Menuju konten utama

Teror Bus Dortmund  dan Solidaritas Antar Suporter

Bus yang membawa para pemain Dortmund jadi sasaran teror. Respons pendukung Monaco sangat simpatik.

Teror Bus Dortmund  dan Solidaritas Antar Suporter
Polisi berjaga di depan bus tim Dortmund setelah dilempar bom oleh orang tidak dikenal sebelum pertandingan sepak bola Liga Champions antara Borussia Dortmund dan AS Monaco. AP Photo/Martin Meissner

tirto.id - “Bus langsung berbelok dari jalan utama ketika mendadak ada ledakan besar, sebuah ledakan yang disiapkan. Polisi dengan cepat menuju lokasi dan mengatasi situasi. Kami semua terkejut,” Roman Burki, penjaga gawang Dortmund yang kebetulan duduk di sebelah Marc Bartra menceritakan kesaksiannya, “Setelah ledakan kami semua merunduk dan mereka yang bisa tiarap di lantai melakukannya. Kami tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.”

Media Jerman, Bild, menyebutnya “Die Sprengsätze” atau alat peledak. Ledakan tiga kali mengenai bus yang ditumpangi Borussia Dortmund sebelum laga perempatfinal Liga Champions 2016/2017 antara Borussia Dortmund melawan AS Monaco. Terdapat satu korban luka ringan akibat ledakan ini yaitu Marc Bartra, pemain bertahan Dortmund.

Untungnya, bus tim Dortmund memang dilengkapi kaca pengaman yang sangat kuat. Sehingga bisa menghindarkan Bartra dari luka yang lebih parah. Bartra sudah menjalani operasi pada lengannya untuk mengambil beberapa pecahan kaca.

“Anggota tim cukup syok. Kami harus bisa melewati ini meskipun tidak akan mudah bagi para pemain,” ujar Hans-Joachim Watze, CEO Dortmund.

UEFA pun segera mengumumkan bahwa laga ditunda. Keputusan yang tepat, terutama untuk memastikan kondisi sudah benar-benar aman. Hebatnya, saat mendengar kabar bahwa bus tim Borussia Dourtmond diserang, di Stadion Signal Iduna Park, para suporter AS Monaco malah memberi dukungan luar biasa untuk pemain Dortmund. Tim yang akan mereka lawan dan—bisa jadi—mengubur mimpi mereka untuk menyaksikan tim kesayangannya berlaga di babak semifinal Liga Champions 2016/2017.

Situasi di stadion inilah yang membuat kalah-menang bukan lagi persoalan penting. Teriakan, “Dourtmund, Dourtmund, Dourtmund”, yang diteriakkan pendukung Monaco, membuat aksi teror itu gagal membuat para suporter ketakutan. Aksi pendukung Monaco segera disambut suporter Dourtmund dengan tepuk tangan meriah.

Tidak hanya pihak suporter, Monaco secara resmi merilis pernyataan: “Menghadapi situasi sulit ini, AS Monaco ingin menyampaikan dukungan penuh untuk seluruh tim Borussia Dortmund.”

Bahkan di tengah kekhawatiran akan aksi teror susulan, muncul tagar #bedforawayfans dari para suporter tuan rumah untuk para suporter Monaco. Sebuah aksi solidaritas dari pendukung Dortmund untuk membukakan pintu-pintu rumah mereka agar bisa dijadikan tempat menginap pendukung Monaco. Aksi ini dilakukan supaya pendukung Monaco yang ingin menyaksikan laga ulangan keesokan harinya (atau malam ini), tidak perlu kembali ke Perancis atau tidak perlu keluar uang untuk akomodasi menginap. Malam ini, Dortmund akan siap menjamu mereka sebagai tamu istimewa.

Heiko Mass, Menteri Hukum Jerman, kepada The Guardian, mengucapkan terima kasih kepada pihak keamanan Dortmund dalam menangani aksi teror ini. Bagi pemain pendukung Dortmund dan Monaco, Heiko menutup pesannya singkat: “You’ll never walk alone.”

Aksi teror dalam sepakbola bukan kali ini saja terjadi. Masih lekat dalam ingatan, salah satu aksi teror paling berdarah di Eropa terjadi di Paris, Perancis, November 2015 lalu. Lokasi berada di dekat kompleks Stade de France yang menjadi tempat laga persahabatan Prancis melawan Jerman. Di tengah-tengah laga, mendadak terdengar suara ledakan cukup keras dari arah luar stadion.

Para pemain terkejut karena kerasnya suara ledakan. Suara yel-yel suporter mendadak tenggelam. Kendati kemudian diberitakan ada aksi penembakan di beberapa kafe dan aksi teror ternyata terjadi di beberapa titik di sekitar stadion, laga tetap berjalan seperti biasa.

Teror tersebut berlanjut sampai tiga hari berikutnya. Pertandingan persahabatan antara Belgia melawan Spanyol diputuskan oleh pemerintahan Belgia untuk ditunda karena Eropa sedang siaga I menanggapi teror di Paris. Hal ini dikarenakan salah satu warga Belgia dicurigai terlibat dalam aksi teror Paris.

Satu hari kemudian, di Hannover, Jerman, aksi teror kembali terjadi. Kali ini Stadion AWD-Arena, kandang Hannover 96, yang menjadi lokasi pertandingan antara Jerman melawan Belanda. Beberapa jam sebelum pertandingan berlangsung, otoritas keamanan Hannover menemukan alat peledak yang diduga akan digunakan untuk meledakkan seluruh isi stadion. Temuan ini segera membuat seluruh penonton dan pemain dievakuasi secepatnya.

Aksi teror semakin membuat bergidik karena Kanselir Jerman, Angela Merkel, juga berada di tempat yang sama. Bahkan beberapa menit sebelum alat peledak ditemukan, Merkel sempat mendatangi ruang ganti tuan rumah untuk memberi pesan kepada Thomas Mueller dkk., agar tidak takut dengan terorisme.

Membaca peristiwa-peristiwa semacam ini, jelas sasaran aksi tidak lagi menyasar pada gedung-gedung pemerintahan atau simbol-simbol kekuatan ekonomi dan politik, melainkan juga menyasar olahraga paling populer di planet ini. Olahraga yang, dalam beberapa kasus, bisa meredakan konflik.

Sejak 1967, Nigeria mengalami perang saudara yang brutal karena berdirinya Republik Biafra oleh para pemberontak. Banyak korban dari kedua belah pihak. Lembaga-lembaga internasional berusaha membantu mendamaikan. Sayangnya, kedua belah pihak sama-sama keras kepala. Keadaan sedikit membaik karena satu hal: sepakbola.

Infografik Serangan Bus Pemain Dortmund

Sejarah mencatat, hanya karena ingin menyaksikan Pele bersama Santos menjalani tur pertandingan ke Nigeria, pihak pemerintah maupun pemberontak bersepakat menghentikan perang selama 48 jam pada 26 Januari 1969. Sebagai negara yang begitu menggilai sepakbola, milisi maupun tentara Nigeria menepikan dulu kepentingan politik masing-masing. Semua rela menurunkan egonya hanya demi menyaksikan sepakbola dimainkan oleh bakat terbaiknya. Menikmati sepakbola yang menyatukan segala perbedaan di Lagos, ibukota Nigeria.

Jika mencoba menengok ke belakang, pertempuran dalam lingkup Perang Dunia I pun dapat berhenti karena sepakbola. Itu terjadi di hari Natal 1914. Pada hari itu, di salah satu front, tentara Jerman dan Inggris melupakan segala misi militer masing-masing dan memilih merayakannya dengan bermain sepakbola di ladang pertempuran. Tempat di mana rekan-rekan mereka tewas dan beberapa ada yang masih terkubur di sana.

Aksi teror yang diarahkan kepada gelaran sepakbola tentu saja menyasar publisitasnya yang luar biasa. Respons dunia yang menyorot aksi tersebut adalah alasan kenapa sepakbola menjadi sasaran. Akan tetapi, jika serangan ini ditujukan untuk melemahkan kekuatan menyatukan yang ada di dalamnya dan membuat para suporter menjadi ketakutan, sepertinya pelaku teror perlu usaha yang lebih kuat lagi.

Aksi simpatik yang diperlihatkan suporter Monaco, dan respons balik dari pendukung Dortmund yang tidak kalah simpatiknya, menunjukkan teror malah amat mungkin menyatukan. Yang terjadi di Signal Iduna Park adalah menepikan siapa mendukung siapa. Ada yang lebih penting dari sekadar peluang lolos ke babak semifinal Liga Champions. Bersatu melawan segala bentuk aksi teror jauh lebih masuk akal. Begitulah kira-kira.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS