Menuju konten utama

Wacana Penambahan Mapel dalam USBN Dinilai Tidak Masuk Akal

USBN tahun ini tetap terdiri dari tiga mata pelajaran, tidak delapan. Namun jumlahnya akan terus bertambah.

Wacana Penambahan Mapel dalam USBN Dinilai Tidak Masuk Akal
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjawab pertanyaan anggota Komisi X DPR dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (13/6). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memastikan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) untuk siswa SD/Ibtidaiyah tahun ajaran 2017-2018 masih tiga mata pelajaran (mapel) dan bukan delapan seperti yang diwacanakan sebelumnya. Ketiganya adalah matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Bahasa Indonesia.

Hal ini disampaikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, Totok Suprayitno, dalam konferensi pers di gedung Kemendikbud, Jakarta, Rabu (10/1) kemarin. Menurut Totok tidak pernah ada preseden mapel dalam ujian akhir sebanyak itu. Wacana yang sempat muncul sejak tahun lalu, menurutnya, merupakan hal yang wajar dan tidak perlu dihebohkan.

"Itu biasa saja, ide delapan mata pelajaran kemudian dibahas," kata dia.

Namun, pengujian tiga mapel tidak akan berlaku selamanya. Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Bambang Suryadi, mengatakan bahwa penambahan mata pelajaran bisa jadi terealisasikan tahun depan, mesti tidak langsung menambah lima mapel baru. Yang paling masuk akal adalah penambahan secara bertahap.

"Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) [mapel untuk USBN] bisa bertambah satu lagi. Dan berkembang terus," kata Bambang kepada Tirto, Kamis (11/1/2018).

Penundaan penambahan mapel tahun ini, menurut Bambang, terkait kesiapan guru menyusun soal serta keterbatasan anggaran. Tidak cukup waktu merealisasikan wacana yang baru mengemuka sejak akhir tahun lalu itu.

"Daripada tidak menghasilkan soal yang bagus, lebih baik nanti kita kembangkan pada tahun-tahun ke depan," ujarnya. "Apalagi di beberapa daerah sudah menganggarkan hanya untuk tiga mapel, sementara yang limanya belum."

Upaya Meningkatkan Kualitas Guru

Bambang menjelaskan tujuan klasik soal ujian: untuk memetakan kualitas pendidikan di setiap daerah. Khusus untuk USBN tujuannya ditambah: merevitalisasi peran guru yang selama ini dirasa belum maksimal dalam membuat soal Ujian Akhir Sekolah (UAS). Karenanya tahun ini 75 sampai 80 persen soal USBN "akan disiapkan langsung oleh guru" lewat Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

"Kalau dia tidak bisa bikin soal, percuma. Nilainya bagus tapi soalnya mudah dan tidak menantang untuk bernalar kan anak itu enggak pintar, meskipun nilainya tinggi. Makanya nanti capaian kompetensi guru itu diukur dari situ," katanya.

Sementara sisa soal akan disiapkan oleh Kemendikbud. Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan hal serupa, bahwa pelaksanaan USBN berfungsi untuk merevitalisasi peranan guru yang selama ini dirasa belum maksimal.

"Selama ini guru dimanjakan karena mereka tidak bikin soal. Ini sangat tidak sesuai dengan tugas pokok guru yang berperan sebagai evaluator," kata Muhadjir, Rabu (10/1) kemarin.

Penyusun soal adalah salah satu ciri yang membedakan antara USBN dan Ujian Nasional (UN). Pembuatan soal UN sepenuhnya oleh pemerintah pusat, sementara USBN oleh pemerintah daerah. Perbedaan lain adalah jika UN murni pilihan ganda, maka USBN juga berisi pertanyaan esai dengan komposisi 9 (pilihan ganda) : 1 (esai).

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu mengakui bahwa dalam praktiknya pembuatan soal dengan metode ini tidak akan berjalan lancar karena kualitas guru di berbagai daerah masih variatif. Untuk mengatasi masalah ini sembari tetap menekankan pada revitalisasi peran guru, Muhadjir akan menyiasatinya dengan membuat panduan pembuatan soal.

Najeela Shihab, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), mengatakan bahwa pembuatan soal USBN yang sebagian besar oleh guru di daerah perlu dievaluasi. Menurutnya, Kemendikbud harus tetap mengawasi dan mendampingi secara langsung.

"Dievaluasi pembuatannya seperti apa," katanya saat diskusi dengan sejumlah wartawan, Kamis (10/1) kemarin.

Ia bahkan mempertanyakan urgensi USBN itu sendiri, sebab menurutnya jadi hal yang bermasalah ketika ujian bagi semua jenjang pendidikan diterapkan dengan metode yang sama.

"Apa tidak ada cara lain untuk menggambarkan kemampuan siswa SD?" tanyanya.

Dampak Penambahan Mapel

Wacana ini jelas menimbulkan reaksi. Kemendikbud, misalnya, dinilai terlalu terburu-buru. Selain itu, kebijakan terkait juga dinilai dikeluarkan tanpa perhitungan yang matang sehingga kurang mempertimbangkan, misalnya, kesiapan guru.

"Memang kebijakannya berganti-ganti, terlalu mepet. Itu yang membuat penambahan mapel sangat sulit untuk diterapkan. Kalau misalnya mepet, sangat mungkin tidak ada kesiapan dari daerah, dari guru, dan dari institusi pendidikan," kata peneliti PSPK, Fiona Handayani, kepada Tirto, Kamis (11/1/2018).

Lebih mendasar lagi, Fiona mempertanyakan urgensi penambahan mapel. Menurutnya, prinsip USBN semata untuk memetakan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Sementara yang terjadi saat ini adalah USBN dipakai sebagai indikator utama kelulusan siswa.

Karena itulah, ujar Fiona, pemerintah harus mampu menjawab pertanyaan fundamental yang selama ini cenderung diabaikan: apakah ujian seperti ini sudah dapat mengurangi ketimpangan kualitas pendidikan?

"Selama ini, kan, tidak seperti itu. Pembicaraan yang terjadi [soal ujian nasional/USBN] lebih seperti untuk menghukum siswa karena nilainya kurang bagus atau membebankan kepada gurunya," katanya lagi.

Pendapat serupa disampaikan pengamat pendidikan Itje Khodijah. Menurut Itje, penerapan USBN dengan lebih dari tiga mapel, apalagi sampai delapan, memberikan dampak negatif bagi siswa. Beban akademik yang besar dapat membuat perkembangan kognitif siswa terhambat.

"Anak-anak usia SD ini sedang mengalami perkembangan pengetahuan yang seharusnya diarahkan kepada penanaman budi pekerti. Kalau dalam usia itu sekolah luput mengembangkan aspek moral dan perilakunya, Indonesia akan mengalami defisit dalam perkembangan mental anak-anak."

Aspek psikologis ini, menurut Itje, sangat penting dan harus dipikirkan baik oleh Kemendikbud. Sebab jika tidak ditumbuhkan sejak jenjang sekolah dasar, pendidikan di tingkat selanjutnya akan keteteran menanamkan nilai-nilai karakter dan budi pekerti.

"Karena harus kejar-kejaran dengan aspek kognitif lain, pengetahuan tentang sains dan sebagainya," ujar Itje.

Baca juga artikel terkait USBN 2018 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani