tirto.id - Pada September 2015, utang pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya menembus angka Rp3.000 triliun. Publik gempar. Mereka yang tidak tahu duduk persoalan tentang angka utang ini langsung menuding Presiden Joko Widodo gemar menghambur-hamburkan uang sehingga utang membengkak. Pemerintah dianggap tidak efisien. Benarkah demikian?
Mari kita cermati posisi utang Indonesia. Pada September 2015, utang pemerintah tercatat Rp3.005,51 triliun. Posisi ini berarti naik hingga Rp94,1 triliun dari Agustus 2015. Menutup tahun 2015, utang pemerintah ada di angka Rp3.165 triliun. Jumlahnya terus meningkat hingga Mei 2016 menembus Rp3.323 triliun. Angka ini lebih kecil dari total aset pemerintah. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total aset pemerintah pusat mencapai Rp5.163 triliun.
Pertanyaan pertama yang meluncur jika melihat angka utang itu adalah: mengapa pemerintah terus menerus berutang? Kementerian Keuangan dalam paparannya menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Defisit muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran. Ibaratnya, besar pasar daripada tiang.
Utang dan Defisit
Dari tahun ke tahun, APBN kita memang mengalami defisit, tetapi trennya semakin kecil dalam lima tahun terakhir. Pada 2011, defisit APBN mencapai Rp46,5 triliun. Selanjutnya, defisit mengecil menjadi Rp21,9 triliun (2012), Rp25,7 triliun (2013), Rp22,2 triliun (2014), dan Rp24,6 triliun (2015).
Pemerintah juga harus memanggul utang akibat kebijakan masa lalu. Seperti diketahui, saat ini pemerintah masih menanggung beban utang merupakan dampak krisis ekonomi 1997 dan 1998, yang menghasilkan BLBI dan rekapitalisasi perbankan. Jumlahnya terus bergulir, bunga berbunga. Jika tak mampu bayar, pemerintah melakukan refinancing sehingga jatuh tempo lebih panjang dan bunga lebih rendah. Tapi tetap jumlahnya tidak berkurang secara signifikan.
Beban utang masa lalu, ditambah beban menutup defisit, maka hasilnya adalah utang pemerintah di posisi sekarang ini.
Secara nasional, utang luar negeri (ULN) Indonesia lebih besar lagi. Utang luar negeri ini mencakup utang pemerintah, Bank Indonesia (BI), serta swasta. Pada 2010, ULN Indonesia mencapai 202,413 miliar dolar. Jumlahnya kemudian meningkat secara berturut-turut: 225,375 miliar dolar (2011), $252,364 miliar dolar (2012), 266,109 miliar dolar (2013), 293,328 miliar dolar (2014), 309,935 miliar (2015), dan 318,979 miliar dolar (April 2016).
Utang pemerintah memang meningkat. Namun, jika dilihat perbandingannya dengan Produk Domestik Bruto (PDB), rasionya terus turun. Rasio utang terhadap PDB Indonesia sempat melonjak hingga 85,4 persen pada 1999, atau setelah diterpa krisis moneter. Rasio sempat membengkak menjadi 88,7 persen sebelum akhirnya secara bertahap turun. Pada 2015, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 27 persen. Rasio utang terhadap PDB sempat berada di titik terendah sebesar 23 persen pada 2012.
Belajar dari Jepang
Jika dilihat rasio utang terhadap PDB negara-negara di dunia, Jepang adalah juaranya. Rasio utang terhadap PDB Jepang tercatat sebesar 249,34 persen. Negara-negara maju dan berkembang yang memiliki rasio utang terbesar selanjutnya secara berturut-turut adalah Amerika Serikat (107,49 persen), Perancis (98,21 persen), United Kingdom (89,14 persen), Brazil (76,26 persen), Jerman (68,23 persen), India (66,5 persen), Cina (46.76 persen), dan Rusia (18,39 persen).
Jepang sudah lama memegang posisi puncak sebagai negara dengan rasio utang terbesar di dunia. Pertanyaannya, mengapa pasar finansial tidak bergejolak melihat porsi utang Jepang yang terus membesar. Beda misalnya jika dibandingkan dengan Yunani yang rasio utangnya mendekati 180 persen. Kekhawatiran tentang utang Yunani itulah yang sempat memicu gejolak di pasar finansial pada 2012 lalu. Meningkatnya utang yang berujung pada kegagalan bayar dikhawatirkan memicu ketidakstabilan di dunia.
Rasio utang lebih dari 100 persen sudah dimiliki Jepang sejak akhir periode 1990-an. Pada 2012, untuk pertama kalinya rasio utang Jepang menembus 220 persen, yang sekaligus menempatkan Jepang sebagai negara dengan rasio utang terbesar di dunia.
Namun, meningkatnya utang Jepang tidak disertai dengan gonjang-ganjing pasar finansial. Penyebabnya, suku bunga Jepang merupakan yang paling rendah di dunia. Jepang belum pernah mengubah kebijakan suku bunga rendahnya sejak 2009. Ini dikarenakan besarnya simpanan masyarakat Jepang. Suku bunga surat utang pemerintah Jepang berjangka 10 tahun hanya 0,3 persen, sementara angka premium untuk credit default swap surat utang ini hanya di kisaran 0,4 persen. Menurut The Globe and Mail, hal ini berarti, pasar memrediksi Jepang baru akan mengalami gagal bayar sekali dalam 250 tahun.
Jepang juga memiliki sejumlah aset dengan nilai hingga 650 miliar dolar (per Maret 2013). Jadi kalaupun ada apa-apa, Jepang punya aset yang cukup besar untuk menangani masalah utangnya. Intinya, Jepang bisa mengelola utangnya.
Negara Asia ini memang menghadapi pembengkakan utang karena stagnasi ekonomi dan demografi. Sejak pertengahan 1990-an, Jepang dilanda deflasi cukup parah. Akibat deflasi, nominal PDB juga stagnan bahkan menyusut sehingga rasio utang membesar. Stagnasi ekonomi mengurangi pendapatan pajak korporasi dan pendapatan pemerintah, sementara pengeluaran semakin besar karena adanya stimulus.
David Weinsten, seorang profesor ekonomi dari Universitas Columbia dalam artikel di Forbes memberikan analisa mengapa utang Jepang yang besar tidak mengkhawatirkan. Pertama, pemerintah Jepang memegang sebagian besar aset. Dengan demikian, rasio utang netto terhadap PDB turun menjadi 132 persen per Juni 2014.
Kedua, Bank Sentral Jepang memegang sebagian besar surat utang pemerintah.
“Sejak Bank Sentral bisa, secara prinsip, selamanya memegang surat utang pemerintah Jepang, pemerintah tidak perlu khawatir bagaimana bisa membayar surat utang itu,” kata Weinstein. Dengan perhitungan ini, maka rasio netto utang terhadap PDB Jepang turun menjadi 80 persen per Juni 2014.
Intinya, Jepang dianggap bisa mengelola utangnya. Inilah yang menyebabkan pasar finansial tetap kalem meski porsi utang Jepang terus meningkat.
Indonesia dan Jepang jelas berbeda kondisinya. Keduanya memiliki cara tersendiri untuk mengelola utangnya. Jepang jelas lebih kuat karena fiskalnya lebih kokoh. Kondisi keuangannya sudah mapan, simpanannya banyak, asetnya besar, suku bunganya rendah. Sementara Indonesia, kini masih harus bergelut dengan utang warisan di masa lalu, plus utang untuk mendanai masa depannya. Jeratan utang inilah yang harus dikelola agar fiskal Indonesia tetap berkesinambungan.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti