tirto.id - Pajak selama ini menjadi salah satu sumber pendanaan untuk membiayai kegiatan pemerintah, baik yang berupa belanja rutin maupun pembangunan. Meskipun pajak menjadi salah satu sumber pendapatan utama negara-negara di era modern, ia sebenarnya bukan barang baru. Sejak ribuan tahun lalu, sistem pemungutan pajak telah dipraktikkan oleh berbagai pemerintahan kuno.
Namun berbeda dari masa sebelumnya, dalam sistem pemerintahan modern, pemungutan pajak dinilai perlu didasari oleh alasan yang kuat. Maka dari itu, muncul sejumlah teori yang mendasari pemungutan pajak di negara modern.
Ada sejumlah teori yang dirumuskan oleh para ahli tentang pemungutan pajak. Namun, setidaknya ada 5 teori dasar pemungutan pajak di negara modern.
Lima teori pemungutan pajak itu adalah teori asuransi, teori bakti, teori kepentingan, teori daya beli, dan teori daya pikul.
Mengutip penjelasan dalam buku Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di Indonesia (2014: 28-30), dan sejumlah sumber lain, berikut uraian tentang masing-masing teori itu.
1. Teori asuransi
Teori ini didasari gagasan bahwa negara bertugas melindungi segala kepentingan dan keselamatan masyarakatnya, baik jiwa maupun harta benda. Seperti halnya layanan asuransi, perlindungan itu perlu didukung dengan pembayaran premi.
Pajak lantas diibaratkan pembayaran premi oleh masyarakat kepada negara. Namun, teori asuransi kini semakin kurang relevan. Sebab, negara tidak bisa disejajarkan dengan perusahaan asuransi.
Kewajiban memberikan perlindungan kepada warganya merupakan tugas yang melekat di negara, dan tidak didasarkan pada pembayaran pajak. Negara wajib melindungi dan menjamin hak semua warganya, baik yang membayar pajak maupun tidak.
2. Teori bakti (teori kewajiban pajak mutlak)
Didasarkan pada prinsip organische staatsleer atau organisasi negara, teori ini menyatakan bahwa negara memiliki hak mutlak untuk memungut pajak. Dalam teori ini, warga dianggap mempunyai kewajiban membayar pajak sebagai tanda bakti kepada negara.
Teori ini didasari organ theory dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ tersebut, individu tidak dapat hidup.
Negara berhak membebani setiap warganya dengan kewajiban-kewajiban, termasuk membayar pajak, karena lembaga ini menjamin kehidupan warganya. Dengan demikian, pemungutan pajak oleh negara dapat dibenarkan.
Hal ini sebenarnya telah menjadi dasar pemungutan pajak sejak era sebelum negara modern lahir.
Hanya saja, dalam sistem negara modern, setiap kebijakan pemerintahan harus berdasar hukum. Demikian pula dalam pemungutan pajak, mesti dilandasi oleh peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh, di Negara Republik Indonesia, dasar pemungutan pajak dialasi oleh konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Pasal 23 A UUD 1945 menyatakan, “Segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk keperluan Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
3. Teori kepentingan
Teori ini bermula dari gagasan bahwa beban pajak harus dibagi secara proporsional kepada semua warga negara. Beban pajak tiap warga bisa berbeda bergantung pada kepentingan masing-masing.
Semakin besar kepentingan yang dilindungi negara, bertambah tinggi pula beban pajak yang harus dibayar oleh warga.
Di sisi lain, negara memiliki tugas melindungi dan melayani segenap warganya. Karena itu, negara memiliki hak memungut pajak, tetapi hasilnya mesti dikelola untuk kepentingan umum.
4. Teori daya beli
Teori ini mengibaratkan pajak seperti pompa yang menyedot daya beli anggota masyarakat, tetapi kemudian hasilnya dikembalikan lagi oleh negara kepada masyarakat buat kesejahteraan bersama.
5. Teori daya pikul
Teori ini menjelaskan, keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan negara kepada warganya yang berupa perlindungan jiwa dan harta bendanya. Maka itu, sudah seharusnya masyarakat yang mendapat perlindungan negara membayar pajak.
Teori ini mengandung gagasan bahwa pajak yang ditanggung seseorang harus sesuai dengan daya pikulnya. Adapun daya pikul dilihat dari besaran penghasilan warga yang terlihat dari pengeluaran mereka.
Daya pikul adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya.
Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith, Wagner, WJ Langen
Pemungutan pajak oleh negara memerlukan legitimasi UU sehingga hak dan kewajiban perpajakan masyarakat terlindungi. Namun, ada prinsip atau asas-asas tertentu yang mendasari pemungutan pajak secara umum.
Dalam kajian pajak di era modern, setidaknya ada 3 tokoh yang merumuskan asas pemungutan pajak, yakni Adam Smith, W.J. Langen, dan Adolph Wagner. Berikut detail asas-asas pemungutan pajak (prinsip pemungutan pajak) menurut tiga tokoh tersebut.
1. Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith
Adam Smith (1723-1790) melalui bukunya An Inquiry Into The Nature And Causes Of The Wealth Of Nations menerangkan empat prinsip atau asas dalam pemungutan pajak. Asas-asas itu, menukil materi edukasi pajak dari DJP [PDF], disebut “The Four Maxims” yang detailnya sebagai berikut:
a. Asas kesamaan (equality)
Pemungutan pajak didasarkan pada keadilan yang mempertimbangkan keseimbangan antara kemampuan/penghasilan Wajib Pajak dengan pajak yang harus dibayarkan sehingga pemungutan pajak yang dilakukan harus adil, serta tidak bersifat diskriminatif.
b. Asas kepastian (certainty)
Pemungutan pajak yang harus dibayar harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Pemungutan pajak harus mencerminkan kepastian hukum seperti subjek, objek, besarnya pajak terutang, dan waktu pembayarannya sehingga Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajibannya.
c. Asas ketepatan waktu (convenience of payment): Pemungutan pajak dilakukan pada saat yang paling tepat dan baik bagi Wajib Pajak, yaitu sesaat setelah diterimanya penghasilan.
d. Asas ekonomis/efisiensi (economic of collection)
Pemungutan pajak mesti dilakukan sehemat, atau seefisien, mungkin dengan memperhitungkan biaya pemungutan pajak yang tidak lebih besar dari penerimaan pajak.
2. Asas Pemungutan Pajak Menurut W.J. Langen
Mengutip publikasi resmi dari Ditjen Pajak, berikut sejumlah asas pemungutan pajak menurut W.J. de Langen:
a. Asas Daya Pikul
Besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan pada nilai penghasilan wajib pajak. Makin besar penghasilan wajib pajak, bertambah tinggi pula pajak yang dibebankan.
b. Asas Manfaat
Pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum.
c. Asas Kesejahteraan
Pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d. Asas Kesamaan
Para wajib pajak dengan kondisi yang sama harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama pula (diperlakukan sama).
e. Asas Beban Sekecil-kecilnya
Pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Asas Pemungutan Pajak Menurut Adolph Wagner
Berikut ini sejumlah asas pemungutan pajak menurut Adolph Wagner
a. Asas Politik Finansial: pajak yang dipungut negara memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
b. Asas Ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat.
c. Asas Keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d. Asas Administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya), dan besarnya biaya pajak.
e. Asas Yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.
Editor: Iswara N Raditya