tirto.id - Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi berharap ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat bisa dijadikan penyaringan sekaligus pencarian atlet-atlet baru yang akan masuk di pelatnas guna persiapan Sea Games 2017 dan Asian Games 2018 nanti.
Harapan Imam memang sungguh mulia. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan kehendak Imam itu bak seperti pepesan kosong belaka. Jadi sebuah fakta tidak terbantahkan bahwa medali terbanyak di PON didapat oleh mayoritas atlet pelatnas – yang tentunya punya jam terbang tinggi dan sering turun di ajang internasional, entah itu Sea Games atau Asian Games.
Para Olimpian yang turun di Olimpiade pun bahkan merasa tak bermasalah turun kasta bermain di PON. Tercatat dari 28 atlet yang membela Indonesia di Olimpiade Rio de Janeiro lalu, 19 atlet di antaranya memutuskan kembali bermain di PON demi membela daerah masing-masing.
Dua Olimpian yang membeli perak untuk Indonesia di Rio, Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni tidak malu untuk bertarung di PON. Eko membela Jatim dan Sri membela Jabar.
Hampir seluruh kontingen Olimpian angkat besi di Rio seperti Dewi Fitriani, Muhammad Hasbi, I Ketut Ariana, Triyatno dan Deni turun di PON. Sudah dipastikan bahwa dominasi medali didapat orang-orang ini. Lifter Sri Wahyuni bahkan berhasil memecahkan rekor angkatan dan dapat emas pada kelas -48 kilogram.
Tidak hanya di angkat besi, di panahan kehadiran Riau Ega Agatha dan Ika Yuliana Rochmawati amat menguntungkan bagi Jatim. Kehadiran mereka membuat Jatim bisa mendulang empat emas. Pada cabor-cabor Olimpiade lain seperti renang, dayung dan atletik jagoan-jagoan Olimpiade itu dapat medali.
Pembatasan pengiriman Olimpian ke ajang PON hanya terjadi di bulutangkis. PB PBSI Hanya mengizinkan Praveen Jordan saja yang tetap turun. Praveen turun membela Jawa Tengah. Meski begitu PB PBSI tetap memberikan izin pada atlet pelatnas lain untuk turun.
Nama-nama seperti Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Greysia Polii, Sony Dwi Kuncoro memang tidak tampil di PON. Namun, jadi sebuah kerancuan adalah ketika atlet pelatnas Cipayung macam Ricky Suwandi, Gregoria Mariska, Anthony Ginting, Ricky Karanda Suwardi, Berry Angriawan, Angga Pratama, Jonatan Christie, Marcus Gideon, Ihsan Maulana Mustofa dan Kevin Sanjaya yang biasa turun di BWF Super Series saling bersaing pada ajang PON.
Faktor bonus besar diberikan untuk mengiming-imingi mereka turun kasta di ajang PON. Dengan persaingan yang tidak begitu ketat-ketimbang Asian Games atau Sea games, atlet-atlet nasional ini bisa mendapatkan uang berkisar Rp200 juta hingga Rp 1 miliar dalam sekali pertandingan.
Provinsi Jabar, DKI Jakarta dan Jatim misalnya, mereka menjanjikan bonus 250 juta untuk satu keping emas. Provinsi Papua bahkan lebih gila, denan janji berkisar Rp600 juta hingga Rp 1 miliar. Angka ini tidak sebanding dengan satu keping emas di Asian Games yang hanya dihargai Rp400 juta. Wajar jika para atlet nasional memilih turun di PON. secara hitung-hitungan keuntungan besar akan mereka dapat
Kasus ini membuat Menpora pusing tujuh keliling. Imam berencana akan mengevaluasi aturan ini dan akan diberlakukan pada PON XX di Papua 2020 nanti. "Setelah evaluasi akan kami buat regulasi yang ketat, seketat mungkin agar PON ini tidak menjadi ajang yang semata-mata untuk mencari bonus atau gengsi daerah ataupun ajang reuni saja. Tapi kita ingin pastikan PON itu jadi ajang nasional yang diikuti atlet berusia maksimal 23 tahun," kata Imam.
Adanya pembatasan umur ini membuat PON akan kembali pada khitahnya sebagai event untuk mengorbitkan nama-nama potensial. Selama ini, nama-nama baru atau bintang-bintang muda hanya pelengkap saja. Mereka begitu tak berdaya saat harus berhadapan dengan para seniornya yang jauh lebih berpengalaman, secara mental atau teknik.
Tujuan pembatasan umur membuat atlet-atlet yang sudah berpengalaman tidak akan bisa turun di PON. Pihak Kenempora mengaku sudah resah dengan masalah ini. Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, Gatot S Dewabroto mengatakan pihaknya sudah mengimbau agar atlet-atlet nasional tidak turun di PON.
“Tapi imbauan ini kan tidak mengikat. Selama ini regulasi keolahragaan nasional, yang melarang keikutsertaan para atlet olimpiade dan atlet-atlet yang berskala internasional, hadir di gelaran lokal,” katanya.
Wacana pembatasan umur ini didengungkan sejak lama. Pada PON 2012 di Riau isu ini muncul. Namun, semua hanya sebatas wacana. “Jadi harus dibentuk aturan hukum yang mengikat. Kami sedang mengusulkan untuk membuat aturan setingkat Permen. Dan ini kami tegaskan bukan wacana, akan selesai akhir tahun ini dan bisa diimplementasikan pada PON Papua 2020 nanti.”
Ketika wacana ini mendekati kenyataan maka tentu saja ada beberapa pihak yang terancam. Dan mereka adalah para atlet. Eko Yuli misalnya, dia mengeluhkan selama ini uang yang didapat dari pelatnas tidaklah mencukupi. “Kalau pemerintah pusat bisa mencukupi kebutuhan kami, baru kami tidak turun di PON,” ucapnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti