tirto.id - Tottenham Hotspur akan menjamu Ajax Amsterdam dalam pertandingan leg pertama babak semifinal Liga Champions Eropa di Tottenham Hotspur Stadium, Rabu (1/5/2019) dini hari waktu Indonesia. Pertandingan ini diprediksi berjalan menarik, mengingat kedua tim sebelumnya tak diharapkan mampu melangkah hingga sejauh ini.
"Berada di babak semifinal Liga Champions ialah sesuatu yang menakjubkan," tutur Eric ten Hag, pelatih Ajax. "Tidak ada seorang pun yang memprediksi bahwa tim asal Belanda akan mencapai babak semifinal."
Sementara itu, pelatih Tottenham Hotspur Mauricio Pochettino punya analogi khusus buat menggambarkan keberhasilan timnya. Ia meminjam kalimat Buzz Lightyear, salah satu karakter utama dalam film Toy Story keluaran Disney: "To infinity... and beyond!”
"Ini akan menjadi malam yang ajaib," kata Pochettinho setelah itu. "Bermain pada babak semifinal di stadion baru kami adalah hal yang tak seorang pun pikirkan beberapa bulan lalu."
Meski tak diharapkan berada di babak semifinal, bukan berarti Spurs maupun Ajax punya kualitas "kampungan" dan hanya mengandalkan mimpi di siang bolong buat membikin kejutan. Keduanya justru punya kapasitas untuk menunjukkan bagaimana sepakbola level atas di Eropa harus dimainkan: mereka tak mempunyai rasa takut, bermain secepat The Flash berlari, tak kenal belas kasih, dan hampir tak pernah lelah.
Lawan-lawan yang mereka kalahkan untuk sampai di semifinal ini pun bukanlah tim sembarangan. Spurs mampu menjegal Manchester City pada perempat-final, sementara Ajax berhasil menggebuk juara bertahan dan calon kuat juara Liga Champions musim ini, Real Madrid dan Juventus.
Dengan pencapaian seperti itu, apa yang bakal mereka tawarkan pada pertandingan nanti?
Counter-Pressing Gila-Gilaan
Dalam Who Really Invented the Pressing Game – and Why It Work yang dipublikasikan di FourFourTwo, Uli Hesse menceritakan bagaimana counter-pressing bisa diterapkan dalam sepakbola.
Pada 1934, lewat Thomas Patrick Gorman, ide itu pertama kali diterapkan dalam olahraga hoki dan dikenal dengan istilah forechecking. Semula, ide itu tentu dianggap sebagai salah satu cara untuk bunuh diri, karena daripada memilih mundur ke belakang, anak asuh Gorman justru memilih maju ke depan dalam fase bertahan.
Cara bertahan nyentrik ala Gorman tersebut ternyata berhasil dan lantas menjadi fenomena baru dalam dunia olahraga beregu. Basket kemudian mengadopsi forechecking menjadi full-court pressure defense. Dan lewat Viktor Maslov, yang menangani Dinamo Kiev pada 1964-1970, cara bertahan ala Gorman tersebut merambah dunia sepakbola dan dikenal dengan istilah counter-pressing --atau high-pressing.
Semakin ke sini, dengan tujuan yang berbeda-beda, counter-pressing kemudian menjadi senjata penting bagi tim-tim terbaik asal Eropa. Siapa yang bisa menerapkan pendekatan itu tanpa cela, mereka berpeluang besar untuk menggulung lawannya.
Ajax dan Spurs adalah contoh tim yang menggunakan counter-pressing sebagai senjata utamanya meski tujuannya berbeda. Spurs melakukan counter-pressing untuk memaksa lawan mengirimkan umpan direct dari lini belakang ke depan. Dengan kemampuan duel pemain belakang yang mereka miliki serta kekuatan para pemainnya, mereka lantas mempunyai satu tujuan: menguasai second-ball.
Sementara itu, Ajax punya tujuan counter-pressing yang lebih sederhana: menguasai bola selama-lamanya.
Perbedaan juga terletak pada sisi pendekatan. Spurs lebih sering melakukannya secara terorganisir, sementara Ajax tak jarang melakukannya dengan basis man-to-man marking.
Untuk semua itu, Pochettino lantas berani mengumbar janji, "Ini akan menjadi pertandingan yang tidak mengenal rasa lelah. Itu adalah pertandingan mental. Energi juga akan ambil bagian, tentu. Aku yakin tentang itu. Tidak ada keraguan sedikit pun."
Total Football vs Direct Football
Setelah Ajax berhasil mengalahkan Juventus pada perempat-final Liga Champions 2018-2019, Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, tak bisa menutupi rasa kagum terhadap permainan anak asuh Erik ten Hag.
"Mereka selalu mempunyai niat untuk menyerang, menikmati setiap keahlian yang mereka miliki, dan selalu terlihat menyenangkan," tutur Wilson.
Wilson jelas mempunyai alasan untuk berkata seperti itu.
Menurut analisis Tom Clarke di The Times, Ajax gemar bermain dengan formasi 4-2-3-1 atau 4-3-3. Yang menarik, formasi tersebut bisa berubah bentuk secara situasional terutama saat menyerang.
Alasannya, Clarke menulis, "Ajax senang melakukan build-up serangan dari belakang, full-back mereka akan maju ke depan, dan mereka punya tiga pemain depan yang dapat bergerak secara cair sekaligus mempunyai kualitas individu di atas rata-rata."
Masih menurut Clarke, saat melakukan build-up serangan, Frankie de Jong, gelandang Ajax seringkali turun ke belakang, berdiri sejajar dengan dua bek tengah Ajax. Dari sana, dibantu Lasse Schone, de Jong mulai mengatur serangan Ajax.
Saat itu terjadi, dua bek tengah Ajax akan mulai maju ke depan, memberikan tambahan opsi umpan. Dan dengan kemampuan olah bola serta visi permainan yang dimiliki de Jong, saat lawan melakukan pressing asal-asalan, serangan cepat Ajax akan langsung menghukum mereka.
Dalam fase menyerang, perubahan posisi pemain Ajax juga terjadi di lini depan. Dusan Tadic, pemain paling depan Ajax, bisa bergerak menyamping atau turun ke belakang, sementara Danny van de Beek, gelandang serang Ajax, seringkali menjadi penyerang dadakan. Dengan dibantu dua penyerang sayap Ajax yang rajin meneror daerah half-space, alur Ajax lantas sukar diprediksi tim lawan.
Pendekatan Ajax dalam bertahan pun tak kalah menarik. Untuk mendukung counter-pressing berorientasi man-to-man marking sekaligus untuk menjaga bentuk pertahanan mereka, pemain Ajax tak jarang bertukar posisi. Apa yang dilakukan Ajax saat bertanding melawan Juventus bisa menjadi contoh.
Clarke menulis, "Saat Juventus menguasai bola di daerah depan, Ajax tidak menjaga garis pertahanan di sepanjang tepi kotak penalti. Sinkgraven, full-back kiri Ajax, membuat Bernadeschi menjauh dari gawang dan de Light tetap berada dekat dengan Cristiano Ronaldo. Namun masih ada empat bek dalam arti posisional, karena de Jong dan Neres menggantikan posisi kedua pemain tersebut."
Gaya Total Football yang diterapkan Ajax jelas akan menyulitkan lawan-lawannya. Meski begitu, Ajax bukan tanpa celah. Setidaknya, Martin Jol, mantan pelatih Spurs dan Ajax, mengungkapkan pendapatnya di Guardian.
"Ajax akan melakukan pressing sepanjang waktu. Mereka akan memainkan garis pertahan tinggi. Tapi ingat apa yang dilakukan Jose Mourinho bersama Manchester United di final Liga Europa pada 2017? Mereka tidak melakukan build-up," tutur Jol.
Dalam pertandingan tersebut, Manchester United menang karena bermain direct. Saat mereka menguasai bola, mereka secepat mungkin mengarahkan bola ke lini depan. Dan di bawah asuhan Pochettino, Spurs adalah tim terbaik tentang permainan semacam itu.
Tanpa Harry Kane yang mampu menjadi penghubung sekaligus penuntas di lini depan dan Son Heung-min yang bisa membuat Spurs selalu bermain dengan gigi empat, permainan direct Spurs barangkali tak akan selancar biasanya. Namun, selama mereka masih dapat memainkan Christian Eriksen, Spurs sebenarnya tak perlu khawatir.
Dalam permain direct Spurs, Eriksen adalah kunci. Musim ini, mantan pemain Ajax itu jelas punya alasan mengapa ia rata-rata sudah berlari sejauh 12,28 km dalam setiap pertandingan, dan membuatnya menjadi pemain Spurs dengan jarak tempuh paling jauh di lapangan: ia tidak ingin Spurs bermain direct secara asal-asalan.
"Dia selalu punya kepercayaan diri untuk menghentikan alur permainan, mengendalikan momentum, dan melakukannya lagi saat gagal," tulis Henry Winter di The Times.
Editor: Mufti Sholih