tirto.id - Teror seolah “akrab dan bersahabat” dengan KPK. Belum lagi hilang dari ingatan akan dua ancaman bom di rumah dua pimpinan KPK sebulan lalu, kini dua penyelidik KPK dianiaya hingga hidungnya retak ketika sedang mengintai dugaan korupsi di hotel bintang lima Borobudur, sekitar radius satu kilometer dari Istana Merdeka.
Pihak yang diduga melakukan penganiayaan justru melaporkan KPK, seakan tak gentar dan punya keberanian ekstra untuk menghardik dan membusungkan dada di hadapan KPK. Hal itu dikonfirmasi Kabid Humas Polda Metro Jaya yang menyatakan telah menerima laporan dari biro hukum Pemprov Papua dan sudah mulai menyelidikinya. Sementara itu Pimpinan KPK menyatakan dugaan penganiayaan pada pegawai KPK agar diusut tuntas.
Kita tentu sangat prihatin. Tak hanya itu, simpati dan dukungan wajib terus diberikan selama keberanian mengambil resiko menjadi kehormatan serta integritas konsisten dijaga sebagai dasar perilaku. Puji syukur, kali ini Pimpinan KPK bersikap tegas menunjukkan keberpihakan, tak bersikap ciut seperti ketika menghadapi hasil investigasi Indonesia Leaks yang nyata-nyata merontokkan kehormatan KPK.
Wadah Pegawai KPK mengklaim skandal Borobudur sebagai teror kesepuluh, kendati sebagian kalangan di KPK juga menyatakan teror dalam ruang sunyi dan sepi sudah amat sering menyerang insan dan institusi KPK.
Teror niscaya akan terus mendera selama KPK serius bekerja. Teror yang berlanjut bahkan bisa jadi semacam indikator; artinya kerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi sudah di jalan dan arah yang relatif baik dan benar. Ingat, republik ini tidak dibangun oleh ketakutan menghadapi kolonialisme yang kekuatan dan kebejatannya sangat sempurna.
Perlawanan Balik Koruptor
Teror terhadap KPK dan pegiat anti-korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak belahan dunia. Wajar, upaya pemberantasan korupsi harus menghadapi batu cadas kekuasan yang berkolusi dengan kekuatan oligarki.
Lihat saja di Afghanistan. Pada 2017, dua orang pejabat ACJC di Afghanistan dibunuh setelah Anti-Corruption Judicial Center (ACJC) berhasil menyeret pejabat pemerintahan ke pengadilan. Belum genap dua tahun bekerja, komisioner lembaga yang dibentuk Presiden Mohammad Ashraf Ghani pada 30 Juni 2016 sudah berkalang tanah.
Di Malaysia pada 2015, Perdana Menteri Najib Razak dituduh terlibat dalam skandal 1MDB. Najib diduga menggunakan pengaruhnya atas pemecatan Jaksa Umum Abdul Gani Patail, pemimpin satuan tugas lembaga anti rasuah yang tengah menyelidiki indikasi penyelewengan dana yang melibatkan sang perdana menteri. Tak hanya itu, Ketua Malaysia Anti Corruption Commission (MACC) Tun Sri Abu Kassim Mohamed dilengserkan setelah memerintahkan agar kasus Najib diselidiki. Pendeknya, kala itu PM Najib melakukan berbagai tindakan untuk mendelegitimasi institusi MACC.
Nuhu Ribadu, komisioner lembaga anti-korupsi Nigeria (EFCC), menangkap 31 dari 36 gubernur negara bagian Nigeria yang diduga melakukan kejahatan korupsi. Tapi belum lagi tiga tahun bekerja, Ribadu terpaksa mengundurkan diri pada 2006 akibat tekanan dari pemerintah. Ia bahkan harus menyelamatkan diri ke Amerika Serikat karena hidupnya terancam. Penggantinya, komisioner Farida Waziri, dipilih oleh sistem kekuasaan di Negeria. Di tangan Waziri, EFCC kian lemah jika dibandingkan dengan masa kepemimpinan Ribadu. Yang mengerikan, ketimbang menghukum koruptor, sistem politik Nigeria punya tendensi melindungi dan terus memberi penghargaan kepada mereka.
Pada 2017, Perdana Menteri Viorica Dancila dari Rumania diprotes publik karena melemahkan UU Anti Korupsi dengan mensubordinasikan National Anticorruption Directorate (DNA) ke dalam sistem kekuasaan di bawah pemerintahan. Padahal DNA dipercaya oleh publik karena kemampuannya menangani kasus korupsi dengan indeks kepercayaan sebesar 59.8%. Angka ini jauh melampaui tingkat kepercayaan atas parlemen (12.6%) dan pemerintah (22.6%).
Di Ukraina pada 2016, Blok Petro Poroshenko sebagai partai berkuasa mendelegitimasi National Anticorruption Bureau of Ukraine (NABU) dan Special Anticorruption Prosecutor’s Office (SAPO) dengan membuat RUU yang menolak akses informasi publik dan pengungkapan deklarasi aset pejabat pemerintahan.
Berbagai contoh teror dan tekanan di atas memperlihatkan para pengganggu aktivitas anti-korupsi punya otoritas yang sangat besar, atau koneksi ke kekuasaan, atau kemampuan menggerakkan pengaruh di tubuh otoritas. Ada kolusi di baliknya—dan begitulah cara kerja koruptor beserta seluruh jaringan kepentingannya. Tak heran, ancaman terhadap pegiat anti-korupsi acapkali sulit—bahkan mustahil—dibongkar. Sekali lagi, KPK adalah saksi betapa sulitnya menguak dan menemukan para pelaku teror ini.
Teror dibuat untuk menciptakan ketakutan agar para pemberantas korupsi terbebani secara psikologis. Di dalamnya terdapat pesan untuk menghentikan aksi-aksi melawan korupsi. Salah satu bentuk teror adalah kriminalisasi dan inilah yang kerap menjagal segenap keberanian insan KPK.
Dengan segala keterbatasannya, KPK telah berperan sebagai arsitek dan dirigen pemberantasan korupsi di Indonesia. Keberanian, integritas, dan profesionalitas menjadi pilar yang dapat menjaga keutuhan fungsi dari KPK seperti tujuan awal pembentukannya.
Teror akan reda jika KPK hanya menjadi institusi penegakan hukum yang biasa-biasa saja, kinerjanya medioker, membosankan, dan tak berdampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan umum serta memberikan kontribusi kongkret dalam mewujudkan keadilan.
Teror bekerja dengan menciptakan ketakutan untuk meruntuhkan keberanian dan meremukkan psikologi para pemberantas korupsi agar tak lagi mampu berbuat yang terbaik dan luar biasa. Insan KPK dipaksa para musuh dan predator politik untuk percaya bahwa ada bahaya dan sakaratul maut yang terus mengancam dan mesti ditanggung jika mereka berani menegakkan kebenaran. Padahal kejayaan dan kemuliaan hanya bisa hadir jika kita punya kemampuan untuk menaklukkan turbulensi, sehebat apapun guncangan gelombang datang menghadang.
Teror juga bisa hadir terus terjadi karena kita menciptakan ruang bagi koruptor untuk melakukan melawan balik. Salah satunya disebabkan karena keengganan membangun mitigasi resiko, meningkatkan kompetensi profesional, dan menemukan berbagai gagasan baru untuk membangun sistem yang lebih antisipatif terhadap teror. Harus juga disadari bahwa semua pengetahuan, sistem, dan perilaku terus direkam dan dipelajari oleh predator dan jaringan kerja para koruptor. Mereka menempatkan KPK sebagai musuh bersama.
Jika KPK cerdas, tragedi penganiayaan di Hotel Borobudur harus dijadikan pembelajaran bahwa sistem intelijen penyelidikan KPK telah kebobolan. Akan sangat baik jika seluruh sumber daya KPK mau melakukan refleksi mendalam dan menyeluruh. Intelijen adalah kerja sepi di ruang sunyi untuk menangkap hiruk pikuk kejahatan yang tak sungkan mempertontonkan keangkuhannya.
Jangan juga lupa akan kemungkinan gerakan kontra intelijen yang bertujuan menghancurkan seluruh kinerja KPK; atau adakah kebocoran dari dalam? Mengapa dalam kerja intelijen sepenting itu, ada pihak yang punya otoritas dalam struktur kepemimpinan justru tidak dapat saling berkomunikasi untuk mengantisipasi risiko dan pukulan balik atas kerja intelijennya? Semua pertanyaan ini perlu diajukan ditujukan untuk tetap menjaga kehormatan KPK.
Yang juga jauh lebih penting lagi, insan di KPK selalu terus menerus berikhtiar dan saling mengingatkan untuk menjaga elan integritas dan spiritualitasnya. Saya yakin cara ini bisa jadi salah satu solusi terbaik untuk memagari diri dari teror agar tak sembarangan menggedor.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.