tirto.id - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota di Papua memang dipicu pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (16/8/2019) pekan lalu. Tapi penjelasannya tidak berhenti sampai di situ.
Menurutnya, unjuk rasa benar-benar bisa terjadi pada Senin (19/8/2019) karena "kesimpangsiuran informasi" atas apa yang terjadi di Surabaya.
"Kejadian di Surabaya hanya peristiwa kecil yang sebetulnya sudah dilokalisir," kata Tito di Surabaya, Senin (19/8/2019) kemarin. "Tapi," katanya melanjutkan, "kemudian muncul hoaks mengenai ada kata-kata yang kurang etis, mungkin, dari oknum tertentu. Ada juga hoaks gambar seolah-olah ada adik kita yang meninggal padahal tidak."
Hal serupa diutarakan Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo saat demo masih berlangsung. Para pendemo, katanya, "terprovokasi dengan yang disebar di akun sosmed."
Karena itu Tim Siber Bareskrim akan melakukan profiling pemilik akun penyebar informasi. Per hari ini (20/8/2019), sudah ada lima akun yang didalami polisi.
Jika terbukti melanggar hukum mereka akan ditindak, katanya, juga Senin kemarin.
Dianggap Aneh
Koordinator karyawan Freeport yang dipecat sepihak, Jerry Jarangga, menilai aneh kesimpulan itu. Dia justru berterima kasih kepada orang-orang yang menyebarkan "video dan foto rasis", sehingga masyarakat bisa melihat bagaimana orang Papua diperlakukan selama ini, terutama di luar Papua.
Lagipula pengepungan itu, selain kabarnya tersiar di media sosial, sebetulnya juga diberitakan media massa. Orang-orang Papua juga tahu peristiwa tersebut dari sana.
Polisi seharusnya mengusut pelaku ujaran-ujaran rasis tersebut, termasuk jika itu aparat, katanya.
"Sekarang akar itu yang harus dicabut. Bagaimana akar itu tidak dicabut? Ya, tunggu dia tambah besar," kata Jerry di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2019).
Bagi Anggara Suwahju, Direktur Eksekutif ICJR, LSM yang fokus pada isu reformasi sistem peradilan, perburuan terhadap akun medsos "seolah mencari pihak lain yang dapat disalahkan atas terjadinya aksi massa di sejumlah daerah."
Sementara itu, pengacara publik yang banyak menggarap isu Papua, Veronica Koman, menilai kesimpulan polisi merupakan penyangkalan aksi rasisme terhadap orang Papua di Surabaya. Sebelumnya Dedi mengatakan "tidak ada tindakan rasis dari polisi" dan "justru kami evakuasi".
Pernyataan Dedi dan Tito bahwa "muncul hoaks mengenai ada kata-kata yang kurang etis" memang tidak terbukti di lapangan. Dorlince Iyowau (19 tahun), salah satu mahasiswa Papua yang ada di asrama sewaktu pengepungan terjadi, mengatakan makian rasis--menyebut nama binatang--itu memang ada. Tak sulit pula mencari pernyataan itu di internet.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto pun mengakuinya. "Pemerintah menyesalkan dengan adanya insiden yang saat ini sedang berkembang tentang pelecehan Bendera Merah Putih di Jawa Timur yang disusul dengan berbagai pernyataan negatif oleh oknum-oknum," katanya.
Namun seaneh apa pun pernyataan polisi, kata Veronica, itu tidak mengagetkan. Ia yakin para pelaku ujaran rasis itu tidak akan diproses hukum. "Seperti biasa, kejahatan terhadap Papua akan berakhir dengan impunitas," kata Vero saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (20/8/2019).
Jika pada akhirnya polisi bersikukuh memburu mereka yang menyebarkan foto dan video, maka lagi-lagi yang menjadi korban adalah orang Papua. Mereka yang paling banyak menyebar video dan foto memang orang Papua.
"Kok malah jadi hanya tajam ke orang Papua lagi? Ini apa namanya kalau bukan diskriminatif dan rasis juga?" tanya Vero.
Polisi memang tidak hanya akan memburu penyebar video dan foto pengepungan. Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo berkata, mereka juga akan mendalami orang-orang yang bertindak rasis dan terekam dalam video.
"[Tapi] Video ini didalami dulu," katanya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino