tirto.id - Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting yang digunakan dalam semua aspek kehidupan.
Berpikir kritis atau critical thinking merupakan proses berpikir dimana seseorang menggunakan pemikirannya secara rasional, jernih, reflektif, dan independen.
Sebagai manusia, kita tak luput dengan berpikir. Setiap kegiatan, keputusan dan tindakan selalu diawali dengan proses berpikir.
Jika kita tidak rasional dan menggunakan sudut pandang yang luas, maka hasilnya pasti tidak akan baik bagi diri kita dan orang lain.
Sebagai contoh, seorang siswi sekolah islam terpadu mendapat informasi dari media sosial bahwa pemerintah melarang pelajar memakai atribut keagamaan, yaitu hijab.
Kemudian tanpa menganalisa kebenaran dari berita tersebut, ia pun percaya dan membagikan berita itu kepada teman-temannya yang lain sehingga menimbulkan kegaduhan di lingkungan kelas.
Setelah diselidiki oleh salah satu temannya, ternyata berita tersebut merupakan berita bohong (hoaks). Ada baiknya jika sebelum menyebarkan, siswi itu menilai kembali hasil pemikirannya dengan menganalisa dan mencari tahu data dan fakta yang sebenarnya bahkan mengecek ulang sumbernya.
Tentunya ia dan teman sekelasnya bisa terhindar dari berita hoaks tersebut. Ia dan pelajar lain harus mampu menggunakan pemikiran kritisnya untuk menyaring informasi yang saat ini sangat deras mengalir, agar bisa melindungi diri dan orang lain dari kejahatan dan kebohongan di media sosial.
Kemampuan berpikir kritis tidak hanya diperlukan oleh remaja saja, melainkan orang dewasa juga sangat membutuhkan kemampuan ini.
Karena sesungguhnya kemampuan seseorang dalam berpikir kritis akan sangat terlihat saat orang tersebut dewasa, khususnya saat memasuki dunia kerja.
Keputusan dan tindakan seseorang saat bekerja tentunya akan mempengaruhi banyak aspek, tidak hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk kesejahteraan klien dan lembaga tempatnya bekerja.
Misalnya saja, seorang hakim yang sedang mengurus kasus besar, ia harus bisa menganalisa data dan fakta persidangan untuk dapat memutuskan siapa yang bersalah dan tidak bersalah.
Jika sang hakim menelan mentah-mentah semua informasi yang diberikan kepadanya saat persidangan, maka tentunya ia tidak bisa membuat sebuah putusan yang adil.
Dari beberapa contoh di atas, kemampuan berpikir kritis sangatlah dibutuhkan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupannya agar ia bisa membawa manfaat untuk dirinya dan orang lain.
Setelah kita mengetahui pentingnya memiliki kemampuan berpikir kritis, tugas kita selanjutnya adalah menumbuhkan kemampuan berpikir kritis ini kepada generasi muda penerus bangsa karena merekalah yang akan memimpin bangsa ini di masa depan. Apalagi Indonesia diprediksi akan memiliki bonus demografi pada tahun 2030.
Lantas bagaimana caranya?, tentunya bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga dan sekolah. Para orang tua harus paham dulu betapa pentingnya anak memiliki kemampuan berpikir kritis, kemudian mulai menerapkannya di dalam pola asuh yang mampu menanamkan benih-benih critical thinking pada diri anak-anak.
Peran orang tua saja tidaklah cukup, sekolah dan institusi pendidikan lainnya juga memegang andil penting dalam menciptakan generasi muda yang berpikir kritis.
Sejatinya kemampuan berpikir kritis tidak bisa dipelajari dengan sistem kebut semalam, melainkan dipelajari melalui kegiatan pembelajaran aktif seperti dialog guru-murid dan menjaga iklim kelas yang memungkinkan murid aktif mengungkapkan pemikiran dan ide-idenya.
Namun sayangnya, selama ini sistem pengajaran di sekolah-sekolah belum menerapkan secara utuh suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.
Sekolah lebih berfokus pada penyelesaian kurikulum dari target berbagai mata pelajaran tanpa menekankan unsur berpikir kritis di dalamnya.
Semakin banyaknya pelajaran yang harus dikuasai, pada akhirnya hanya memaksa siswa dan siswi untuk mencari cara bagaimana mendapat nilai bagus di seluruh mata pelajaran.
Padahal sebagai manusia, tentunya kita tidak mampu untuk menjadi sempurna disegala aspek. Maka timbul masalah seperti mencontek dan kerja sama saat ujian yang menurunkan kualitas dan integritas pendidikan di Indonesia.
Kegiatan pembelajaran pun cenderung melatih dan menyiasati soal-soal yang biasanya muncul saat ujian dengan cara cepat. Siswa tidak diajak berdiskusi dan bertukar pikiran dengan guru dan sesama teman untuk memahami pelajaran dengan baik.
Mereka justru hanya diberikan tips dan trik cara menjawab soal dengan kilat. Hasilnya, kualitas pembelajaran menjadi menurun karena banyak siswa yang tidak sunguh-sunguh memahami ilmu yang mestinya bisa berguna untuk mereka di perkuliahan dan dunia kerja.
Padahal, kemampuan berpikir kritis bisa dibangun dengan banyak membaca, diskusi, dan menjalankan sebuah projek baik bersifat mandiri maupun dalam grup.
Jika siswa saja tidak diperkenalkan dengan konsep berpikir kritis melalui cara di atas, bagaimana bisa mereka tau pentingnya memiliki kemampuan berpikir kritis di dunia kerja nanti?
Pada akhirnya siswa yang akan dirugikan jika sistem ini terus berjalan. Mereka akan merasa seperti dilempar ke dalam sebuah peperangan persaingan dunia kerja tanpa amunisi yang cukup.
Di balik semua permasalahan itu, ternyata pemerintah mulai menyadari jika sistem pendidikan di Indonesia harus dikembangkan menjadi lebih baik lagi.
Pemerintah sadar jika sistem pembelajaran selama ini tidak mampu menjawab kebutuhan di dalam dunia kerja.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak mampu untuk memaksimalkan kemampuan berpikirnya dengan baik saat bekerja dikarenakan sejak kecil tidak diperkenalkan dengan konsep berpikir kritis.
Oleh karena itu, pemerintah mulai mengganti sistem tes masuk perguruan tinggi dengan tes skolastik yang mengukur empat hal meliputi potensi kognitif (seperti: deret angka, sinonim/antonim, menemukan pola, dan lainnya), penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, dan literasi dalam bahasa Inggris.
Tes skolastik ini bertujuan untuk memprediksi potensi dan kemampuan kognitif peserta jika melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu, Soal-soal yang diujikan pada tes skolastik memang didesain khusus dengan tujuan untuk menguji penalaran, kemampuan dasar berpikir logis dan problem solving yang dimiliki siswa. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut beberapa contoh soal skolastik yang diujikan pada tes masuk perguruan tinggi saat ini.
Soal di atas merupakan salah satu contoh soal tes skolastik yang diujikan pada tes masuk perguruan tinggi. Dari soal tersebut, siswa diminta untuk menggunakan kemampuan berpikir kritisnya dalam menganalisis suatu hubungan antarkalimat pada sebuah paragraf.
Dari paragraf yang diberikan, siswa harus mampu menjalankan fungsi penalaran untuk menemukan kesimpulan yang tepat. Contoh lain dari soal tes skolastik yang menguji kemampuan mengenali pola adalah sebagai berikut.
Contoh soal di atas merupakan soal matematika deret angka yang tidak memerlukan rumus. Pada soal ini, siswa diminta untuk menganalisa pattern berulang yang akan muncul kembali dalam deret tersebut.
Siswa harus memanfaatkan kemampuan berpikir kritisnya untuk menemukan pola dan menyimpulkan jawaban yang tepat.
Dengan mengganti tes masuk perguruan tinggi menjadi tes skolastik, pemerintah berharap sistem pembelajaran di sekolah juga akan berubah menjadi lebih baik dengan berfokus pada peningkatan kemampuan bernalar, berpikir kritis, dan tidak hanya sekedar menyiasati jawaban.
Tes sejenis ini ternyata sudah diberikan oleh Indonesia Intellectual Academy melalui program Critical Thinking Championship yang sudah diadakan sejak tahun 2021.
Soal tes dalam bentuk kategorisasi, analisa pola dan bentuk, membedakan informasi, fakta opini, bahkan soal-soal HOTS (High Order Thinking Skills) dilatih dan diujikan saat babak penyisihan.
Critical Thinking Championship adalah kompetisi individu yang akan menguji kemampuan berpikir terstruktur, analitis, dan mengungkapkan pemikiran peserta melalui pilihan topik di depan para panelis.
Tahun ini Critical Thinking Champhionship mengangkat 3 topik yaitu, Water Pollution, Gizi (Stunting), dan Food Waste.
Kompetisi ini terbagi ke dalam 4 tahap, yaitu Penyisihan (menjawab 50 pertanyaan pilihan ganda tes skolastik), Semi Final (membuat video singkat tentang topik yang diambil), Final (group project) dan Grandfinal (tanya jawab terkait dengan topik yang dipilih).
Sebelum mengikuti kompetisi, peserta mendapatkan contoh-contoh soal tes untuk berlatih dan mendapatkan pelatihan dari mentor sebelum kompetisi dimulai. Untuk informasi lebih lanjut dapat dilihat di website www.criticalthinkingchamp.com.
Editor: Iswara N Raditya