Menuju konten utama
Periksa Fakta

Tidak Benar Paparan Radiasi WiFi Sebabkan Kanker

Radiasi dari WiFi termasuk ke dalam radiasi frekuensi radio. Jenis frekuensi ini berada di memiliki spektrum elektromagnetik berenergi rendah.

Tidak Benar Paparan Radiasi WiFi Sebabkan Kanker
Header Periksa Fakta IFCN. tirto.id/Quita

tirto.id - Sebuah unggahan yang dipublikasikan pada September 2019 kembali beredar dan ramai dibicarakan. Unggahan dari akun Facebook bernama Cute babies (tautan) tersebut mengklaim bahwa seorang anak berusia 3 tahun mengidap penyakit kanker darah stadium 4 karena radiasi yang berasal dari gawai dan pancaran perangkat WiFi.

Anak itu sendiri disebut bernama Zein Raffael Khasan. Awalnya ia mengalami sariawan dan demam, serta mata bengkak, hingga kondisinya memburuk dalam kurun waktu 1 bulan. Ia kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta, setelah sebelumnya dirawat di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Deskripsi unggahan tersebut juga menuliskan bahwa si anak memang intens menggunakan gawai dan mengakses situs YouTube dengan menggunakan pancaran sinyal WiFi di rumahnya.

Per 5 Oktober 2021, unggahan ini telah mendapat sekitar seribu komentar dan telah dibagikan sebanyak lebih dari 4.400 kali.

Periksa Fakta Paparan Radiasi WiFI

Periksa Fakta Tidak Benar Paparan Radiasi WiFI Sebabkan Kanker. FOTO/Facebook

Lantas, bagaimana fakta dari unggahan ini?

Penelusuran Fakta

Hal pertama yang kami lakukan adalah mengecek nama Zein Rafael Khasan melalui mesin pencari Google. Dari beberapa hasil pencarian, kami menemukan laman kampanye penggalangan dana di situs Kitabisa. Laman tersebut dibuat oleh Dina Agata Putri pada 5 Agustus 2018.

Pada laman itu, disebutkan bahwa bahwa Zein Raffael Khasan sudah mengalami sakit sejak 18 Juli 2018. Saat itu, pipi serta mulut bocah itu membengkak. Kedua orang tuanya membawa Zein ke klinik. Dokter di klinik mengatakan kemungkinan pipi yang bengkak adalah karena akan tumbuh gigi.

Nyatanya setelah satu minggu berlalu, tubuh Zein makin lemas dan mulai tak selera makan ataupun bermain. Mata bocah itu juga bengkak sebelah. Melihat kondisi ini, Zein dibawa berobat ke dokter anak oleh orang tuanya, di sana ia disarankan untuk berobat ke rumah sakit yang lebih besar, yakni RS Panti Rapih Yogyakarta.

Setelah dirawat dan diobservasi selama tiga hari di RS Panti Rapih, dicurigai terdapat tumor di area mata Zein. Ia kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, agar segera mendapat tindakan medis yang lebih serius.

Di RS Sardjito, Zein dirawat di bangsal khusus kanker anak. Dokter di RS Sardjito mengatakan bahwa kanker di tubuh Zein sudah menjalar ke otak dan juga mulut. Selanjutnya, Zein diminta menjalankan CT scan. Hasilnya, ia divonis menderita kanker darah pada 8 Agustus 2018.

Laman Kitabisa untuk mengumpulkan donasi untuk Zein terakhir diperbarui tiga tahun lalu. Penggalangan dana sendiri sudah ditutup dan tidak ada informasi terkini mengenai kondisi Zein. Pembuat donasi juga tidak menampilkan alasan mengapa Zein bisa terkena kanker darah.

Kemudian, terkait klaim bahwa pancaran radiasi dari WiFi dapat menyebabkan kanker, hal ini sendiri belum dapat dibuktikan secara definitif. Menukil dari situs Cancer.org, Pada dasarnya, radiasi berada di sebuah spektrum, mulai dari radiasi berenergi sangat rendah (frekuensi rendah) hingga radiasi berenergi sangat tinggi (frekuensi tinggi). Spektrum ini seringkali disebut sebagai spektrum elektromagnetik.

Energi elektromagnetik sendiri berkisar dari yang frekuensinya sangat rendah, seperti yang berasal dari saluran listrik, hingga yang frekuensinya sangat tinggi, seperti sinar-x dan sinar gamma, dan mencakup radiasi non-pengion dan pengion.

Kemudian, radiasi pengion berarti yang memiliki energi yang cukup untuk melepaskan elektron dari (mengionisasi) atom. Hal ini dapat merusak DNA (gen) di dalam sel, yang terkadang dapat menyebabkan kanker.

Sementara itu, radiasi dari WiFi, termasuk ke dalam radiasi frekuensi radio. Jenis frekuensi ini memiliki spektrum elektromagnetik berenergi rendah. Frekuensi radio sendiri merupakan jenis radiasi nonpengion, yang seperti disebutkan tadi, memiliki kemungkinan kecil untuk merusak DNA, sehingga potensinya untuk menyebabkan kanker cukup kecil.

Beberapa orang dapat menerima paparan frekuensi radio yang signifikan karena jadi bagian dari pekerjaan mereka. Contoh pekerjaan ini seperti berjaga di menara antena yang menyiarkan sinyal komunikasi dan orang yang bertugas melakukan pemeliharaan peralatan radar.

Kebanyakan orang terpapar oleh tingkat radiasi frekuensi radio lebih rendah setiap harinya karena adanya sinyal tersebut di sekitar kita. Radiasi ini berasal dari siaran radio dan televisi, perangkat WiFi dan bluetooth, telepon seluler, dan sumber lainnya.

Masih dari Cancer.org, para peneliti menggunakan dua jenis penelitian utama untuk menentukan apakah misalnya sesuatu dapat menyebabkan kanker:

  1. Studi yang dilakukan di laboratorium
  2. Studi yang meneliti sekelompok orang
Satu jenis penelitian biasanya tidak memberikan cukup bukti, sehingga peneliti biasanya memperhatikan kedua jenis penelitian, baik penelitian berbasis laboratorium maupun studi yang melibatkan sekelompok orang, untuk menyimpulkan apakah sesuatu dapat menyebabkan kanker.

Menurut laman Cancer.org, gelombang frekuensi radio tidak memiliki energi yang cukup untuk merusak DNA secara langsung. Karena itu, belum ada penjelasan bagaimana radiasi frekuensi radio mungkin menyebabkan kanker. Beberapa penelitian telah menemukan kemungkinan peningkatan tingkat jenis tumor tertentu pada hewan di laboratorium yang terpapar radiasi frekuensi radio. Tetapi secara keseluruhan, hasil penelitian jenis ini belum memberikan jawaban yang jelas.

Beberapa penelitian telah melaporkan bukti efek biologis yang dapat dikaitkan dengan kanker, namun ini masih menjadi area penelitian saja.

Dalam penelitian yang diterbitkan pada 2018 oleh Program Toksikologi Nasional AS (NTP) dan Institut Ramazzini di Italia, para peneliti memaparkan kelompok tikus (dan juga mencit, dalam kasus penelitian NTP) ke gelombang frekuensi radio di seluruh tubuh mereka, selama berjam-jam dalam sehari, dimulai dari sebelum mereka lahir dan dilanjutkan sepanjang kehidupan alami mereka.

Kedua penelitian menemukan peningkatan risiko tumor jantung yang tidak biasa yang disebut schwannomas ganas pada tikus jantan, tetapi hal ini tidak terjadi pada tikus betina (juga tidak terjadi pada tikus jantan atau betina dalam penelitian NTP). Studi NTP juga melaporkan kemungkinan peningkatan risiko beberapa jenis tumor di otak dan di kelenjar adrenal.

Sementara penelitian ini memiliki bukti yang cukup kuat, mereka juga memiliki keterbatasan, sehingga sulit mengetahui bagaimana penerapannya pada manusia yang terpapar radiasi frekuensi radio. Sebuah tinjauan pada 2019 oleh Komisi Internasional tentang Perlindungan Radiasi Non-Pengion (ICNIRP) terhadap dua studi ini menetapkan bahwa keterbatasan studi tidak memungkinkan untuk ditariknya kesimpulan mengenai kemampuan energi frekuensi radio sebagai penyebab kanker.

Namun, hasil penelitian ini tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa radiasi gelombang radio, entah bagaimana, bisa berdampak terhadap kesehatan manusia.

Kemudian, studi tentang orang-orang yang mungkin terpapar radiasi frekuensi radio di tempat kerjanya (mereka yang bekerja di sekitar peralatan radar, mereka yang mengoperasikan antena komunikasi, dan operator radio) tidak ditemukan peningkatan risiko kanker yang jelas.

Sejumlah penelitian telah mencari kemungkinan hubungan antara ponsel dan kanker. Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan kemungkinan adanya hubungan itu, banyak penelitian lainnya yang tidak menemukan bukti yang sama. Dengan demikian, karena berbagai alasan, sulit untuk mempelajari apakah mungkin ada hubungan antara ponsel dan kanker, termasuk waktu penggunaan ponsel yang relatif singkat, perubahan teknologi dari waktu ke waktu, dan kesulitan dalam memperkirakan paparan bagi setiap orang.

Akhir-akhir ini, Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA) juga mengeluarkan laporan teknis berdasarkan hasil studi yang dipublikasikan pada medio 2008- 2018 dan tren nasional jumlah terjadinya kanker. Laporan itu menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung hubungan antara paparan radiasi frekuensi radio dengan pembentukan tumor.

Tirto juga menghubungi dokter onkologi dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr. Aru Sudoyo, mengenai hubungan antara radiasi WiFi dengan kanker.

"Tidak ada bukti," katanya melalui pesan singkat pada Senin (4/10/2021).

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penyakit kanker, terutama kanker darah yang terjadi pada Zein Raffael Khasan, bukan disebabkan oleh radiasi dari paparan signal WiFi. Demikian pula, belum ada bukti yang definitif hingga saat ini untuk menyimpulkan bahwa paparan radiasi frekuensi radio, termasuk di dalamnya paparan WiFi, dapat meningkatkan risiko kanker. Informasi yang beredar di media sosial Facebook bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty