tirto.id - Jemaah haji Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci tapi bukan melalui jalur resmi pemerintah atau jemaah haji non-kuota tak akan mendapat pembinaan, pelayanan dan perlindungan jemaah.
Hal itu disampaikan Direktur Bina Haji Kementerian Agama, Khoirizi H Dasir saat Pembekalan Pengawas Ibadah Haji Khusus 1439H/2018M yang diselenggarakan Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus, Jumat (13/7/2018).
“Oleh karena itu, pemerintah tidak menyarankan masyarakat berangkat haji melalui jalur non-kuota,” tegas Khoirizi H Dasir, dilansir dari Kemenag.go.id.
Menurut Khoirizi, jemaah haji yang termasuk dalam kuota resmi pemerintah terbagi dalam dua kelompok, yakni jemaah haji reguler dan jemaah haji khusus.
Tahun ini kuota resmi pemerintah Indonesia berjumlah 221 ribu jemaah. Terdiri dari 204 ribu jemaah haji reguler dan 17 ribu jemaah haji khusus.
Meski demikian, ia mengatakan bahwa dalam pelaksanaan masih ada jemaah haji asal Indonesia yang berangkat bukan menggunakan kuota pemerintah Indonesia atau non-kuota.
Padahal menurutnya, masalah perlindungan jemaah merupakan hal penting karena berdasarkan pengalaman, ia kerap mendapati jemaah haji Indonesia yang terlunta-lunta saat di Tanah Suci.
“Kalau jemaah haji khusus, bisa kita bantu tangani. Karena kita bisa cari PIHK [Penyelenggara Ibadah Haji Khusus] nya untuk bertanggung jawab. Celakanya, kalau jemaah haji non-kuota. Siapa yang tanggung jawab?,” imbuh Khoirizi.
Perbedaan dari ketiga jalur ini yaitu, jalur reguler dikelola langsung oleh pemerintah atau kemenag. Pada jemaah haji Khusus, pendaftarannya dikoordinir langsung oleh Kemenag, namun pelayanan juga fasilitasnya dilakukan oleh biro perjalanan atau travel yang masuk dalam PIHK. Sedangkan jalur non-kuota berada di luar haji yang dikoordinir pendaftarannya oleh Kemenag.
Editor: Yantina Debora