Menuju konten utama
Decode

Visa Kerja Liburan: Alternatif Gen Z di Tengah Krisis Pekerjaan

Jumlah permohonan visa bekerja dan berlibur (WHV) yang diajukan anak muda Indonesia melesat hampir dua kali lipat pada semester II 2023.

Visa Kerja Liburan: Alternatif Gen Z di Tengah Krisis Pekerjaan
Header Periksa Data Pekerja Gen Z di Australia di Tengah Melonjaknya Angka WHV. tirto.id/Fuad

tirto.id - Visa bekerja dan berlibur, yang dikenal sebagai Work and Holiday Visa (WHV), semakin populer di kalangan anak muda Indonesia. Data dari Pemerintah Australia, melalui Departemen Dalam Negeri, menunjukkan bahwa pada semester II 2022, ada sekitar 1.754 orang Indonesia yang mengajukan WHV untuk pertama kali.

Jumlah ini melonjak sebesar 93,5 persen pada periode Juli – Desember 2023, mencapai 3.394 permohonan.

Pada periode tersebut, Indonesia menjadi negara dengan penerima WHV tahun pertama terbanyak untuk kategori visa 462 atau visa “work and holiday”, mengalahkan Amerika Serikat (AS), Thailand, Spanyol, dan Argentina.

Skema WHV subkelas 462 memungkinkan lulusan universitas berusia 18 – 30 tahun untuk berlibur sambil bekerja di Australia selama satu tahun. Namun, mereka yang mendaftar harus menyiapkan biaya aplikasi visa dan bukti kepemilikan dana sebesar 5 ribu dolar Australia (AUD) atau sekitar Rp50 juta, sebagai jaminan biaya hidup awal di Australia.

Setelah memenuhi syarat tertentu pada tahun pertama, termasuk syarat telah bekerja di kawasan pedesaan, visa ini dapat diperpanjang hingga maksimal tiga tahun.

Izzun, seorang pemuda Gen Z berusia 25 tahun yang kini memegang visa WHV, memilih alternatif ini setelah menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada September 2022. Saat itu, ia bekerja di sebuah perusahaan e-commerce di Jakarta.

Sebulan setelah PHK, Izzun “rebutan” surat dukungan pemerintah Indonesia atau SDUWHV, sebagai syarat mengajukan visa WHV. Setelah pengajuan visanya diterima, ia menginjakkan kaki di Negeri Kangguru pada penghujung Desember 2022.

“Saya dulu waktu dapat pertama kali pekerjaan ya... kalau untuk anak-anak generasi Z itu cocok sih, karena fisiknya kan masih kuat. Jadi saya kerjanya waktu itu pertama metik blueberry,” kata Izzun, saat berbincang dengan Tirto, lewat Zoom, Selasa (16/7/2024) sore waktu Queensland.

Setelah gonta-ganti pekerjaan sekitar enam kali, Izzun kini bekerja sebagai leading hand di perusahaan kapas di bagian timur laut Australia. Selama 10 jam, dari mulai pukul 5 sore sampai pukul 3 pagi, ia biasa bertugas memantau pergerakan kapas untuk diuji dan diatur penyimpanannya.

“Kalau kerja di sini [jamnya] bisa unlimited kak, misalkan kita udah dapet kerja satu, nanti kerja lainnya bisa... Tapi tergantung badannya, kalau nggak kuat, ya nggak, tapi kalau saya sekarang kerja ya rata-rata 10 jam,” tuturnya.

Hal senada juga dikisahkan Reviva, yang berusia 25 tahun. Ia kini bekerja di sebuah pabrik ayam, di daerah Australia Selatan. Dia bilang, sehari-hari ia biasa bekerja selama 8 jam dan maksimal 10 jam. Itu pun sudah membuatnya lelah.

Namun demikian, sewaktu pertama datang ke Australia dan bekerja di sektor pertanian sebagai pengemas jeruk mandarin, Reviva pernah banting tulang hingga 12 jam.

Dengan pekerjaannya saat ini memotong tulang-tulang ayam, ia bisa mendapatkan sekitar 35 AUD per jam, atau setara Rp380 ribu sebelum pajak. Dalam sebulan, setelah dikurangi biaya kebutuhan sehari-hari, Reviva bisa menabung sekitar 3 ribu AUD yang ia alokasikan untuk tabungan serta keperluan orang tua dan adiknya.

“Iya maksudnya nggak wajib [membiayai], tapi kayak merasa aja, kayak pengen juga gitu. Buat adik sekolah,” kata Reviva saat dihubungi Tirto, sebelum ia berangkat kerja, Rabu (17/7/2024).

Reviva, yang berasal dari Sulawesi Selatan, mengaku setelah lulus, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Hal itulah yang membuat dia memutuskan mengambil kursus Bahasa Inggris, kemudian mengajukan WHV pada tahun 2023.

Pesatnya WHV Akibat Alpanya Jaminan Kerja Layak di Indonesia?

Seiring dengan meningkatnya jumlah permohonan WHV oleh warga Indonesia pada 2023, jumlah aplikasi visa yang disetujui juga meningkat.

Masih merujuk pada laporan Pemerintah Australia yang diterbitkan dua kali setahun, pada semester II 2023, jumlah permohonan WHV tahun pertama yang disetujui mencapai 2.696 visa, merangkak naik dari periode Juli - Desember 2022, sebanyak 1.952 visa.

Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati pekerja migran, Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta, menanggapi fenomena ini dengan menyatakan bahwa kurangnya jaminan kerja di Indonesia membuat banyak anak muda berbondong-bondong mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.

“Atau bahkan menurut beberapa temuan kami, ketidakjelasan fenomena politik, minimnya realisasi hukum ketenagakerjaan yang memadai, upah rendah turut menjadi pendorong orang muda untuk meninggalkan negaranya. Ada kejenuhan yang dihadapi orang muda Indonesia atas kesempatan memperoleh kerja,” katanya kepada Tirto, Rabu (17/7/2024).

Tirto sebelumnya juga sempat mengulas persoalan anak muda, terkhusus Gen Z, di antara jerat ekonomi gig. Beberapa orang terlaporkan menjadikan aktivitas gig sebagai pekerjaaan utama, yang mana itu tidak sesuai dengan konsep gig yang seharusnya “sementara” dan “sebentar”.

Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat pengangguran yang tinggi dan stagnannya sektor pekerjaan formal.

Kembali ke isu WHV, peningkatan permohonan WHV yang disetujui tidak hanya terjadi pada aplikasi tahun pertama. Aplikasi WHV tahun kedua dan ketiga juga menunjukkan tren serupa, yang berarti banyak anak muda pemegang visa bekerja dan berlibur di Australia ingin memperpanjang masa tinggal mereka.

Jika melihat lebih jauh angka permohonan perpanjangan WHV tahun kedua, pada Juli - Desember 2023, jumlah visa yang disetujui menyentuh 1.231 visa, sementara pada semester II 2022 angkanya hanya di level 250 visa.

Secara keseluruhan, baik visa tahun pertama, kedua, dan ketiga, tren di Indonesia memperlihatkan adanya penurunan jumlah penerimaan WHV kala pandemi COVID-19 tahun 2020 dan 2021.

Dibanding semester II tahun 2019, ketika jumlah total permohonan WHV yang disetujui sebanyak 1.206 visa, pada semester II 2020, angkanya merosot ke 601 visa, dan hanya 262 visa pada Semester II 2021.

Pada semester II tahun 2022, jumlah total visa WHV orang Indonesia yang lolos kembali naik menjadi 2.984 visa, kemudian menembus angka 4.282 visa pada periode yang sama tahun 2023.

Tren penurunan itu tak lepas dari penutupan program aplikasi WHV selama pandemi COVID-19. Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI, lewat laman resminya menyatakan, program ini sempat ditutup selama dua tahun (2020 - 2021) dan kembali dibuka pada Mei 2022.

Disebutkan, program ini pertama kali dibuka di Indonesia pada tahun 2009 berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Tanah Air dan Pemerintah Australia terkait Visa Bekerja dan Berlibur.

“Pada saat dibuka, hanya ada 100 kuota bagi WNI. Di tahun 2013, kuota ditambah menjadi 1.000 dan bertambah 4 kali lipat menjadi 4.100 pada tahun 2020,” tulis Direktorat Jenderal Imigrasi di lamannya.

Memang, pada 2020, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA). Dalam konteks IA-CEPA, Australia salah satunya berkomitmen meningkatkan kuota visa bekerja dan berlibur.

Setelah naik menjadi 4.100 pada 2020, angka itu dikatakan akan terus meningkat beberapa tahun berikutnya hingga mencapai 5 ribu orang.

Secara umum, program bekerja dan berlibur ini sudah ada sejak 1975 dan disebut Pemerintah Australia bertujuan untuk membina hubungan antar masyarakat antara Australia dan negara-negara mitra, dengan penekanan khusus pada kaum muda. Visa ini terdiri atas dua kategori, yakni subkelas 417 atau working holiday visa, serta subkelas 462 atau work and holiday visa, di mana Indonesia termasuk didalamnya.

Program ini kini memiliki 49 negara dan wilayah mitra dari seluruh dunia. Dari 49 negara tersebut, 19 di antaranya merupakan pengaturan visa Liburan Kerja (subkelas 417), dan 30 lainnya pengaturan visa Kerja dan Liburan (subkelas 462).

Status Pekerja dengan Skema WHV Rancu

Trisna dari Migrant Care menyebut berdasarkan pengamatan yang dilakukan lembaganya, ia memang melihat adanya tren masyarakat yang bekerja keluar negeri dengan skema WHV. Menurutnya, ini menunjukan adanya fenomena “lapar kerja” yaitu kondisi masih banyak orang membutuhkan pekerjaan sehingga setiap peluang kerja akan tetap diambil walaupun belum tentu aman.

WHV juga tak menjamin pekerjanya selalu digaji di atas upah minimum setempat. Izzun, misalnya, mengaku pernah memperoleh upah 24 AUD per jam saat bekerja di hotel. Padahal, menurutnya, saat itu tarif minimal pekerja lepas (casual) berada di kisaran 28 AUD.

Mulai 1 Juli 2024, mengutip Fair Work Ombudsman (FWO) Australia, upah minimum nasional Australia kini bernilai 24,10 AUD per jam atau 915,90 AUD per 38 jam seminggu (belum termasuk pajak). Pekerja lepas mendapat tambahan 25 persen di atas tarif dasar, atau sebesar 30,04 AUD, setara Rp326 ribu.

Sebagai tambahan informasi, FWO adalah lembaga pemerintah Australia yang bersifat independen, yang membantu para pemberi kerja dan pekerja untuk memahami hak-hak dan kewajiban mereka berdasarkan undang-undang tempat kerja di Australia.

Selain masalah itu, ada juga masalah kedudukan hukum WHV. Sebuah riset pada tahun 2020, yang dilakukan Yetty Komalasari Dewi dan Wenny Setiawati dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), menyebut bahwa belum adanya aturan hukum nasional yang memayungi program WHV berakibat pada rentannya orang-orang yang bekerja menggunakan visa ini.

Dari aspek hukum, riset ini juga menyoroti kesepakatan IA-CEPA yang menjadi landasan program WHV. Pasalnya, pemerintah Indonesia masih menganggap mereka yang bekerja dengan visa WHV sebagai peserta program pertukaran budaya, alih-alih pekerja migran.

Hal ini dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Padahal, dalam kesepakatan IA CEPA, ada aturan bahwa setiap poin kerja sama harus sesuai dengan peraturan domestik dari masing-masing negara.

Senada, Trisna dari Migrant Care pun turut menyoroti kerentanan dari program WHV ini, terutama dari aspek status hukum dan perlindungan kerja. Ia menyoroti bahwa negara belum mengakui mereka yang bekerja menggunakan visa WHV sebagai pekerja migran. Hal ini dinilai melemahkan status hukum dan perlindungan bagi mereka.

“Kekhawatiran kami, ketika negara tidak merekognisi mereka sebagai pekerja migran, artinya tidak ada skema atau peta pelindungan yang jelas. Kami tidak ingin skema kerjasama WHV dimanfaatkan oknum untuk penipuan yang berujung pada perdagangan orang,” katanya.

Pemerintah Mesti Perjelas Status WHV

Yetty dan Wenny dari FH UI dalam studinya juga merekomendasikan pemerintah untuk segera mengatur skema WHV dalam kesepakatan IA CEPA berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan yang membuat pemegang visa WHV diperlakukan sebagai pekerja migran, bukan sebagai peserta program pertukaran budaya.

“Banyaknya perlakuan buruk terhadap pemegang WHV menunjukkan status underdog pada program ini. Pemerintah Indonesia harus mengubah cara pandangnya terhadap WHV sebagaimana mestinya, mengakui status mereka sebagai buruh, kemudian melakukan perubahan kebijakan yang diperlukan untuk melindungi warga negara Indonesia dalam program ini,” tulis Yetti dan Wenny dalam risetnya.

Keduanya khawatir, jika pemerintah tidak serius memperhatikan status pekerja WHV, program ini akan rentan terhadap sejumlah isu pelanggaran kerja seperti praktik perbudakan dan perdagangan manusia.

“Misalkan situasi ini terus berlanjut dan tidak ada pengakuan terhadap pemegang WHV sebagai buruh. Dalam hal ini, baik Australia maupun Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran komitmen mereka untuk menghapuskan praktik perbudakan dan memberantas perdagangan manusia,” tambahnya.

Senada dengan apa yang diungkap Yetty dan Wenny dari FH UI, Migrant Care pun turut mendesak pemerintah untuk segera mengakui status mereka, yang bekerja menggunakan WHV, sebagai pekerja migran.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) Pasal 1 ayat 2, yang menyebut bahwa pekerja migran Indonesia, atau PMI, adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.

“Negara harus segera memberikan sikap pada skema WHV ini, tentunya harapan kami mereka dikategorikan sebagai Pekerja Migran juga, agar status hukum dan pelindungannya dapat tepat sasaran,” tambah Trisna.

Jika tidak segera diatur dengan jelas, Migrant Care khawatir semakin banyak kerentanan yang mengintai skema kerja WHV ini khususnya yang terkait dengan isu perbudakan modern dan perdagangan orang. Ia menyinggung, pada tahun 2024 Indonesia menduduki Tier 2 dalam Indeks Trafficking in Persons Report yang dibuat pemerintah Amerika Serikat. Artinya, masih perlu peningkatan penguatan hukum dan praktiknya dalam mengatasi isu perdagangan orang di Indonesia.

“Jika dulu korban perdagangan orang selalu dilekatkan dengan kemiskinan, angka pendidikan rendah dan lain-lain tapi sekarang petanya meluas, korban perdagangan orang juga dari kalangan yang terdidik bahkan banyak juga yang sarjana,” tambahnya.

Sejauh ini Tirto belum menemukan adanya indikasi dari pemerintah dalam membahas soal status hukum dan perlindungan kerja bagi pekerja yang menggunakan visa WHV. Pembahasan terkait kerja sama WHV yang kami temukan antara pemerintah Indonesia dan Australia hanya fokus terhadap penambahan kuota WHV.

Pemerintah, melalui pernyataan Wakil Menteri Perdagangan RI, Jerry Sambuaga mengeklaim penambahan kuota WHV dapat meningkatkan hubungan ekonomi dan nilai perdagangan antar kedua negara tersebut.

Untuk mengonfirmasi sejumlah pertanyaan dan isu terkait WHV, Tirto telah mencoba menghubungi pihak pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia. Namun, hingga artikel ini tayang, kedua lembaga tersebut belum memberikan respons jawaban atas pertanyaan yang kami ajukan.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN INDONESIA AUSTRALIA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty