tirto.id - Perhatian sangat besar bagi masyarakat Papua yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo melalui kunjungan dan berbagai pembenahan infrastruktur dinilai belum mampu meredam konflik di provinsi paling timur Indonesia tersebut. Hal itu mengingat akar konflik yang terjadi di Papua lebih dalam dari sekedar pembangunan yang tampak secara visual saja. Dialog yang lebih baik disinyalir menjadi kunci penting.
Hal tersebut disampaikan oleh tokoh Jaringan Damai Papua Pastor Neles Tebay dalam diskusi publik yang diselenggarakan Setara Institute di Jakarta, Kamis (13/10/2016).
"Dua tahun kepemimpinannya Presiden Jokowi memperlihatkan punya perhatian sangat besar, yang diperlihatkan dengan mengunjungi Papua tiga kali dalam setahun. Dia presiden satu-satunya yang mengunjungi Papua sebanyak itu. Tetapi perhatian itu belum meredakan potensi konflik Papua," ujar Neles, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Ia mengatakan perhatian yang diberikan Pemerintahan Jokowi dalam sektor infrastruktur seperti membangun jalan trans Papua, membangun bandar udara dan pelabuhan, tidak meredam konflik.
Lebih lanjut, Neles menekankan perlunya dialog antara pemerintah dengan masyarakat guna meredam potensi konflik yang bisa terjadi di Papua. Konflik yang berkembang di Papua, lanjutnya, masih membara dan dapat berdampak negatif terhadap siapa saja, baik dari pihak sipil maupun TNI.
"Isu Papua sampai diangkat di sidang PBB. Ini menunjukkan konflik Papua belum diakhiri dan isu Papua sudah menjadi pembicaraan luar negeri," jelas Neles.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyatakan secara detail telah terjadi 16 peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua selama periode Desember 2014-Oktober 2015 dalam bentuk kekerasan oleh aparat negara, pelanggaran kebebasan berekspresi, dan peristiwa kekerasan terhadap jurnalis.
"Dari 16 peristiwa itu diantaranya melibatkan sejumlah tindakan pelanggaran seperti enam kasus penembakan, empat pembunuhan, dua penangkapan, satu kasus pelarangan pendirian rumah ibadah, tiga kekerasan fisik, dua kasus ancaman kekerasan, serta dua tindakan intoleransi," jelas Tigor.
Dia menekankan sepanjang 2015 sendiri tercatat 100 orang menjadi korban langsung tindak kekerasan di mana sembilan di antaranya meninggal dunia.
Sedangkan pada 2016 terjadi 45 pelanggaran HAM antara lain pembunuhan 13 orang, penembakan 61 warga Papua, serta penangkapan 2.293 warga sipil.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara