Menuju konten utama

Upaya Biden Membalik Kebijakan Trump & Pasang Surut Imigrasi AS

Biden mengajukan proposal untuk memberikan 11 juta kewarganegaraan kepada imigran yang belum terdokumentasikan. Bukan pekerjaan yang mudah.

Upaya Biden Membalik Kebijakan Trump & Pasang Surut Imigrasi AS
Ilustrasi Imigrasi di AS. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Awalnya, kupikir aku akan menulis sejarah tentang imigran di Amerika. Kemudian, kutemukan bahwa para imigran itulah sejarah Amerika,” demikian intelektual Harvard sekaligus anak imigran Yahudi-Rusia, Oscar Handlin, mengawali buku The Uprooted: The Epic Story of the Great Migrations That Made the American People (1951). Kelak, pemikiran kritis Handlin turut mendorong reformasi kebijakan imigrasi Amerika Serikat pada 1965, yakni dihapuskannya sistem kuota diskriminatif terhadap imigran asal Asia, Eropa Timur dan Selatan, serta negara-negara lain di luar kawasan Eropa barat laut.

Lebih dari setengah abad kemudian, pemerintah AS masih berjuang untuk membangun sistem imigrasi “adil dan manusiawi” di negara yang dielu-elukan sebagai Nation of Immigrants tersebut. Tak lama setelah Joe Biden diangkat sebagai presiden, ia bergegas mengerahkan perintah-perintah eksekutif untuk membalik atau meninjau kembali berbagai kebijakan proteksionis warisan dari administrasi Donald J. Trump.

Dikutip dari New York Times, Biden membuka lagi keran bagi imigran untuk memperoleh green card, yang sempat ditutup sejak awal pandemi sebagai dalih melindungi lapangan kerja dalam negeri. Ia juga menambah kuota penerimaan pengungsi jadi 125 ribu orang per tahun, dan meninjau ulang Migrant Protection Protocols, program bagi 60 ribu pencari suaka yang diperintahkan menunggu di Meksiko sampai klaim-klaimnya selesai diproses di pengadilan AS. Selain itu, Biden mengajukan proposal untuk memberikan 11 juta kewarganegaraan kepada imigran gelap—suatu proyek ambisius yang tipis kemungkinannya bakal didukung oleh suara mayoritas di Kongres.

Di balik kesan keterbukaannya, bukan berarti Paman Sam melonggarkan kontrol terhadap perbatasan negaranya. “Seiring kami berkomitmen memperluas jalur hukum untuk perlindungan dan kesempatan di sini serta kawasan ini, Amerika Serikat adalah negara dengan perbatasan dan hukum-hukum yang harus ditegakkan,” tegas Menlu Antony Blinken dikutip dari Washington Post.

Sampai hari ini, AS menjadi rumah bagi imigran terbesar dunia. Menurut temuan Pew Research Center, pada 2018 terdapat 44,8 juta orang kelahiran luar negeri yang berdiam di AS, atau sekitar 13,7 persen dari total populasi nasional. Namun demikian, presentase tersebut tetap lebih rendah dibandingkan statistik 1890. Imigran meliputi 14,8 persen dari seluruh populasi kala itu, atau sebanyak 9,2 juta jiwa.

Riwayat industrialisasi Amerika modern tidak bisa dipisahkan dari kontribusi kaum pendatang. Terutama setelah Perang Sipil berakhir pada 1865, nampak tren peningkatan jumlah imigran yang ingin mencari peruntungan dan menggapai mimpi sukses di Amerika. Berdasarkan grafik Pew Research, sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, persentase imigran relatif stabil pada angka belasan persen per tahun. Setelah 1910, angkanya mulai turun secara konsisten sampai mencapai titik terendah (4,7 persen) pada 1970. Kemudian, barulah trennya kembali naik.

Imigrasi Besar-besaran dari Eropa

Paruh pertama abad ke-19 mencatat arus gelombang imigran besar-besaran dari Eropa Barat, tepatnya setelah AS dan Inggris Raya mengakhiri Perang 1812 dengan pakta perdamaian. Dipetik dari laman Library of Congress, antara 1820-1930, diperkirakan 4,5 juta orang Katolik-Irlandia tiba di AS. Kedatangan mereka kerap diasosiasikan dengan gagal panen dan krisis pangan di Irlandia 1845 yang disebabkan serangan hama kentang. Terlepas dari itu, sejak 1820-an, laki-laki Irlandia sudah berbondong-bondong menyeberang Atlantik menuju AS. Mereka rata-rata menjadi buruh kecil di pertambangan batu bara, proyek kanal atau jalur kereta, sementara kaum perempuan bekerja di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga

Bangsa Jerman juga banyak bermigrasi ke AS. Sepanjang 1800-an, sekiranya 5 juta orang Jerman tiba di AS, dilansir dari situs Smithsonian Insititution. Mayoritas menetap di kawasan Midwest “Segitiga Jerman”, meliputi negara bagian Missouri, Ohio dan Wiscousin. Di daerah pedesaan Midwest, sebagian besar kembali bertani, seperti yang sebelumnya mereka tekuni di Jerman.

Di samping imigran kulit putih Irlandia dan Jerman, orang Cina pun bermigrasi ke AS, terutama saat demam emas melanda Sacramento Valley di California sejak 1848. Mereka bekerja sebagai buruh di ladang pertanian, tambang, pabrik garmen, konstruksi jalur kereta. Seiring waktu, sentimen anti-Cina mulai merebak, tepatnya ketika situasi ekonomi sempat melemah pada 1870-an dan orang-orang Eropa dan Amerika mulai berebut pekerjaan. Akhirnya, Kongres AS mengesahkan UU Pengecualian Orang Cina 1882 dan resmi menutup pelabuhannya rapat-rapat dari kedatangan bangsa Cina. UU ini menjadi hukum pertama AS yang membatasi keran imigrasi untuk etnis tertentu.

Menjelang akhir abad ke-19, imigran asal Eropa yang tidak berbahasa Inggris semakin beragam, terutama dari kawasan Eropa Selatan, Tengah dan Timur seperti Italia, Polandia, Yunani, Hungaria, Slovakia, termasuk orang Rusia keturunan Yahudi. Melansir situs History, antara 1880-1920, lebih dari 20 juta imigran tiba di AS, termasuk 4 juta orang Italia dan 2 juta orang Yahudi. Seperti imigran pada umumnya, mereka bekerja di sektor industri berupah rendah, misalnya di pabrik dan konstruksi.

Mayoritas pendatang diproses di stasiun imigrasi AS, pertama kali dibuka di pelabuhan New York, Pulau Ellis, pada 1892. Sampai masa operasionalnya berakhir pada 1954, Pulau Ellis sedikitnya sudah memproses 12 juta pendatang.

Kebijakan Semakin Diskriminatif dan Ketat

Pada 1894, tiga alumni Harvard, Prescott Hall, Charles Warren dan Robert Ward mendirikan Immigrant Restriction League (IRL) di Boston, asosiasi yang mengkampanyekan seleksi imigrasi ketat. Sebagai perwakilan kaum nativis, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Anglo-Saxon Protestan yang ingin menjaga kepentingan kelompok yang sudah menetap mapan di Amerika. Pandangan defensif IRL ini konon timbul dari rasa tak aman karena semakin berkurangnya pengaruh politik dan budaya dari orang-orang kaya elite Boston. Solusi mudah IRL adalah mengkambinghitamkan imigran miskin dan buta huruf sebagai biang keladi kemerosotan moral bangsa Amerika.

“Para anggota IRL didorong oleh ketakutan bahwa demokrasi AS, yang dibangun oleh penduduk Anglo-Saxon berikut pemerintahan dan berbagai landasan hukumnya, akan hancur gara-gara kedatangan berbondong-bondong para imigran eksotis,” tulis Vincent Cannato, dosen sejarah di University of Massachusetts, Boston dalam studi berjudul “Immigration and the Brahmins” (2009).

Menurut Cannato, para intelektual elite IRL punya sejumlah agenda, di antaranya menarik pajak kepada imigran, menerbitkan sertifikat bagi imigran yang berkarakter baik dan diminati, serta mewajibkan kemampuan baca-tulis dalam bahasa ibu masing-masing imigran. IRL rutin melakukan riset di Pulau Ellis, terutama untuk cari tahu apakah para imigran bisa membaca. Pada 1896, mereka mendapati kasus buta huruf pada 4,5 persen imigran dari Eropa kawasan barat laut, sedangkan presentasenya hampir 48 persen di kalangan pendatang dari Eropa Selatan dan Timur.

Meskipun uji literasi pada dasarnya adalah tolak ukur yang netral dan tidak bias ras, tes ini disinyalir menjadi taktik kubu restriksionis untuk menahan laju imigran dari Eropa Selatan dan Timur. RUU uji literasi berhasil diusung ke Kongres pada 1897. Bahan ujiannya berisi kalimat sebanyak 25 kata, dikutip dari Konstitusi AS dan ditulis dalam sekian bahasa asing.

RUU itu diveto oleh Presiden Grover Cleveland. Sang presiden mendapat saran dari Biro Imigrasi, bahwasanya imigran tanpa keterampilan khusus memang diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pekerja di sektor-sektor kasar seperti pembangunan infrastruktur, sehingga orang-orang kelahiran Amerika diharapkan bisa mendapatkan profesi yang lebih bermartabat dan berupah tinggi.

Pada 1913, RUU uji literasi kembali diveto oleh Presiden Howard Taft. Dikutip dari artikel Smithsonian American Art Museum (PDF), Taft menceritakan bagaimana kunjungan ke daerah timur di pinggiran Manhattan mempengaruhi keputusannya untuk memveto RUU literasi imigran. “Aku melihat pada kalangan anak-anak muda di sini—suatu semangat apresiasi, rasa syukur dan patriotisme—yang tidak akan menyakiti beberapa dari mereka yang bapak atau kakek buyutnya lahir di negeri ini,” ujarnya.

Tiga tahun kemudian, Presiden Woodrow Wilson juga memveto RUU uji literasi. Menurutnya, RUU tersebut “menutup gerbang suaka sepenuhnya bagi orang-orang yang tak bisa menemukannya di tempat lain… dan mengecualikan orang-orang yang tak punya kesempatan mengenyam pendidikan dasar, terlepas dari karakter, tujuan, atau kapasitas alami mereka”.

Hanya saja, veto sang presiden kali ini dilindas oleh suara mayoritas wakil rakyat di Kongres. Resmi sudah UU Imigrasi 1917 diberlakukan. Isinya mengatur bahwa imigran berusia 16 tahun ke atas harus bisa membaca tulisan pendek sederhana (bukan kutipan dari Konstitusi AS) yang disediakan dalam beberapa bahasa asing, di samping bahasa Inggris. Selain itu, masing-masing diwajibkan bayar pajak USD 8, hari ini nilainya USD 180 (sekitar Rp2,5 juta).

Pada waktu yang sama, UU Imigrasi 1917 berfungsi sebagai perpanjangan dari UU Pengecualian Orang Cina tahun 1882, sehingga dikenal pula sebagai UU Zona Larangan Asia (Asiatic Barred Zone Act). Pada intinya, hukum ini melarang orang-orang dari kawasan Asia berimigrasi ke AS, kecuali dari Filipina (yang saat itu itu masih dianggap sebagai teritorial AS) dan Jepang (masih punya hubungan diplomatik khusus dengan pemerintah AS).

Rebecca Kobrin, dosen sejarah di Columbia University, menyampaikan kepada LiveScience,bahwa UU Imigrasi 1917 adalah sebuah langkah besar untuk membatasi imigrasi. Menurut Rebecca, Amerika mulai memikirkan dirinya sebagai bangsa yang ditentukan oleh ras dan mencatat hierarki rasial tersebut dalam sistem hukum. “Selalu ada demonisasi kelompok dalam sejarah kita. Kala itu, orang Asia dicap sebagai ‘the other—yang lain’,” ujar Rebecca.

Infografik Kebijakan Imigrasi di AS

Infografik Kebijakan Imigrasi di AS. tirto.id/Fuad

Dalam implementasinya, uji literasi yang dijagokan dalam UU Imigrasi 1917 gagal menyaring imigran besar-besaran, terutama dari kawasan selatan dan timur Eropa. Melansir tulisan dari Smithsonian Magazine, hanya 1.450 orang dari 800 ribu imigran antara 1920-21 yang tidak diloloskan karena alasan buta huruf.

Agar seleksi imigran lebih ketat, diberlakukanlah UU Kuota Darurat tahun 1921. Dirangkum dari situs resmi kantor urusan sejarah Departemen Dalam Negeri AS, jumlah imigran dibatasi menjadi 3 persen dari seluruh populasi masing-masing bangsa asing yang sudah tercatat dalam sensus penduduk AS 1910. Artinya, kurang-lebih hanya 350 ribuan imigran yang bisa mendapatkan visa AS setiap tahun. Di satu sisi, kebijakan ini tidak mengatur kuota untuk orang-orang asal Eropa Barat.

Masih dipetik dari laman Departemen Dalam Negeri, aturan kuota di atas direvisi dalam UU Imigrasi tahun 1924 yang dikenal juga sebagai UU Johnson-Reed. Sejak itu, kuota imigran dibatasi sebanyak 2 persen dari seluruh populasi tiap kewarganegaraan yang sudah berdiam di AS sejak 1890. Aturan ini juga menghitung populasi orang-orang keturunan Inggris yang sudah sekian generasi hidup di AS. Akibatnya, persentase visa untuk imigran dari kepulauan Inggris dan kawasan Eropa Barat meningkat, sedangkan imigran-imigran angkatan baru dari Eropa Selatan dan Timur jumlahnya menciut. UU ini juga meneruskan regulasi sebelumnya yang melarang bangsa-bangsa Asia masuk AS, ditambah dengan bangsa Jepang.

Serangkaian kebijakan imigrasi ketat sejak 1917 sampai 1924 di atas adalah hasil kerja dari Komisi Dillingham. Seiring semakin derasnya arus imigran sampai awal 1900-an, Kongres menunjuk tim investigasi khusus pada 1907 untuk melakukan studi masif tentang penyebab dan dampak dari gelombang imigran. Kepanitiaan yang dipimpin senator William Dillingham ini berhasil membuahkan 41 volume laporan berisi rekomendasi-rekomendasi restriktif sebagai patokan untuk kebijakan imigrasi AS selama beberapa waktu, sampai akhirnya direformasi pada 1965.

Menurut Katherine Benton-Cohen dalam Inventing the Immigration Problem: The Dillingham Commission and Its Legacy (2018), usaha Komisi Dillingham mencerminkan situasi dan prioritas suatu momen dalam sejarah Amerika beserta progresivismenya. Era tersebut diwarnai dengan arus imigrasi, kelahiran ilmu sosial modern, dan kebijakan luar negeri agresif, yang dipandang telah menyuburkan kekuasaan pemerintah federal di dalam dan di luar batas negara. Di sisi lain, Benton-Cohen menilai bahwa rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan Komisi Dillingham menandai suatu pergeseran penting terkait kebijakan imigrasi, yang sebelumnya didorong oleh prioritas kebijakan luar negeri dari tingkat eksekutif, menjadi suatu keputusan berdasarkan kepentingan badan legislatif sehubungan dengan politik tenaga kerja domestik.

Masih dilansir dari buku Benton-Cohen, studi oleh Komisi Dillingham mengesampingkan imigran Eropa angkatan “lama” (asal Irlandia, Jerman dan negara-negara Skandinavia) dari topik utama kebijakan imigrasi. Mereka ditempatkan sebagai kelompok yang lebih sukses, dibandingkan imigran Eropa angkatan “baru” (bangsa Yahudi, Italia dan Slavia). Menurut Benton-Cohen, dikotomi Komisi Dillingham terhadap imigran Eropa tersebut secara implisit mengelompokkan orang-orang dari kawasan Asia dan Meksiko sebagai “the other” atau orang asing, suatu pandangan yang dinilai masih berpengaruh terhadap kebijakan imigrasi sampai hari ini.

Baca juga artikel terkait IMIGRASI AS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf