Menuju konten utama

TNI 'Masuk' Kementerian: Picu Konflik Kepentingan dan Bikin Ruwet

Setidaknya ada dua masalah yang muncul jika TNI 'masuk' kementerian/lembaga: Pertama, mengkhianati amanat reformasi; kedua bisa memicu konflik dengan PNS yang membangun karier dari nol.

TNI 'Masuk' Kementerian: Picu Konflik Kepentingan dan Bikin Ruwet
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) disaksikan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian (kanan) memberikan sambutan saat misa malam Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Senin (24/12/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Panglima TNI Hadi Tjahjanto punya banyak rencana demi menyerap surplus tentara. Salah satunya: memberi mereka tugas ke berbagai kementerian dan lembaga. Untuk itu yang pertama-tama perlu dilakukan adalah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

"Tentunya [penempatan di kementerian] akan berdampak pada pangkat di bawahnya, sehingga pangkat kolonel bisa ditempatkan di sana," kata Hadi di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (31/1/2019) kemarin.

Hadi mengatakan saat ini ada surplus sekitar 500 perwira tinggi. Jika terserap ke kementerian/lembaga, ia berharap ada 150 hingga 200 pati yang tak lagi non-job.

Meski baru rencana dan belum tentu benar terealisasikan mengingat revisi UU tak bisa dilakukan satu-dua hari, tapi langsung menuai dikritik.

Pengajar ilmu hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, misalnya, menyinggung soal amanat reformasi yang salah satunya adalah menghapus dwifungsi ABRI. Jika ini terealisasikan, kata dia, maka itu sama saja mundur ke belakang dan mengkhianati cita-cita reformasi.

"Pemisahan militer dari ranah sipil. Semangat itu harus tetap dijaga. Jangan ada mereka [sebagai] pejabat publik dan ranah sipil," kata Bivitri saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (1/2/2019) siang.

Dalam UU TNI sebetulnya disebutkan dengan tegas pos-pos di kementerian mana saja seorang tentara aktif bisa berkontribusi.

Itu tertera pada Pasal 47 ayat (2) yang isinya: "Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen, sandi negara, lembaga ketahanan, dewan pertahanan, SAR, narkotika nasional, dan mahkamah agung."

Sementara jabatan sipil lain, seperti pada ayat (1) pasal yang sama, hanya dapat ditempati "setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif."

Hadi memang tak menjelaskan kementerian dan lembaga mana yang akan dia sasar agar dapat diisi para bawahannya. Tapi bagi Bivitri, di luar yang tadi disebut, kompetensi para prajurit sangat patut dipertanyakan.

"Bukan berarti perwira lalu bisa kompeten isi pos-pos kementerian. Enggak."

Berkonflik dengan PNS

Semisal aturan ini jadi, masalah lain yang mungkin timbul adalah tentara-tentara itu akan berkonflik dengan PNS yang memang membangun karier dari bawah. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria salah satu politikus yang menyinggung ini.

"Nanti akan menimbulkan konflik, friksi, dan masalah baru," kata Riza.

"Yang juga harus dipahami oleh Panglima TNI adalah pejabat-pejabat di PNS atau pejabat PNS yang sudah berkarir belasan bahkan puluhan tahun, mau di kemanakan kalau pos-pos yang menjadi wilayah mereka diisi oleh perwira-perwira TNI? Itu artinya mengurangi pos-pos untuk PNS," tambahnya.

Apa yang dikatakan Riza sebetulnya telah diantisipasi ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Aturan ini sendiri adalah turunan dari UU ASN.

"Aturan ini ingin melindungi karier PNS sipil, juga mencegah intervensi prajurit TNI dan Polri di instansi sipil," kata Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Tasdik Kinanto, Agustus 2017, mengutip Antara.

Sebelum ada aturan ini, ada banyak anggota TNI/Polri yang alih status jadi PNS dengan mudah. Dengan alih status, batas usia pensiun mereka juga jadi lebih panjang, 60 tahun (usia pensiun perwira 58 tahun, dan bintara/tamtama 53 tahun).

Oleh karena mereka kerap mengisi jabatan pimpinan tinggi atau JPT, peluang PNS sipil untuk naik jabatan sampai ke sana jadi kecil.

"Sebelum ada PP 11/2017, alih status tidak masalah. Namun sekarang tidak boleh lagi," kata Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) Setiawan Wangsaatmaja, dikutip dari Detik.

Aturan ini bikin TNI/Polri yang ingin masuk ke jabatan sipil jadi jauh lebih ketat. Mereka, misalnya, harus mengundurkan diri dulu dan mengikuti seleksi. Jika gagal, maka mereka tak bisa kembali lagi ke instansi sebelumnya.

Seleksinya juga tak main-main. Mereka, misalnya, harus punya kualifikasi pendidikan paling rendah pascasarjana. Mereka pun harus membuktikan diri kompeten. Usia juga dibatasi: 55 tahun untuk JPT utama dan madya, serta 53 tahun untuk JPT pratama.

"Pengisian jabatan ASN sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, harus memenuhi persyaratan kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lain berdasarkan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis setkab.go.id.

Resistensi juga muncul dari Ketua Umum Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia Korpri) Nasional, Zudan Arif Fakrulloh. Kepada reporter Tirto, ia mengatakan jika itu terjadi, maka akan membuat "PNS tak semangat."

"Kalau di PNS sudah ada calonnya, dia bagus, berkualitas, lalu tiba-tiba diisi dari luar, nanti akan menimbulkan ketidakpastian karier dari PNS. PNS, kan, jadi enggak semangat. Mereka akan mikir, 'buat apa membangun kualitas diri kalau nanti juga diisi dari luar?'" kata Zudan.

"Kalau sudah ada PNS yang bagus, ya optimalkan yang sudah ada," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo, Adi Briantika & Bayu Septianto
Penulis: Rio Apinino
Editor: Abdul Aziz