Menuju konten utama

Transformasi Pola Asuh Generasi X, Y, dan Z

Setiap generasi menghadapi situasi yang berbeda sehingga memungkinkan terbentuknya pola asuh yang unik pada tiap generasi.

Transformasi Pola Asuh Generasi X, Y, dan Z
Ilustrasi ibu dan anak. foto/istockphoto

tirto.id - Setiap generasi, bahkan setiap orang tua, menghadapi situasi dan kondisi tersendiri sehingga memungkinkan terbentuknya pola asuh yang berbeda. Orang tua Generasi X, misalnya - mungkin tidak memiliki pendekatan yang sama dalam mengasuh anak dengan orang tua generasi Y. Begitu juga pada pola pengasuhan generasi Y dan generasi Z yang kini mulai berkeluarga. Perbedaan pola asuh tiga generasi ini menjadi bukti bahwa tidak ada aturan baku terkait pola pengasuhan anak.

Perbedaan Pola Asuh

Dahulu, orang tua generasi X lebih banyak membuat keputusan, mulai dari hal terkecil seperti pakaian yang harus anak kenakan, sampai keputusan memilih sekolah, semuanya berada di bawah komando orang tua. Berbeda dengan ayah ibu mereka, orang tua milenial cenderung membiarkan anak-anaknya, generasi Z, untuk mengemukakan pendapat. Teknologi yang mulai menjadi bagian dari periode pengasuhan anak generasi Z, menjadi salah satu faktor perbedaan pola asuh ini.

Orang tua dari generasi X dikatakan juga kesulitan menerima kegagalan anak, sementara orang tua millenial lebih fleksibel, menerima kesalahan, dan memaafkan. Hal ini membuat anak generasi Z, menjadi lebih kreatif, dan berani berpikir out of the box. Teknologi sekali lagi menjadi faktor. Di periodenya, generasi Z dapat menikmati informasi lebih banyak untuk mengembangkan diri dan bereksplorasi.

Saat orang tua generasi X sering menjadi satu-satunya pengambil keputusan dalam keluarga, anak-anak generasi milenial menjadi lebih tergantung pada orang tua dibanding generasi Z. Generasi Z dikenal lebih individualistis namun memahami arti sebenarnya dari kebebasan dan kemandirian. Itulah sebabnya mereka lebih sadar akan tanggung jawab dan tahu bagaimana mengekspresikan pendapat pada saat yang tepat. Studi juga menunjukkan anak-anak Generasi Z mendapatkan uang jajan secara regular untuk kebutuhannya, yang tidak didapat generasi sebelumnya.

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, generasi Z mengalami kondisi yang tidak dialami orang tua di masa mudanya. Perundungan misalnya, dulu banyak terjadi dalam bentuk fisik dan terjadi secara langsung. Namun generasi Z mengalami perundungan lewat media sosial - yang tidak lebih buruk daripada perundungan fisik - namun mempengaruhi jauh ke dalam mental anak karena tekanannya yang sangat besar, dan membentuk pribadi yang dianggap "rapuh".

Stigma Generasi Z

Data yang dihimpun oleh Environmental Geography Student Association (EGSA) UGM yang mengutip dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 6,1% dari penduduk Indonesia atau sekitar 11 juta orang mengalami gangguan mental emosional. Jumlah tersebut sebagian besar terdiri dari anak berusia 15 – 24 tahun.

Seorang dosen Fakultas Kedokteran UI yang fokus di bidang kejiwaan anak-anak dan remaja, Fransiska Kaligis menulis, bahwa usia 16 – 24 tahun merupakan periode kritis kesehatan mental remaja di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi perkembangan psikologis, biologis, dan emosional yang masih menuju mapan. Ditambah, pada rentan usia tersebut, remaja di Indonesia sudah dilimpahi sejumlah tanggung jawab moral sosial dan legalitas hukum yang mengalami peningkatan. Belum lagi, anak dan remaja di kisaran usia tersebut tengah mengalami pembentukan identitas hingga tidak jarang bersikap impulsif dalam memutuskan sesuatu.

Sayangnya, kondisi anak ini tidak banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Alih-alih memberi rangkulan dan pengertian, sejumlah masyarakat menganggap enteng masalah kesehatan mental anak sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan. Belum lagi pemberian label dan stigma tentang masalah kesehatan mental membuat sejumlah penyintas merasa tidak cukup berani untuk bersikap terbuka dengan kondisi yang mereka hadapi.

Fransiska menyatakan bahwa sebesar 51,4% remaja dengan masalah kesehatan mental akhirnya memilih untuk menyakiti diri sendiri (self harm) dan 57,4% merasa putus asa hingga berniat untuk mengakhiri hidup.

Sayangnya sebagian besar dari penyintas gangguan kesehatan mental memilih untuk mencari teman dalam berbagi masalah, bukan orang tua. Sebabnya, mereka khawatir akan dilabeli sebagai orang yang memiliki “gangguan jiwa berat” atau justru dicap sebagai manusia yang “kurang iman”.

Padahal seharusnya orang tua harus lebih bijaksana saat kondisi mental anak masih belum mencapai titik stabil. Alih-alih memberi label dan stigma negatif, orang tua sepantasnya lebih terbuka untuk menemani mereka di masa-masa transisi tersebut.

Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul Strawberry Generation: Mengubah Generasi Rapuh Menjadi Generasi Tangguh (2018), menuliskan bahwa orang tua juga perlu memiliki growth mindset dan cognitive flexibility. Growth mindset adalah cara pandang yang bertumbuh agar bisa melihat segala fenomena dengan sudut pandang yang lebih luas. Sedangan cognitive flexibility adalah kemampuan pola pikir yang lebih fleksibel dan luwes dalam menghadapi permasalahan yang ada. Dua cara ini dianggap bisa menjadi bekal untuk menghadapi tantangan generasi yang setiap masa tentu mengalami perubahan.

Rhenald Kasali tidak memungkiri bahwa generasi Z tidak “setangguh” generasi sebelumnya. Selain pola asuh, menurutnya hal ini juga diperparah dengan tuntutan sosial yang harus serba cepat.

Saat Generasi Z Menjadi Orangtua

Generasi Z dikatakan sebagai generasi yang paling kesepian, mudah cemas, dan mudah tertekan daripada generasi lain. Namun, mereka juga generasi yang melek teknologi, peduli, dan proaktif terhadap isu sosial dan politik. Kini anggota tertua generasi Z mulai memasuki dunia kerja dan berkeluarga.

Sama seperti generasi sebelumnya, generasi Z mencoba fleksibel dan beradaptasi dengan situasi dan kondisi dalam menerapkan pola asuh pada anak. Dalam mengasuh anak, orang tua generasi Z dikatakan lebih menerima, memahami, dan berempati terhadap anak-anak mereka.

Walau cenderung mudah khawatir, namun untuk masa depan anak-anak, mereka bersedia aktif secara politik dan terlibat dalam komunitas untuk membuat masa depan yang lebih baik.

Infografik Transformasi Pengasuhan Anak

Infografik Transformasi Pengasuhan Anak. tirto.id/Fuad

Pengalaman langsung mereka dengan gangguan dan perawatan kesehatan mental juga membuat mereka mudah berbicara dengan anak-anak terkait emosi dan kesehatan mental, untuk kemudian membekali anak dengan keterampilan sosial-emosional dan mencari perawatan.

Lebih dari orang tua generasi X dan milenial, orang tua generasi Z akan lebih mudah mengenali potensi dan dampak berbahaya dari teknologi dan media sosial. Mereka akan lebih menyesuaikan penggunaan teknologi anak-anak mereka, untuk menahan dampak negatif ini. Via Maniquis, 24, seperti dilansir Vice, mengatakan tidak memberikan akses teknologi pada anaknya terlalu banyak sebelum ia mencapai usia 2 tahun. Namun setelahnya, ia membolehkan anaknya untuk memegang gawai sejam dalam sehari sebagai rekreasi.

Dalam mengasuh anaknya, Daniella Marcos, 26, mengatakan akan menerapkan sikap saling menghormati yang seimbang antar anak dan orang tua, lebih dari yang ia terima saat ia kecil, saat orang tuanya (generasi Y) mendapatkan lebih banyak respek.

Generasi yang sempat mendapatkan stigma negatif ini, kini telah sampai pada periode menjalankan perannya sebagai orang tua. Generasi Z berharap kesenjangan baik usia, sosial, budaya, yang terjadi dengan ayah ibu mereka, tidak terulang. Karena pada dasarnya setiap anak yang sekilas nampak ‘labil’ – dan bukan hanya generasi Z saja, namun setiap remaja - mungkin hanya sedang menjalani proses pendewasaan. Mereka butuh teman sebagai tuntunan daripada sekedar hukuman apalagi tuntutan. Puthut EA pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Cinta Tak Pernah Tepat Waktu (2005), bahwa rumah yang paling tidak nyaman dihuni adalah rumah yang diisi oleh orang tua yang egois dan anak muda yang keras kepala.

Baca juga artikel terkait POLA ASUH ANAK atau tulisan lainnya dari Muthia Sayekti

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Muthia Sayekti
Penulis: Muthia Sayekti
Editor: Lilin Rosa Santi