tirto.id - Hari yang ditunggu-tunggu suporter Manchester United akhirnya tiba. Kamis (28/3/2019), klub berjuluk Setan Merah itu resmi mempermanenkan status pelatih interim, Ole Gunnar Solskjaer. Pria kelahiran Norwegia itu akan diikat di Old Trafford sampai tiga tahun ke depan.
“Lebih dari sekadar performa dan hasil, Ole membawa banyak pengalaman, sebagai pemain maupun pelatih, disertai tekad untuk memberikan pemain muda kesempatan dan pemahaman terhadap kultur klub. Itu artinya, dia adalah orang yang tepat untuk membawa Manchester United melangkah ke depan,” kata Excecutive Vice Chairman MU, Ed Woodward dalam pernyataan resminya.
Woodward boleh sedikit berlebihan soal sanjungannya, tapi apa yang dia katakan bukan kebohongan. Sejak tiba di MU, Ole memang memberikan perubahan drastis dalam hasil maupun performa. Dalam total 13 pertandingan, rasio kemenangan Ole di Liga Inggris mencapai 76,9 persen. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang rapor Jose Mourinho yang dalam 93 pertandingan cuma punya rasio kemenangan 53,8 persen.
Dampak dari rapor itu bisa ditebak. Saat ditinggal Mou, MU berjarak 13 poin dari zona Liga Champions. Kini, Setan Merah yang menghuni urutan lima cuma berjarak dua angka dari tim peringkat empat, Arsenal.
Dan seperti kata Woodward pula, kehadiran Ole membuat para pemain MU tampil dengan kepercayaan diri berlipat ganda. Bintang lapangan tengah mereka, Paul Pogba mengakui hal itu.
“Dia melakukan pekerjaan dengan sangat bagus. Sebagai mantan pemain yang tahu mental klub ini, dia datang untuk membantu kami dan saya rasa segalanya berjalan sangat lancar,” kata Pogba kepada The Guardian.
Dari Opsi Kedua
Pogba, Woodward, dan seluruh fans Setan Merah boleh berbangga hati dengan capaian klub kebanggaan mereka baru-baru ini. Namun, tidak dapat dipungkiri saat Solskjaer pertama menginjakkan kaki di Old Trafford Desember lalu, lebih banyak keraguan yang muncul dibanding optimisme.
Atmosfer ruang ganti klub berantakan, hasil buruk tak terhindarkan, dan pada bulan Oktober, saat rumor kepergian Mourinho tak terbantahkan, muncul nama besar yang sangat diharapkan hadir: Zinedine Zidane.
MU memang mengejar Zidane habis-habisan selama dua bulan, sampai akhirnya pria asal Perancis itu menolak tawaran mereka.
“Woodward mulai menemui Zidane di Paris dua bulan lalu [Oktober 2018], hingga akhirnya muncul penawaran untuknya pada pekan ini. Namun segalanya masih belum pasti. Zidane memberi tawaran untuk mulai melatih di bulan Juli mendatang jika memang Manchester United masih ingin memakai jasanya,” tulis mantan jurnalis Sky Sports, Richard Keys seperti dilansir Express pada Desember 2018.
Alasan "menunggu Zidane" itu pula yang membuat MU menarik Ole sebagai caretaker sampai akhir musim.
Ole jelas tahu. Namun, pria yang pernah melatih Cardiff dan Molde itu seperti tak mau mempermasalahkannya. Bagi Ole, yang terpenting melakukan pekerjaan dengan baik, karena dia selalu menempatkan MU sebagai rumahnya.
“Sejak hari pertama tiba, di klub yang spesial ini, saya merasa seperti sedang di rumah. Merupakan sebuah kebanggaan menjadi pemain MU, dan kemudian menjalani karier melatih di sini,” kata Ole.
Sejak lama, Ole memang punya cita-cita menjadi pelatih MU. Bahkan bulan Mei 2018, saat namanya jauh dari hiruk pikuk sepakbola Inggris, dalam wawancara dengan sebuah stasiun TV Norwegia dia mengaku secara terbuka.
“Anda boleh menyebut itu bodoh atau naïf, tapi itu [jadi pelatih MU] adalah sesuatu yang selalu saya impikan,” ujarnya.
Tujuh bulan kemudian, mimpi yang dia ucapkan itu terwujud.
Masih Minim Inovasi
Terlepas dari rapor impresif yang layak diacungi jempol, baru-baru ini Ole dan MU menerima banyak kritik atas performa mereka. Yang terbaru, komentar pedas dilontarkan eks pelatih kawakan yang juga pernah memimpin MU, Louis van Gaal. Pria berpaspor Belanda itu menyebut, secara taktikal kehadiran Solskjaer tidak mengubah banyak hal bagi MU.
“Pelatih sesudah saya, Mourinho lebih banyak memainkan trik parkir bus dan mengandalkan serangan balik. Sekarang, ada pelatih lain yang juga parkir bus dan bermain serangan balik. Bedanya adalah Solskjaer menang [Mourinho tidak],” ucap van Gaal.
Penggunaan istilah “parkir bus” terhadap Ole barangkali berlebihan, namun sindiran van Gaal soal kesamaan taktik antara Mourinho dan Solskjaer ada benarnya. MU memang tak selalu main bertahan, namun ketika melawan tim yang minimal sepadan secara kualitas pemain, praktis mereka selalu mengandalkan serangan balik.
Squawka baru-baru ini membandingkan taktik yang diterapkan Solskjaer dan Mourinho saat keduanya memimpin MU menghadapi Liverpool. Secara hasil, Solskjaer memang lebih baik karena bisa bermain imbang 0-0 (Mourinho kalah 3-1). Namun, analisis Squawka tidak beda jauh dengan pandangan van Gaal. MU era Mou dan Ole sama-sama tampil bertahan. Bahkan, di era Ole, Liverpool bisa mendominasi MU dengan penguasaan bola 65 persen. Angka ini malah lebih tinggi dari dominasi bola Liverpool saat melawan MU era Mourinho.
Saat Solskjaer dan Mourinho sama-sama melawan Tottenham pun situasinya tidak beda jauh. Ole dan MU memang bisa mempecundangi Spurs 0-1, namun di laga itu gawang David De Gea terbukti dibombardir 20 tembakan. Angka ini jauh lebih dominan ketimbang performa Spurs saat melawan MU-nya Mourinho.
Yang kemudian membedakan MU era Solskjaer dan Mourinho adalah efektivitas serangan balik. Ini bisa dibuktikan dari data Squawka yang menyebutkan kalau di era Solskjaer, pemain MU bisa menyelesaikan 59 persen dari rata-rata 16.38 upaya dribel per pertandingan. Angka ini jauh lebih baik dibanding era Mou, pemain MU rata-rata cuma melakukan 15.29 upaya dribel dan bahkan hanya 47 persen yang berhasil.
Dalam hal menembak, conversion rate MU juga meningkat drastis sejak era Ole. Data Squawka menunjukkan rata-rata pemain MU menembak 11,46 kali dan mencetak 2,23 gol per pertandingan. Angka ini lagi-lagi lebih banyak dari era Mou, ketika pemain MU cuma menembak 9,71 kali dan membikin 1,71 gol saja per pertandingan.
Tugas Lebih Berat
Statistik di atas cukup membuktikan betapa Ole dan Mourinho tak punya perbedaan jauh mengenai taktik. Kendati demikian, jurnalis The Times, Paul Hirst mengatakan kalau hal itu bukan masalah besar.
Menurut Hirst, taktik merupakan sesuatu yang luwes dan bisa berubah sesuai perkembangan zaman. Untuk itu, jika ingin membawa MU merengkuh gelar juara, tugas yang menanti Ole lebih dari sekadar itu. Ada satu misi yang wajib dituntaskan Ole: menekan ego pemain.
Hirst mencontohkan kasus Chelsea yang merekrut Roberto Di Matteo sebagai pelatih interim pada 2012. Saat itu, Di Matteo mampu membawa Chelsea juara Liga Champions, namun akhirnya terdepak karena tak bisa mengendalikan ruang ganti.
“Kesalahan terbesar Di Matteo di Chelsea adalah memberi pemain kekuatan terlalu besar. Mereka kemudian mengendalikan segalanya di Stamford Bridge,” tulis Hirst.
Menurut Hirst, Ole bisa belajar dari kasus Di Matteo itu. Kunci terbesar kesuksesan sebuah tim adalah bagaimana seorang pelatih mengendalikan pemain agar tetap fokus dan mencapai target, apalagi secara komposisi pemain, MU saat ini berisi nama-nama yang tak bisa dianggap remeh.
“Solskjaer tidak boleh membiarkan pemainnya mempermainkan nama klub. Dia harus mengingatkan para pemain agar standar mereka tidak menurun dan mengejar gelar musim depan, dibanding sekadar mengejar posisi empat besar lagi,” tulisnya.
“Memenangkan Premier League akan menjamin statusnya sebagai pelatih legendaries dan menampik anggapan kalau Solskjaer cuma pria yang mendapat momen sesaat,” tandas Hirst.
Editor: Mufti Sholih