tirto.id - Kepala Divisi Riset Transparansi International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengkritik rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengubah besaran remunerasi atau imbalan bagi pegawai negeri sipil (PNS) karena banyaknya masalah korupsi di daerah.
Sebab, kata dia, akar masalah korupsi di birokrasi bukan karena kecilnya gaji serta tunjangan yang diberikan negara, melainkan mental koruptif.
Hal ini disebabkan oleh banyak hal, mulai dari nepotisme sampai kurangnya pengawasan dalam sistem birokrasi di daerah.
"Perilaku koruptif itu kan macam-macam penyebabnya, jadi bukan karena gaji atau tunjangannya kecil. Kalau mereka sejak awal diangkat jadi PNS karena unsur nepotisme, kedekatan dengan pejabat dan sebagainya, maka untuk naik ke jabatan berikutnya kan potensi permainan uangnya juga besar. Dari awal saja sudah enggak jujur," tuturnya saat dihubungi Tirto, Kamis (7/11/2018).
Hasil penelitian TII soal indeks persepsi korupsi (IPK) di 12 kota pada 2017 menunjukkan, remunerasi tak banyak berpengaruh bagi perbaikan IPK.
Setiap tahun relasi korup antara pihak ketiga—pebisnis, biro jasa, calo dan pejabat publik naik dan masih mengakar di kementerian maupun lembaga pemerintah. Proses penganggaran, ujar Wawan, adalah arena interaksi tersebut.
Data tersebut menunjukkan bahwa pelibatan pihak ketiga untuk mengakses layanan publik di tingkat provinsi masih cukup tinggi, di mana 58 persen menggunakan biro jasa untuk mengakses layanan tersebut.
“Artinya apa? Ada potensi kalau anggaran itu bisa dimakelarkan dari proses perencanaan sampai realisasi,” kata Wawan menjelaskan.
Karena itu lah, menurut Wawan, seharusnya pencegahan korupsi dilakukan dengan memperkuat sistem pengawasan yang selama ini jadi tanggungjawab inspektorat daerah.
"Kelembagaan baik segi sumber daya manusia maupun kewenangan harus diperkuat. Karena selama ini banyak laporan inspektorat yang hanya sampai di meja kepala daerah. Korupsi baru terafirmasi kalau KPK sudah turun," terangnya.
Di samping itu, sistem keterbukaan informasi publik juga perlu diperkuat agar pengawasan publik terhadap perilaku korup menjadi lebih mudah.
Sebab di beberapa daerah, kata dia, sistem informasi melalui PPID belum berjalan maksimal.
"Sesuai dengan undang-undang keterbukaan informasi publik di mana setiap badan publik harus punya yang namanya PPID. Apakah PPID sudah berjalan. Nah masih banyak daerah yang dicantumkan. Mereka bahkan enggak tahu mana informasi rutin, berkala dan rahasia," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yantina Debora