Menuju konten utama

Transaksi Buku & Musik Digital Antarnegara Dikenai Tarif Bea Masuk

Mekanisme yang akan mengatur cara penghitungan pengenaan tarif bea masuk barang e-commerce baik tangible ataupun intangible tengah dirancang Kementerian Keuangan.

Transaksi Buku & Musik Digital Antarnegara Dikenai Tarif Bea Masuk
Ilustrasi E-commerce. Getty Images/iStockphoto.

tirto.id - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan akan mengenakan tarif bea masuk untuk barang tidak berwujud (intangible) meliputi buku, musik, desain, dan sebagainya yang ditransaksikan melalui alat elektronik.

Dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) Indonesia menyampaikan posisi yang dicatat bahwa moratorium e-commerce hanya berlaku pada transmisi elektronik dan bukan pada produk yang ditransmisikan secara elektronik. Posisi diperkuat dari hasil konsultasi dengan Dirjen WTO Roberto Azevedo.

Kemudian itu menjadi salah satu keputusan menteri dari lima yang diputuskan. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan bahwa Indonesia adalah negara pertama yang meminta ketegasan mengenai lingkup moratorium bea masuk e-commerce.

“Indonesia satu-satunya negara yang tidak setuju atas moratorium pengenaan bea masuk untuk barang e-commerce. Membahas keberatan Indonesia, yang disepakati adalah bea masuk yang dikenakan moratorium adalah transmisinya saja, kalau barang e-commerce (tangible dan intangible) tetap masuk silakan pakai bea masuk. Agar antara perdagangan internasional yang ada (offline) dan online ini sama. Kita berkeras di situ,” ujar Enggar di kantor Kementerian Perdagangan Jakarta pada (20/12/2017).

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyokemudian mengungkapkan bahwa pernyataan Indonesia tersebut cukup membuat terkejut negara lainnya dan Enggar diminta dua kali untuk menjelaskan ulang kepada Direktur Jenderal WTO.

Pemerintah Indonesia menekankan bahwa catatan perpajakan pada 1998 untuk pertama kalinya moratorium e-commerce diberlakukan, tertera bahwa moratorium itu hanya untuk transmisinya saja, bukan untuk barang digital yang ditransaksikan.

“Meski masih banyak yang belum mengenakan. Menurut saya kita bisa kenakan. Kalau negara lain bilang anda melanggar moratorium, menurut saya mereka juga tidak bisa menyengketakan Indonesia karena bukan keputusan settlement body yang covered agreement seluruh negara,” ungkap Iman.

Namun ia mengungkapkan bahwa sebelum Indonesia meminta mempertegas cakupan moratorium bea masuk e-commerce, ada beberapa negara telah memberlakukan tarif bea masuk untuk produk digital tanpa membahasnya di forum WTO. Sehingga langkah pemerintah Indonesia di WTO tersebut, adalah ingin mempertegas aturan pengenaan tarif bea masuk untuk produk intangible atas e-commerce, di hadapan banyak negara.

“Saya yakin banyak negara sudah secara diam-diam melakukan itu. Saya denger Jerman sudah kenakan juga,” ucapnya.

“Kita mau pertegas pemahaman kita. Karena itu kenapa orang bisa terkaget-kaget karena baru pertama kali secara terbuka ada anggota WTO bilang, ‘Oke saya setuju (moratorium e-commerce) cuma untuk electronic transmission, digital product-nya tidak.’ Jadi, kita bebas kenakan bea masuk,” jelasnya.

Managing Director dari Google Indonesia Tony Keusgen mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara ekonomi digital terbesar di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhannya di Indonesia saat ini akan secara dramatis mengubah keadaan ekonomi 10 tahun ke depan.

Hasil riset Google bersama Temasek yang dipaparkan pada Agustus 2016 menyebut, pertumbuhan populasi pengguna internet di Indonesia menjadi salah satu yang berkembang paling pesat di dunia. Rata-rata tiap tahun pengguna internet di negeri ini bertambah sebesar 19 persen. Hasil studi itu mencakup proyeksi bahwa pada 2020, pengguna internet di Indonesia akan mencapai 215 juta, dari sebelumnya hanya 92 juta pengguna pada 2015.

Dengan begitu, pasar online Indonesia diprediksi akan meledak dalam 10 tahun, mencapai 81 miliar Dolar AS sebelum 2025. Dari total tersebut, e-commerce menyumbang peranan sebesar 57 persen atau 46 miliar Dolar AS.

Iman menyebutkan selama satu tahun ini, perdagangan e-commerce sudah bernilai triliunan dolar AS baik itu bersifat tangible atau intangible. Produk elektronik itu banyak ditransmisikan dari Cina, Taiwan dan lain-lain secara bebas ke Indonesia. Menurutnya itu menimbulkan persaingan usaha yang tidak seimbang antar para pemain usaha, ketika ada pihak dikenakan bea masuk, sedangkan satu lainnya tidak. Misal saja persaingan perdagangan buku di Gramedia atau Gunung Agung dapat dengan e-book.

“Kalau mau diakui Gramedia dan Gunung Agung akan terpukul karena sebagian orang ambil e-book untuk bisa ditaruh di handphone yang bisa dibaca di sembarang tempat,” kata dia.

Mekanisme yang akan mengatur cara penghitungan pengenaan tarif bea masuk barang e-commerce baik tangible ataupun intangible tengah dirancang Kementerian Keuangan sebagai regulator di bidang kepabeanan, Kementerian Perdagangan, dikatakan Iman, hanya sebatas mengatur ketentuan legal parameter perdagangannya.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Bisnis
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri