tirto.id - Tokoh agama Buddha, Philip Wijaya menyayangkan sikap pemerintah Myanmar yang terkesan menutup diri serta menunjukkan minimnya respons atas tuntutan dunia internasional terhadap kejahatan genosida yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam forum Inter-Religious Council (IRC) yang dihadiri oleh tokoh lintas agama Indonesia di gedung CDCC.
"Saya menyayangkan kurang bagusnya komunikasi pemerintah Myanmar ke dunia internasional. Kurang bagusnya mereka untuk memberikan gambaran yang sesungguhnya atau mengundang dunia internasional untuk menyaksikan langsung keadaan yang sesungguhnya," tutur Philip, Kamis (7/9/2017).
Dalam wawancaranya dengan Tirto, lelaki bergelar profesor itu mengutarakan dinamika politik pemerintahan Myanmar ikut mempengaruhi kondisi sosial etnis Rohingya di Rakhine State, terlebih ketika terjadi transformasi kekuasaan dari pemerintahan militer ke tangan sipil.
Terkait hubungan genosida dengan pemerintahan sipil Myanmar, Philip Wijaya menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Aung San Suu Kyi tidak berpihak.
Ia pun mengimbau agar persoalan Rohingya jangan dijadikan motif untuk mempertentangkan agama-agama di Indonesia. Sebab, tindakan kejahatan terhadap manusia tidak dapat dibenarkan oleh agama mana pun.
"Kami turut prihatin dan merasakan apa yang menimpa etnis Rohingya. Namun kami berharap agar rakyat Indonesia tidak terkontaminasi terhadap apa yang terjadi di luar sana," jelasnya.
Dia pun mengkritisi pendapat yang mengatakan bahwa pembantaian Rohingya disebabkan motif keagamaan dan etnis.
"Islam tidak saja berada di Rakhine. Islam juga ada Yagon, ibu kota Myanmar. Ada seratus masjid yang berdiri dan digunakan oleh umat muslim Yagon. Di perbatasan Myanmar banyak suku-suku yang mayoritasnya beragama Islam. Jadi ketika konflik mencuat di Rakhine, hal itu tidak menyebar ke daerah-daerah lainnya, karena mereka tahu konflik di Rakhine hanyalah konflik lokal. Mereka pun tidak berbondong-bondong ke Rakhine State untuk berperang," ujar Philip menegaskan.
Lebih jauh, berbagai langka penyelesaian konflik telah dilakukan tokoh-tokoh lintas agama. Salah satunya pertemuan Philip Wijaya dengan tokoh-tokoh Islam dan agama lain di Myanmar dan Bangladesh.
Senada dengan Philip, mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M. Din Syamsuddin, pada kesempatan yang sama menilai apa yang terjadi di Rakhine State atas etnis Rohingya memenuhi kriteria pelanggaran HAM, yakni terjadi upaya tindak kekerasan kemanusiaan dan pembunuhan.
Namun, ia menegaskan, bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan yang menjunjung nilai-nilai Pancasila harus bersama-sama dengan pemerintah melakukan upaya menanggulangi masalah di Rakhine State.
"Dimensi etnik dan agama memang tak dapat dihindari. Akan tetapi permasalahan Rohingya bermotif politik, hal itu tak dapat dielakkan. Etnik Rohingya terbilang cukup besar sehingga ada upaya pengusiran dari tempat permukiman mereka di Rakhine, walaupun sebelumnya mereka sudah menjadi warga negara Myanmar," lanjut Din menerangkan.
Sekjen Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas juga mengatakan kejahatan kemanusiaan di Rakhine merupakan persolan kompleks. Namun, masyarakat tidak perlu terjebak terhadap isu agama dan etnis.
"Ini adalah persoalan lokal di Rohingya, jangan dibawa-bawah ke Indonesia. Apalagi menjadikan dalih untuk membenci umat Buddha," katanya menambahkan.
Saat ditanya terkait rencana demonstrasi "Bela Muslim Rohingya" di Borobudur, Anwar Abbas mengimbau kepada umat Islam Indonesia untuk tidak melakukan demonstrasi tersebut. Mengingat hal itu akan menimbulkan reaksi luas dari kalangan Buddha di Indonesia juga di negara-negara lainnya.
Dia juga menilai aksi kepung Borobudur bukanlah langkah etis dan bijak untuk mengkritisi kejahatan kemanusiian yang menimpa etnis Rohingya. Ia beranggapan bahwa tidak ada relevansi antara Borobudur dan konflik yang terjadi di Rakhine State.
"Aksi kemanusiaan sah-sah saja, asalkan tertib, teratur, dan damai. Tapi aksi kepung Borobudur bukanlah sikap yang etis. Tak ada hubungan antara Buddha Indonesia dan Buddha di Myanmar," ucap Anwar menegaskan.
Penulis: Suparjo Ramalan
Editor: Yuliana Ratnasari