tirto.id - MK (Mahkamah Konstitusi) menggelar lanjutan sidang gugatan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 pada Selasa, 9 Mei 2023, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Dalam uji sistem pemilu proporsional terbuka ini, Firman Noor dan Charles Simabura hadir sebagai saksi ahli.
Mahkamah Konstitusi kembali melanjutkan proses sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 dan dipimpin langsung oleh Ketua MK Anwar Usman.
Pada agenda sidang ini, mereka mendengarkan keterangan ahli dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai "Pihak Terkait".
Perludem menghadirkan Firman Noor, peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Charles Simabura, pakar hukum tata negara.
Hadir dalam sidang MK via daring, Firman Noor menjelaskan beberapa prinsip dalam sistem pemilu yang demokratis, di antaranya adalah pemilu dapat memberikan pilihan terbaik bagi rakyat jika terdapat kelengkapan informasi seluas-luasnya.
"Menurut Institute for democracy and Electoral Assistance dalam kajiannya international obligations for elections guidelines for legal frameworks, persoalan transparansi dan hak mendapatkan informasi ini menjadi salah satu poin penting dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis," ujar Firman Noor, dikutip dari laman MK RI.
"Ini berarti tanpa adanya kelengkapan informasi dan pengetahuan yang menyeluruh akan seorang wakil rakyat maka terbuka peluang kemungkinan munculnya sosok yang tidak mewakili pilihan rakyat," lanjutnya.
Adapun Charles Simabura menyebutkan, sistem pemilu di Indonesia tidak diatur dalam konstitusi. Menurut Putusan MK Nomor 47/PUU-XVII/2019, secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan model sistem pemilu dan akan menggunakan undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945.
Masih menurut keterangan Charles, sistem pemilu legislatif untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota masih menganut model sistem proporsional terbuka. Oleh karena itu, sistem pemilu sebaiknya ditentukan terlebih dahulu karena menjadi landasan dalam penyelenggaraan pemilu.
"Sebab pilihan terhadap sistem pemilu menurut ahli akan memberikan dampak terhadap pengaturan kerangka hukum lainnya," kata Charles Simabura.
Apa Dampak Positif Sistem Pemilu Proporsional Terbuka bagi Parpol?
Sistem pemilu proporsional terbuka mempunyai sejumlah dampak positif bagi partai politik (parpol) peserta pemilu. Terutama untuk demokrasi di internal, kelembagaan dan pelaksanaan fungsi partai politik.
Dari sisi kelembagaan, sistem proporsional terbuka dapat memberikan peluang dalam mempertahankan demokrasi di internal partai. Selain itu, bisa menguatkan kelembagaan partai dan mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik.
Untuk demokrasi internal, sistem ini juga bisa memberikan peluang bagi para kader partai agar mempunyai daya tarik yang baik dan lepas dari paksaan elit partai.
Pergantian yang dilakukan dengan begitu saja terhadap seorang kader dari sebuah dapil (daerah pemilihan) disebut dapat membawa risiko penurunan jumlah dukungan dan angka kursi partai di dapil tersebut.
"Oleh sebab itu dalam situasi ini kader tetap bisa bersikap kritis demi kebaikan partai tanpa khawatir akan tersingkir dari dapil atau posisinya di partai," terang Firman Noor.
Permohonan dengan nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu No 7 Tahun 2017 ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Pada pemohon mendalilkan beberapa pasal dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), serta Pasal 426 ayat (3).
Dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017, Pasal 168 ayat 2 menyebutkan "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka,".
Menurut pada pemohon, Pasal 168 ayat 2 secara khusus menyebutkan kata proporsional terbuka sebagai sistem pemilu yang ada di Indonesia. Maka, perlu adanya petunjuk teknis terkait operasionalisasi atas norma hukum tersebut.
Oleh sebab itu, pemohon menilai norma lain yang diatur sebagai kelanjutan Pasal 168 ayat 2 harus dibatalkan karena dianggap sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan.
Sedangkan Pasal 342 ayat 2 menyatakan "Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan,".
Terkait hal ini, para pemohon menyatakan frasa "proporsional terbuka, nomor urut, nama calon, dan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak" dapat menunjukkan kekuatan perseorangan dalam proses pemilu dan dianggap merugikan.
Penulis: Beni Jo
Editor: Alexander Haryanto