tirto.id - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menetapkan upah minimum 2021 tidak naik, alias sama sama dengan tahun ini. Kebijakan ini tertuang lewat Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan ditujukan kepada seluruh gubernur.
Tapi tak semua gubernur mematuhi surat ini. Sebagian dari mereka mengambil kebijakan untuk menaikkan upah minimum.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo misalnya, memutuskan menaikkan upah minimum provinsi (UMP) menjadi Rp1.798.979 atau naik 3,27 persen dari sebelumnya Rp1.742.015. Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan UMP sebesar Rp4,4 juta bagi perusahaan tidak terkena dampak COVID-19. Angka itu meningkat 3,27 persen dari UMP 2020.
Kebijakan serupa dilakukan oleh Sri Sultan. UMP Yogyakarta naik sebesar 3,54 persen menjadi Rp1.765.000--tetap yang terendah se-Indonesia.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku kecewa terhadap keputusan para gubernur itu. Menurutnya keputusan tersebut “tidak melihat kondisi yang ada.” Menaikkan standar upah mempersulit dunia usaha yang dihantam pandemi, katanya. Ujung-ujungnya akan semakin banyak pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Senin (2/11/2020), ia mengatakan sebenarnya para pengusaha pun sulit menerima surat edaran tersebut, sebab semestinya UMP turun. Meski demikian, baik terhadap SE Menaker atau keputusan gubernur, ia bilang “kami tidak akan melakukan gugatan.”
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan kenaikan upah bisa memicu kinerja keuangan usaha yang makin buruk dan “sangat berpotensi” membuat bangkrut. “Sekarang saya tanya, hotel, resto, kafe di Jateng gimana nasibnya? Apakah mereka mampu? Kondisi ini yang bikin enggak kondusif. Kan di depan mata kita kelihatan pengusaha menjerit,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.
Meningkatkan Daya Beli
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengaku “mendukung kenaikan upah minimum, minimal ada sedikit di atas angka inflasi proyeksi 2021 yang di atas 3 persen.” Sebab, di luar faktor politik--menjaga citra tetap baik di mata para buruh yang merupakan konstituen-- “kalau UMP tak naik 2021 yang rugi kepala daerah juga karena angka kemiskinan akan naik.”
Kemiskinan akan naik membuat daya beli masyarakat berkurang, padahal tulang punggung ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga. Jika inflasi 3 persen namun UMP tidak naik, akhirnya pemulihan ekonomi akan lebih lambat di beberapa daerah. Ringkasnya, kebijakan ini juga dalam rangka membantu perekonomian nasional keluar dari kelesuan.
“Sudah tepat Gubernur itu,” katanya kepada reporter Tirto, sebab merekalah yang lebih paham soal situasi dan ekonomi di wilayah masing-masing.
Faktor lain kenapa kebijakan ini tepat adalah rendahnya alokasi negara untuk tunjangan sosial. “Berapa banyak dari total pekerja yang rentan itu mendapatkan bantuan? Porsi jaminan sosial ke PDB Indonesia yang terendah di Asia. Kita cuma 2,1 persen to GDP,” katanya.
Oleh karena itu pula ia mempertanyakan keputusan Menaker Ida. “Pemerintah pusat bikin surat edaran minta tak naikkan upah minimum lucu. Sudah omnibus law, upah upah minimum enggak naik, ini politiknya enggak populis.”
Pendapat berbeda disampaikan oleh ekonom dari Universitas Indonesia Fitra Faisal. “Kalau misalnya tujuan awal pemda meningkatkan daya beli, daya beli di jangka menengah juga akan terganggu karena industri ini kolaps,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.
Alih-alih menaikkan upah, semestinya pemerintah memberikan stimulus kepada pelaku usaha. Tujuannya jelas: untuk menghindari kebangkrutan massal yang bisa memicu lonjakan pengangguran dan kemiskinan. “Karena dia yang akhirnya menciptakan tenaga kerja. Ketika ada tekanan yang berlebihan terhadap industri akhirnya, kan, yang akan terganggu ya perekonomian secara umum.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino