Menuju konten utama
Misbar

The Killer: Film One-Man Show Lazimnya, tapi oleh David Fincher

The Killer menampilkan unsur-unsur yang biasa ada dalam film one-man show. Yang membuatnya beda adalah arahan David Fincher.

The Killer: Film One-Man Show Lazimnya, tapi oleh David Fincher
Header MIsbar The Killer. tirto.id/Mojo

tirto.id - The Killer (2023) ialah film action-thriller arahan sutradara David Fincher yang ditayangkan di Netflix sejak 10 November lalu. Dengan mudah, ia bisa disejajarkan dengan judul-judul terkenal, seperti Léon dan Heat. Ia pun dengan cepat bisa dilempar ke dalam kategori serupa Hitman, seri Bourne, atau Taken, beberapa film aksi yang dibintangi Jason Statham, dan pastinya John Wick.

Sebabnya sederhana: ia punya karakter utama yang dingin dan badass yang berusaha menyelesaikan urusan balas dendam seorang diri.

Jika ditilik lebih dekat, karakter sang Pembunuh—sebutlah demikian untuk membedakan dengan judul filmnya—yang bergerak bak ronin itu sebenarnya bukan hal baru. Film-film yang sudah disebut sebelumnya telah memilikinya. Yang jadi pembeda adalah bahwa karakter itu ditangani oleh David Fincher, sang maestro kisah kriminal.

Ia pun ditulis oleh Andrew Kevin Walker yang telah menghasilkan karya-karya ikonik, seperti Se7en dan Fight Club. Sebelum menggarap sang Pembunuh, Fincher dan Walker sudah pernah berkolaborasi dalam Bad Travelling—salah satu episode terbaik dalam serial Love Death + Robots musim ketiga.

The Killer diadaptasi dari novel grafis berjudul sama karya Alexis "Matz" Nolent dan Luc Jacamon yang terbit pada 1998. Film dan karakter sang Pembunuh (Michael Fassbender) dikisahkan sepenuhnya mengikuti komiknya.

Kisah One-Man Show

Sang Pembunuh adalah pembunuh bayaran “kalem” yang dikisahkan memburu para pengusik hidupnya satu-persatu.

Sang Pembunuh sering diperlihatkan melakukan inner monologue ketimbang berbincang dengan karakter lain. Seorang manusia yang menjalani hidup dalam keterasingan. Seorang anti-Bond yang perfeksionis dalam pekerjaannya.

Dia sama sekali tak percaya konsep keberuntungan, karma, dan keadilan. Sepenuhnya pula tak percaya bahwa manusia punya kebaikan yang inheren dalam dirinya.

Melalui monolog panjang di awal film, penonton diberi petunjuk betapa skeptisnya dia sebagai manusia dan pragmatisnya dia sebagai pekerja. Namun, segera setelah itu, sang Pembunuh bakal menyadari bahwa dia bisa keliru dan gagal. Dari hal itulah kisahnya bergulir.

Kisah perburuan sang Pembunuh lantas dibagi dalam enam bagian dalam latar apik yang kelam, tapi juga kalem. Masing-masing bagian punya atmosfer dan pace berbeda yang dibangun dengan cermat.

Sekali lagi, The Killer tak berambisi menyuguhkan kebaruan. Maka masuklah elemen-elemen klise yang biasa ditemui dalam saga sejenisnya, mulai dari tempat persembunyian mewah di negeri tropis, gudang persenjataan, juga orang terkasih yang disakiti.

Berbekal deduksinya yang setajam belati, sang Pembunuh berupaya mengejar satu-persatu sosok yang bertanggung jawab atas hal yang disebut terakhir dan menghabisi mereka. Penonton bakal bertemu adegan-adegan membuntuti, pembunuhan senyap, pertarungan brutal, juga pelarian.

Kita mungkin bisa memprediksi alurnya sejak mula. Namun, Fincher dengan tangan dinginnya berhasil meramu apa-apa yang tersedia untuknya menjadi karya yang tetap menarik dan tetap bikin penasaran. Fincher agaknya menikmati betul proses produksi film ini.

Selain fisik yang jelas mendukung, Fassbender sebagai aktor menurut saya sukses “mengarahkan” penonton. Dalam segi karakterisasi, tak banyak hal yang mesti dielaborasi dari sang Pembunuh. Begitulah dia, seorang penyendiri yang dingin, menimbun ragan teori dan retorika dalam kepala, dan hanya menunjukkan emosi pada waktu yang pas.

Sisi-sisi lain sang Pembunuh nantinya acapkali terkuak melalui pembicaraan karakter-karakter sampingan, pilihan tindakan, dan caranya memanfaatkan lingkungan. Hal itu, menurut saya, mencerminkan laku penyutradaraan Fincher sendiri. Tengoklah bagaimana dia memaksimalkan lingkungan di sekelilingnya untuk pilihan gambar dan adegan, demi mendukung suasana dan ketegangan yang dihadirkan, atau pun dengan pemilihan sound yang didesain untuk mengelilingi penonton.

Di sepanjang film, penonton sesekali diperdengarkan sayup-sayup bebunyian yang lebih “cool”, semisal satu lagu dari Portishead atau beat industrial dan dark electro garapan Trent Reznor dan Atticus Ross. Dua nama yang disebut terakhir pernah juga berkolaborasi dengan Fincher dalam The Social Network, The Girl with the Dragon Tattoo, dan Mank.

Selebihnya, ialah The Smiths yang mendominasi pendengaran. Ia muncul berulang saat sang Pembunuh berlatih, beroperasi, di segala waktu dan situasi. Untuk beberapa momen, monolog sang Pembunuh dan musik The Smiths bahkan bergantian berebut fokus.

Pemilihan band tersebut mungkin hanya demi lucu-lucuan. Namun, akhirnya jadi terasa estetik dan cukup unik.

Sang Pembunuh Mungkin adalah Fincher

Sekilas, The Killer memang akhirnya jadi kisah ronin susah mati kebanyakan. Lagi-lagi, ia jadi cool karena digarap oleh Fincher. Berbagai perubahan dari materi sumbernya kerap bisa dimaklumi demi memadatkan kisah ke dalam sekitar dua jam durasi film. Namun, sejumlah modifikasi lainnya bisa dipertanyakan.

Bila membicarakan materi sumbernya, ini bukan sekadar perkara lebih banyak warna mencolok, tapi juga karakter yang agak lebih berwarna dengan detail dan alur penceritaan berbeda.

Karakter sang Pembunuh dalam komik aslinya punya arc yang lebih panjang dan kompleks. Sebagai pembunuh, dia tak segan melakukan eksekusi di lokasi dan situasi ekstrem. Sebagai karakter, sang pembunuh terikat dengan lokasi persembunyiannya di Venezuela. Dia bahkan menyamakan diri dengan hewan lokal, yakni aligator.

Dia juga kerap menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh sejarah di sekitarnya, seperti Simón Bolívar dan Lope de Aguirre. Sebagai pekerja, dia membicarakan genosida. Dia menjustifikasi pekerjaannya dengan menganggap bahwa manusia sejatinya adalah pembunuh.

Sebagai manusia, sang Pembunuh mencemooh para pengunjuk rasa, menganggap orang-orang itu tak punya nyali. Dan orang ini percaya rasa keadilannya sama baiknya dengan versi mana pun.

Sang Pembunuh tahu betul bahwa revans adalah tindakan tolol. Namun, pemikiran itu luntur oleh prinsipnya yang lain, bahwa menghindari keadilan individual adalah sifat para pengecut.

Dia juga tak selalu beraksi sendiri. Untuk beberapa waktu, dia harus bekerja sama dengan karakter lain. Berkat karakter di sekitarnya pula, kita mendapatkan suguhan humor, kritik sosial, juga sentilan soal ketidakadilan sistemik.

Bila melihat sebagian saja motif dan karakter macam itu, Fincher dan Walker terkesan mencopoti banyak betul dari materi aslinya. Sebagian diringkas, lebih sering dipangkas. Hal itu tak pelak membuat sang Pembunuh versi film jadi “sekadar keren” atau malah jatuh jadi lelaki sigma dalam aksi perburuan manusia.

Yang bersitetap dalam komik maupun film hanyalah keinginannya untuk bertahan hidup ketimbang menyongsong kematian. Sang Pembunuh versi komik maupun film juga tak pernah mendaku diri legiun bayaran. Dia bangga sebagai artis solo yang juga bos untuk dirinya sendiri. Sama-sama didorong oleh uang, sang Pembunuh versi film hanya dibuat lebih keren.

Dengan memangkas beberapa aspek dari materi sumbernya, Fincher (dan Walker) mungkin ingin agar karakternya kali ini tidak diidolakan secara keliru—seperti halnya karakter Tyler Durden dalam Fight Club.

Namun, tak bisa dipungkiri juga bahwa sang Pembunuh dalam The Killer dan Tyler Durden dalam Fight Club sama-sama mengusung aspek antikapitalisme. Pasalnya, sang Pembunuh melakukan pekerjaannya di bawah sistem yang menekan akibat tuntutan kapitalisme.

Sang Pembunuh dan misi perburuannya boleh jadi juga merupakan alegori tentang persaingan atau konflik horisontal sesama kelas pekerja. Tengoklah bagaimana para penguasa atau pemegang modal dalam semesta The Killer akan selalu bisa lepas dari hukum tanpa banyak konsekuensi. Sang Pembunuh sendiri menghabisi semua orang yang terhitung sesama “pekerja”, tapi tak pernah membunuh sang bos.

Itu adalah pembacaan menarik dari seorang teman saya. Saya sendiri tak menjangkau sejauh itu. Saya sendiri malah membayangkan bahwa Fincher akhirnya mengangkat cerita character-driven yang simpel, yang sesuai dengan apa yang ia cari, kendati itu adalah sesuatu yang telah jamak.

Sang Sutradara mungkin akhirnya berkesempatan mengadaptasi dan memodifikasi karakter yang penuh kesadaran, tapi juga tak sampai bikin dirinya self-conscious. Si karakter rupa-rupanya punya kesamaan dengan dirinya dalam soal intensi pada perfeksionisme dan kerja-kerja presisi.

Fincher boleh jadi tertarik untuk mengalihwahanakan The Killer karena dia melihat cerminan dirinya sendiri dalam karakter sang Pembunuh. Mereka sama-sama diberkahi pandangan yang sinis pada dunia dan kerap dilabeli sebagai nihilis.

Hasil akhir The Killer mungkin tak cocok bagi mereka yang bukan penggemar atau bahkan kepalang jemu dengan kisah one-man show. Begitu pun bagi mereka yang mengharapkan kisah ini dihadirkan dengan lebih bombastis.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi