tirto.id - Catatan Harian Seorang Demonstran mengisahkan keseharian seorang mahasiswa Tionghoa bernama Soe Hok Gie. Ada pergulatan pemikiran, renungan filosofis, komentar tentang buku dan film, dan tentu saja curahan hati perihal cinta. Gie adalah salah seorang “Orang Cina” terkenal di kalangan mahasiswa di Indonesia.
Mengapa dalam paragraf di atas Tionghoa dan Orang Cina ditulis berbeda? Tendensi dua kata itu memiliki makna berbeda. Tionghoa relatif lebih netral ketimbang Orang Cina. Penyebutan Orang Cina kerap memiliki tendensi merendahkan.
Perihal kata Cina ini, rubrik bahasa majalah Tempo beberapa kali menghadirkan penulis yang saling berpolemik. Tercatat nama seperti Sapardi Djoko Damono, Ajip Rosidi, dan Hermina Sutami, guru besar linguistik Mandarin pada Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan peneliti bidang leksikologi dan leksikografi ikut ambil bagian.
Mengapa label demikian penting? Ia menunjukkan bagaimana kita bersikap terhadap yang liyan atau yang berbeda. Di Indonesia identitas rasial bisa memberi Anda privilege atau kutukan. Perkara pribumi dan asing, atau bumiputra dan pendatang bisa membuat orang saling bertikai. Sebelumnya Tirto.id pernah menulis tentang rasisme terhadap orang-orang Tionghoa sepanjang sejarah nusantara dan Indonesia. Tionghoa di Indonesia kerap mengalami diskriminasi karena identitas rasnya, meski tak bisa dipungkiri sebagian elitnya tetap mendapatkan privilege.
Selama beberapa bulan terakhir sentimen rasial itu semakin keras terasa. Di salah satu jembatan di Jalan Tol Bogor ada spanduk bertuliskan Ganyang Cina, beberapa minggu yang lalu seruan ganyang Cina juga ditunjukan dalam poster saat melakukan protes sikap Ahok yang dianggap menghina Al Maidah. Kebencian rasial ini tidak hanya terjadi di akar rumput, tapi juga para intelektual.
Amien Rais yang pernah menjadi intelektual itu, menulis artikel berjudul "Bung Jokowi, Selesaikan Skandal Ahok!" di koran Republika. Dalam tubuh artikel itu Amien Rais mengatakan bahwa “Penguasaan tanah di berbagai kota besar juga berada di tangan agen-agen kepentingan asing dan aseng. Tujuh puluh delapan persen tanah di DKI Jakarta sudah dimiliki oleh para benalu bangsa.”
Aseng di sini saya kira sudah cukup jelas merujuk pada kelompok Tionghoa. Aseng, seperti juga kata Cina, memiliki makna peyoratif. Demonstrasi yang menuntut Ahok diadili pada 4 November menghadirkan ketakutan akan terulangnya peristiwa berdarah 1998.
Kekhawatiran orang Tionghoa bahwa demonstrasi tanggal 4 November akan berakhir rusuh bisa dipahami. Bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, sentimen anti Cina yang beberapa kali ditunjukkan di depan umum membuat mereka mau tak mau mengingat peristiwa berdarah 1998. Saat itu banyak warga Tionghoa di Jakarta, Solo, dan berbagai tempat di Indonesia menjadi korban kebencian ras.
Yudhis Tira adalah seorang penulis dan musisi yang tinggal di Jakarta. Sebagai orang keturunan Tionghoa, ia mengaku tidak akan bisa melupakan peristiwa 1998. Yudhis baru berusia 12 tahun ketika tragedi itu terjadi. Dari sanalah ia paham betul apa itu ketakutan.
“Menurut gue emang kejadian itu mestinya jangan pernah dilupakan,” katanya. Usai 1998 pengalaman buruknya terkait diskriminasi rasial terjadi saat SMA. “Gue pernah jalan-jalan di blok M. Kadang suka ada yang nyamperin cuman buat ngatain 'Cina' ke depan muka gue secara agresif,” katanya.
Barangkali bagi banyak orang apa yang dialami Yudhis adalah pengalaman sepele. Tapi jika ada orang asing yang sama sekali tidak anda kenal lantas teriak di depan muka anda hanya karena perbedaan ras bisa itu bisa sangat menekan.
Kekhawatiran serupa menyebar dan mulai muncul di media sosial. Jenny Jusuf penulis naskah film yang juga keturunan Tionghoa ini menyampaikan kekhawatirannya di media sosial. Ia berbagi pengalaman bahwa meski telah lewat 16 tahun, anggota keluarganya kadang masih mempersiapkan tas kecil sebagai rencana cadangan apabila kerusuhan rasial terjadi lagi.
Jenny memiliki anggota keluarga yang pernah menjadi korban peristiwa 1998. Paman Jenny sempat terjebak di bengkelnya saat kerusuhan meletus. Dalam kondisi putus asa, paman Jenny menelpon keluarga untuk pamit dan mengucapkan selamat tinggal. Beruntung karyawan berhasil menyelamatkan pamannya. “Paman saya yang paling muda terjebak massa dan berhasil selamat karena untungnya kulitnya legam. Dan ia ikut berteriak 'ganyang Cina!",” katanya.
Meski tidak langsung mengalami kerusuhan 1998, Jenny dan adiknya tidak diizinkan keluar rumah selama dua minggu. Setiap hari ia dan keluarganya ketakutan mendengar berbagai cerita yang terjadi. “Kami berkumpul di rumah nenek dan menonton masyarakat dari perkampungan sekitar menjarahi pertokoan. Ibu saya mengepak baju-baju kami, dan itulah yang saya teruskan sampai hari ini. Pack a suitcase, just in case. Jadi, ya, setelah 16 tahun trauma itu masih ada,” katanya.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Rosmini, saat dihubungungi tirto.id, Jakarta, Kamis (3/11/2016), menyebutkan bahwa ketakutan kelompok Tionghoa di Indonesia dan di Jakarta khususnya memang berdasar. Pengalaman kolektif orang-orang Tionghoa pada 1998 membuat mereka takut dan tidak nyaman, maka ketika ada aksi masa besar-besaran ingatan mereka kembali ke perlakuan-perlakuan di masa lalu.
“Trauma itu yang terus membekas pada orang-orang. Apalagi yang merasa dirinya minoritas seperti ras tertentu atau Tionghoa,” katanya
Mereka pernah tahu, apakah orang tuanya, saudaranya, yang mengalami masa yang tidak enak. Kemudian menjadi cerita ke anak dan cucu sehingga mau tidak mau, akan membuat orang tidak nyaman dengan ada demonstrasi apalagi dengan embel-embel kebencian ras. Ia menilai trauma kolektif itu tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa, mereka yang masih kecil atau yang tak pernah mengalami hal itu bisa saja takut.
“Karena orang tuanya cerita banyak dan banyak yang eksodus ke luar negeri. Dan belajar lalu kembali karena sudah punya kepercayaan lagi kepada Indonesia untuk tinggal di sini. Itu yang membuat mereka ketakutan,” kata Rosmini.
Penyebab trauma kolektif bisa bermacam-macam, tapi yang jelas menurut Rosmini banyak ketakutan itu diajarkan dan diwariskan. “Kelompok keluarga yang kemudian pengalamannya mungkin tidak satu macam, jadi bisa macam-macam. Kemudian menjadi suatu cerita yang selalu didengungkan, ibaratnya seperti itu,” katanya.
Cerita dan ketakutan yang diteruskan dan disebarkan ini menyebar ke setiap anggota keluarga. Kalau kita buka dokumen tahun 1998 kita bisa melihat tragisnya korban Tionghoa pada 1998. Ada yang diperkosa, dibakar hidup-hidup, dijarah, dibunuh di jalanan.
Rosmini juga menjelaskan bahwa kebencian terhadap ras atau kelompok tertentu juga diwariskan. “Mungkin karena mengalami pengalaman yang tidak nyaman. Terus kemudian ada sesuatu atau harta yang lebih dari yang lain, ada banyak membuat manusia tidak nyaman jika dikaitkan dengan orang yang memiliki sesuatu milik dia juga,” katanya.
Melalui cerita dan stereotip kebencian ditanamkan, orang melakukan generalisasi, tak peduli siapa asal mata sipit dan kulit putih dibilang Cina. Mereka dianggap kaya dan menghisap harta pribumi.
“Cerita yang didapat, kadang-kadang tidak mendapat secara utuh. Banyak juga hanya negatif yang terlihat dan positifnya tidak kelihatan,” jelas Rosmini. "Padahal ada banyak orang Tionghoa yang memiliki nasionalisme yang luar biasa. Ini mau dibilang satu ras tetapi sebenarnya nggak bisa karena tergantung individu masing-masing."
Mugiyato Sipin dari IndoRights menyebut bahwa akar ketakutan warga Tionghoa di Indonesia terhadap aksi demonstrasi 4 November karena negara absen. Ini mesti diletakkan pada konteks kegagalan negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 1998. Negara tak bisa memberikan keadilan dan rasa aman kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia.
“Negara pasca-otoritarian tidak pernah mengutuk secara terbuka atas terjadinya peristiwa 12-14 Mei 1998,” katanya. "Negara tidak mengungkap secara terbuka peristiwa tersebut, padahal sudah ada TGPF dan KPP HAM Komnas HAM. Tim pencari fakta sudah menemukan dugaan keterlibatan negara dalam bentuk commission dan ommission. Penyelidikan Komnas HAM tidak pernah ditindaklanjuti dengan proses penyidikan dan penuntutan di pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana diatur dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, padahal temuan Komnas HAM menyebut ditemukan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat”, kata Mugi.
Mugiyanto melihat tidak ada komitmen negara untuk menjamin kemanan dan hak asasi manusia warganya. Tidak hanya warga Tionghoa tapi juga seluruh korban pelanggaran HAM yang terjadi pada 1998.
“Alih-alih menghukum, pemerintah malah mempromosikan pejabat polisi/militer/negara yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM yang berat tersebut: Sjafri, Wiranto dan lainnya,” katanya. Dengan mengangkat dan mempromosikan pejabat yang diduga terlibat kejahatan kemanusiaan negara menjustifikasi dan membiarkan pelanggaran HAM tadi.
Lantas bagaimana setelah hari ini? Jenny Jusuf sendiri berharap bahwa ini sekadar kekhawatiran yang berpangkal dari trauma. Ia mengatakan bahwa paska kepemimpinan Gus Dur banyak hal baik terjadi.
“Kalau dulu saya masih harus menyertakan surat ganti nama untuk membuat paspor, adik saya tidak mengalami hal yang sama,” kata Jenny. Banyak hal yang sudah menjadi jauh lebih mudah bagi kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia. Namun perlakukan kasar dan tindakan rasis masih kerap dialami sekalipun itu ‘hanya’ berupa teriakan ‘Hoi Cina!’ atau ‘Amoy!’ dari kuli bangunan.
Yudhis mengaku bahwa kondisi hari ini jauh lebih baik daripada 1998. Dulu merupakan hal yang tidak mungkin dan mimpi seorang Tionghoa non-Muslim bisa maju sebagai alon gubernur Jakarta. “Gua memandang Indonesia ya sebagai rumah. Gua lahir di sini, gede di sini, sekolah di sini. Biarpun pernah kuliah di luar, 90% temen baik gua di sini, gua kerja di sini, dan gua pengen stay di sini dan ngelihat negara ini jadi lebih baik. Sukur-sukur bisa berkontribusi,” katanya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS