tirto.id - Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Nahtadul Ulama (ISNU) Muhammad Kholid Syeirazi menilai ketentuan bonus tanda tangan (signature) dalam penekenan kontrak blok migas terminasi dapat mendatangkan masalah.
Pasalnya, kata dia, ketentuan turunan dari UU 22/2001 tentang Migas itu dapat membuka peluang penyalahgunaan kewenangan kementerian.
Kholid berpendapat demikian karena Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 28 Tahun 2018 menghapus batas atas nilai bonus tanda tangan.
Semula Permen ESDM Nomor 23 tahun 2018 mengatur rentang nilai bonus tanda tangan ialah 1 juta dolar AS sampai 250 juta dolar AS. Revisi peraturan itu membuat nilai bonus tanda tangan kini hanya diatur batas bawahnya, yakni 1 juta dolar AS.
Hal itu belum termasuk peniadaan batasan lain seperti pertimbangan cadangan minyak yang masih tersedia dan aset yang telah dibangun seperti tercantum dalam Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015.
“Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2018 itu menghapus batas atas. Jadi pengelola WK [blok migas] bisa dipungut tanpa batas,” kata Kholid dalam seminar bertajuk "Menyoal Peberlakukan Signatory Bonus Blok Rokan" di Restoran Pulau Dua, Jakarta pada pada Kamis (24/1/2019).
Atas dasar itu, Kholid pun mempertanyakan nilai bonus tanda tangan yang harus dibayarkan oleh PT Pertamina untuk mengambil alih pengelolaan blok Rokan.
Menurut Kholid, bonus tanda tangan sebesar 784 juta dolar AS yang harus disetor Pertamina tak wajar dan nilainya terlalu tinggi. Dia beralasan, kendati formula penghitungan bonus tanda tangan diatur Kepmen ESDM 1794 tahun 2018, proses kemunculan angka itu masih kurang transparan.
Kholid bahkan menduga angka 784 juta dolar AS itu muncul terlebih dahulu. Sementara komponen pembentuknya dicari belakangan.
Skema Gross Split Dinilai Belum Beri Kepastian Hukum
Selain itu, Kholid juga mengkritik penerapan kontrak blok migas dengan skema gross split. Sebab, kata dia, Pasal 7 Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menambahkan pungutan bagi hasil dari yang telah ditentukan dalam base split sebanyak 5 persen.
Padahal, pada pasal 7 Permen ESDM No. 52 Tahun 2017, batasan 5 persen dihapus. Di peraturan itu, kata Kholid, pemerintah justru diperbolehkan menambah persentase bagi hasil yang dikenakan kepada kontraktor migas tanpa batasan yang jelas, kendati dikatakan dalam kondisi belum dapat mencapai keekonomian.
Hal ini, kata Kholid, menyebabkan investor migas tidak mendapatkan kepastian hukum. Investor tidak mendapat kepastian hukum karena ada ketentuan soal diskresi kementerian. Dia khawatir kondisi ini membuat investor tidak tertarik dengan investasi migas di Indonesia.
“Batas maksimal split dihapus jadi bisa ditambah sesuai diskresi. Industri migas jadi tidak ada kepastian hukum. Asing enggak suka. Di forum International Petroleum Association, disebutkan kendala investasi migas di Indonesia itu ketidakpastian oleh kementeriannya,” ucap Kholid.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom