tirto.id -
Peneliti Perkumpulan Cakra Wikara Indonesia Dirga Ardiansa menilai, keinginan Tito itu akan berdampak pada mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sama saja akan mencabut hak politik warga negara untuk bisa memilih pemimpin daerahnya.
"Ya jelas ini pencabutan hak pilih dan kemunduran satu indikator penting demokrasi yakni memberikan suara untuk calon pemimpinnya," kata Dirga kepada reporter Tirto, Jumat (8/11/2019).
Wacana meniadakan Pilkada langsung bukanlah sesuatu yang baru. Pada 2014 wacana ini pernah digulirkan bahkan sempat sudah tertuang dalam UU Pilkada. Namun, akhirnya Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan aturan tersebut.
Menurut Dirga biaya tinggi dan adanya politik uang yang dileluarkan bukanlah alasan yang rasional untuk menghapus Pilkada langsung. Pilkada tak langsung, kata Dirga, juga membutuhkan biaya tinggi sebagai kompensasi lobi-lobi ataupun tawar menawar dengan partai politik yang ada di DPRD.
Masyarakat pun tak bisa memantau pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD.
"Kalaupun tak langsung biaya politik tetap tinggi, politik uang tetap ada, bedanya ya cuma beralih tempat dari ruang terbuka ke ruang tertutup," terang Dirga.
"Artinya para calon kepala daerah tetap harus mengeluarkan uang besar, bahkan tak harus ada kontrol warga jadi dia tanggungjawabnya ke dprd yang milih dia," imbuhnya.
Selain itu, potensi terjadinya konflik dalam Pilkada tak langsung juga tetap akan ada. Kata Dirga, langsung maupun tak langsung, yang namanya kontestasi pasti tetap akan ada konflik di dalamnya. Tanpa konflik menurut Dirga tak akan ada yang namanya perubahan.
"Yang ada status quo, melanggengkan kekuasaan yang otoriter," kata Dirga.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa revisi undang-undang Pilkada masih dalam pembicaraan. Tito sendiri memiliki pandangan sendiri terkait pilkada langsung yang menurutnya lebih banyak mudharat ketimbang hal positif.
"Pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudharatnya juga ada, politik biaya tinggi," ungkapnya, Rabu (6/11/2019).
Ia mengungkapkan seorang calon kepala daerah setidaknya harus memiliki uang sekitar 30 Miliar. Ia juga mengaku tidak heran ketika ada kepala daerah yang tertangkap karena terbukti korupsi.
"Bayangin dia mau jadi kepala daerah mau jadi bupati itu 30 M, 50 M, gaji 100jt taruhlah 200 juta kali 12 (bulan) itu 2,4 (Triliun) kali lima tahun itu 12 M, yang keluar 30M, mau rugi nggak?
Apa bener saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi?Bullshit, saya nggak percaya," kata Tito.
Ia dan jajaran di Kemendagri akan melakukan riset akademik terkait dampak negatif dan positif pilkada langsung. "Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya?," ucapnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana