tirto.id - Dua tahun yang lalu, Presiden Jokowi memiliki target untuk merehabilitasi sekitar 100 ribu pengguna narkotika. Akan tetapi, menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga September 2017, tahapan rehabilitasi baru menyentuh 16 ribu orang.
Banyak yang berpendapat, tidak tercapainya target rehabilitasi akibat pengaturan dalam Undang-Undang (UU) Narkotika yang masih mengedepankan pendekatan kriminal dibanding pendekatan kesehatan masyarakat. Rehabilitasi dan kriminalisasi terhadap pengguna ini juga dirasa merupakan sedikit dari masalah UU Narkotika.
Dalam acara diskusi terbuka bertajuk "Revisi UU Narkotika Untuk Siapa?" yang diselenggarakan di Bakoel Koffie Cikini, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (2/11/2017); ICJR, Rumah Cemara, PBHI, serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU Narkotika berupaya memberi masukan awal bagi revisi UU Narkotika.
Baik ICJR, Rumah Cemara, maupun PBHI, berangkat melalui pengalaman advokaai terkait isu narkotika. Tak hanya itu, ketiga pihak juga turut menyelami langsung praktik penanganan pecandu dan pengguna narkoba.
Totok Yulianto, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan perubahan UU Narkotika harus ditujukan demi kepentingan dan penyelamatan pecandu maupun pengguna.
"Sejak tahun 1976, ketika UU Narkotika lahir, pemerintah masih menggunakan pemikiran bahwa pemakai narkotika adalah kriminal. Dari situ, berdampak pada pendekatan yang digunakan; pendekatan kriminal. Ini yang harus perlahan diubah," ungkap Totok kepada Tirto.
"Selama ini kan pengguna seolah disamakan dengan koruptor atau penjahat berat lainnya. Ini yang musti diluruskan," tambahnya.
Sementara itu Dr. Fauzi Masjhur, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Timur tak menampik bahwa masih terdapat pandangan buruk terhadap pengguna narkotika. Para pengguna dikesankan seorang penjahat.
"Alangkah bijaknya apabila dalam menangani pengguna narkotika, kita menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat. Yang bermasalah dari para pengguna kan kesehatannya. Itu yang semestinya kita bantu," jelasnya.
Sementara itu, peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mewanti-wanti kepada pemerintah. Dari 16 ribu pengguna yang sudah direhabilitasi, semuanya berdasarkan hasil penyelidikan; bukan kesadaran dan kerelaan sendiri. Hal tersebut, menurut Erasmus, tak dapat dipisahkan dari pendekatan kriminal yang digunakan aparat.
"Berdasarkan data BNN, ada 8.354 pengguna yang ditahan di penjara. Hal ini sudah menjadi prosedur yang buruk terlebih dahulu. Mereka dikesankan sebagai seorang kriminal. Seharusnya pemerintah belajar dari Portugal yang dianggap sebagai negara dengan kebijakan masalah narkotika yang ideal," pungkasnya.
Erasmus menambahkan, masukan rekomendasi sudah dipersiapkan kepada pemerintah tentang revisi UU Narkotika. Pada dasarnya, revisi UU Narkotika harus dibuat untuk menyelamatkan pengguna dan pecandu.
"Apakah benar jargon narkotika untuk menyelamatkan pecandu? Satu satunya cara melihat hasil revisinya nanti. Apabila masih ada pendekatan pidana maka, pemerintah sama saja omong kosong," tegasnya.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Yuliana Ratnasari