabtu (1/6/2019) kemarin.
Karena Pemilu?
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menilai munculnya wacana referendum dari Ketua KPA merupakan konsekuensi dari polarisasi politik akibat Pilpres 2019.
Ubedilah mengatakan perolehan suara Prabowo-Sandiaga yang menang di Aceh dengan angka 85,59 persen membuat masyarakat Aceh meyakini paslon itulah presiden terpilih mereka, bukan Jokowi-Ma'ruf Amin. Muzakir Manaf sendiri adalah pendukung Prabowo-Sandiaga. Pun dengan partainya, Partai Aceh.
Karena itu Ubedilah menilai ketimbang menempuh jalur hukum, pemerintah sebaiknya meyakinkan masyarakat Aceh untuk dapat menerima hasil pemilu itu.
“Jadi jangan salahkan rakyat Aceh. Yang harus disalahkan pemerintah dan partai mayoritas di parlemen yang memaksakan syarat presidential threshold 20 persen sehingga terjadi kontestasi head to head,” pungkasnya.
Latar belakang pemilu juga sebetulnya disinggung Wiranto. Dia bilang wacana referendum muncul karena perolehan suara Partai Aceh--Muzakir Manaflah Ketua Umumnya--terus turun dari pemilu ke pemilu.
“Kalau enggak salah, pemilu pertama [partai] dia ikut tahun 2009 itu kursinya 33, lalu 2014 tinggal 29, sekarang kalau enggak salah tinggal 18. Saya katakan sangat boleh jadi [karena hasil pemilu],” kata Wiranto.
Namun Muzakir Manaf tak bicara soal ini sama sekali. Dia bilang keinginan referendum karena "Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi," dan "Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja."
Dia juga bilang ketimbang Indonesia sebentar "lagi dijajah oleh asing" tanpa menyebut siapa "asing" yang dia maksud. Ketimbang begitu, katanya dalam sambutan pada peringatan kematian Hasan Ditiro, 27 Mei lalu, "lebih baik kita (Aceh) berdiri di atas kaki sendiri... Lebih baik mengikuti Timor-Timur."
Marzuki AR, sekretaris BPN Aceh sekaligus bekas kombatan GAM yang dekat dengan Muzakir Manaf, juga menepis anggapan bahwa isu referendum digulirkan karena Partai Aceh tak banyak dapat 'kursi' legislatif.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino