tirto.id -
“Yang butuh uang itu pemerintah. Tapi kalau pemerintah utang lagi (di tahun politik) kan bahaya. Jadinya pakai mekanisme signature bonus (Pertamina)," kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bhaktiar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (26/01/2019).
Signatur bonus atau bonus tandatangan senilai 784 juta dolar AS diberikan Pertamina kepada pemerintah sebagai syarat eksploitasi Blok Rokan. Keputusan pemerintah memberikan eksploitasi Blok Rokan kepada pemerintah terjadi pada 31 Juli 2018. Selain harus memberikan 784 dolar AS kepada pemerintah, Pertamina juga harus membayar uang komitmen senilai 500 juta dolar AS.
“Pemerintah akan mendapatkan dana segar sebesar Rp 11,3 Triliun dalam bentuk PNBP. Ini bisa jadi PNBP terbesar selama ini dalam 1 kali transaksi,” ucap staf khusus Kemen ESDM, Hadi M Djuraid dikutip dalam Twitter.
Saat ini Pertamina hanya tinggal menandatangani kontrak production sharing cost (PSC) jelang habisnya kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 2021. Dengan demikian, proposal perpanjangan kerja sama PT CPI pada 20 Juli 2018 juga ditolak pemerintah. Walaupun dalam isinya, PT CPI menawarkan penggunana teknologi EOR skala penuh dan investasi senilai 88 miliar dolar AS dalam 20 tahun.
Bisman mengatakan utang Pertamina jadi janggal karena status perusahaan itu sebagai BUMN yang notabene merupakan milik negara. Sehingga utang pemerintah ujung-ujungnya juga masuk ke kas negara melalui skema signature bonus yang diwajibkan dalam Permen ESDM No. 30 tahun 2017.
Dengan skema bonus sigtnature yang diperoleh Pertamina dari hasil utang maka seolah-olah negara mendapat pemasukan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal logikanya, utang Pertamina sebagai BUMn juga merupakan utang negara.
“Data APBN KITA yang dirilis Kemenkeu menunjukkan utang Indonesia selama 4 tahun ini bertambah Rp 1.809.6 Triliun. Dari Rp 2.608,7 Triliun di 2014 menjadi Rp 4.418,3 Triliun di 2018. Sementara itu, laba bersih seluruh perusahaan BUMN hanya meningkat menjadi Rp 218 triliun di 2018 dari Rp 148 riliun di 2014,” papar Bisman.
Bisman mengatakan menurut Pasal 33 UUD 1945 pengelolaan blok terminasi seharusnya dapat dilakukan oleh negara secara langsung atau tanpa lelang. Bisman menyebut Pertamina sebagai BUMN yang seharusnya memperoleh prioritas untuk mengoperasikan blok migas itu sebelum dilelang kepada swasta.
Selain itu mengacu UU No. 22 tahun 2011 dan peraturan menteri turunannya, Bisman mengatakan pembayaran signature bonus oleh Pertamina kepada pemerintah dalam rangka bersaing mengeksplotasi Blok Rokan dengan PCI mestinya bisa dihindari karena pengelolaan itu harusnya otomatis dilakukan Pertamina.
Direktur Eksekutif Eralaw, Riyad Khairil menuturkan kehadiran signature bonus dalam lelang migas memang dijadikan solusi cepat untuk mendongkrak penerimaan negara. Sebab, mekanisme lelang pemerintah lebih berpihak pada nilai tawaran tertinggi.
“Di Indonesia signature bonus itu cara cepat pemerintah mendapatkan uang,” ucap Riyad di kesempatan yang sama dengan Bisman.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan, Informasi Publik, dan Kerja Sama Kemen ESDM, Agung Pribadi menampik tudingan itu. Menurutnya, masing-masing perusahaan memang sewajarnya melakukan penawaran.
Pemenangnya pun kata Agung diukur berdasarkan keekonomian dan mana yang memberi manfaat terbesar bagi negara. Dalam hal ini, siapa perusahaan yang mampu memberikan PNBP terbesar. Hanya saja pada lelang waktu itu, Kemen ESDM hasil evaluasi proposal peserta lelang, Pertamina memenangkannya.
“Saya pikir enggak lah (dimanfaatkan pemerintah). Kan ada aturannya. Kalau Pertamina enggak memberikan signature bonus, private sector yang dapat (Blok Rokan) nanti,” ucap Agung saat dihubungi reporter Tirto.
“Pemerintah enggak maksa. Pertamina mengajukan angka 784 juta dolar AS dalam dokumen pasti sudah diperhitungkan risikonya” tambah Agung.
Menanggapi hal itu, External Communication Manager Pertamina, Arya Paramita hingga saat ini belum menjawab pertanyaan Reporter Tirto. Baik secara tertulis maupun telepon.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Jay Akbar