Menuju konten utama

Wacana Penunjukan Petinggi Polri Jadi Plt Gubernur Menuai Penolakan

Pejabat Polri seharusnya patuh pada undang-undang yang sudah diamanatkan untuk tidak terlibat politik praktis.

Wacana Penunjukan Petinggi Polri Jadi Plt Gubernur Menuai Penolakan
Irjen Pol M Iriawan. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Asisten Operasi Kapolri Irjen Pol M. Iriawan dan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Martuani Sormin diusulkan menjadi pelaksana tugas (Plt) gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Meski masih menunggu pernyataan resmi dari Kemendagri, wacana ini mendapat penolakan.

Peneliti Institute Security and Strategic Studies Bambang Rukminto meminta Polri tidak terjebak dalam politik praktis. Pejabat Polri seharusnya patuh pada undang-undang yang sudah diamanatkan.

"Sebagai pemegang amanah negara sesuai UU No. 2 Tahun 2002, Polri akan terjebak pada pragmatisme politik yang bergulir lima tahunan. Sebagai aparat negara, seharusnya Polri yang profesional netral dari tarik ulur politik rezim," kata Bambang kepada Tirto, Kamis (25/1/2018).

Bambang mengacu pada pasal 28 ayat 1 dan ayat 3 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Pasal 28 ayat 1 menyebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Sementara pada ayat 3 dinyatakan: Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Jabatan gubernur merupakan jabatan politik.

Seseorang yang duduk di kursi gubernur, baik definitif, pejabat sementara, atau pelaksana tugas tetap dianggap sebagai status politik.

Berkaca dari kedua aturan dan definisi posisi gubernur, pemerintah seharusnya tidak perlu menyeret Polri aktif untuk menjadi pelaksana tugas di daerah yang menggelar pilkada.

"Dasar inilah [aturan di UU Polri] yang seharusnya menjadi landasan Kapolri untuk mempertanyakan urgensi dari usulan pengangkatan anggotanya sebagai Plt gubernur. Apakah sebegitu menganggurnya perwira tinggi Polri sehingga bisa diminta menjadi Plt gubernur?" kata Bambang.

Ia pun meminta Kapolri Jenderal Polri Tito Karnavian tidak mengulang kisah Kapolri Jenderal (purn) Dai Bachtiar. Kala itu, Dai Bachtiar menyatakan Polri mendukung Megawati Soekarnoputri dalam Pilpres 2004. Pemerintah pun sebaiknya belajar atas dampak yang terjadi dari sikap Dai Bachtiar kala itu.

"Rezim Jokowi seolah tak mau belajar dengan kasus di era kepemimpinan Kapolri Dai Bachtiar yang secara terbuka mendukung Megawati di Pemilu 2004," tegas Bambang.

Alumni Unair ini berharap Polri tidak lagi digunakan untuk kepentingan rezim. Oleh sebab itu, ia meminta Kapolri tidak mengulangi kesalahan masa lalu.

"Kapolri Tito Karnavian hendak mewariskan apa untuk masa depan Polri. Apakah sekedar jargon profesional, modern, terpercaya atau benar-benar membangun infrastruktur polri yang modern dan profesional? Semua bisa terlihat dari pilihan kebijakan yang diambil saat ini," kata Bambang.

Wacana penunjukan perwira tinggi Polri mengemuka setelah Polri menginformasikan sosok yang diusulkan untuk menjadi pejabat sementara di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan diusulkan Kapolri Tito Karnavian sebagai Plt Gubernur Jawa Barat, mengisi posisi yang ditinggalkan Ahmad Heryawan mulai 13 Juni 2018.

Sementara, Irjen Martuani Sormin akan menempati jabatan Plt Gubernur Sumut menggantikan Tengku Erry Nuradi yang habis masa jabatannya 17 Juni 2018.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari