tirto.id - Hubungan saya dengan Ancol Taman Impian (Ancol) umpama mimpi yang kemudian menjelma menjadi kenyataan. Saya lahir di Jakarta, tumbuh dan besar di kota yang sama. Saat kecil hingga remaja, saya seolah hanya bisa menikmati Ancol dalam angan-angan. Bagi seorang anak yang tumbuh di tengah keluarga prajurit berpangkat menengah-rendah, bermain di Ancol adalah hal mewah. Hanya bisa dilakukan di musim libur sekolah.
Saat sekolah, fisik saya memang pernah mengunjungi Ancol, entah waktu SD, SMP, atau SMA, saya lupa. Namun, ingatan yang utuh mengenai Ancol terbentuk dari masa ketika saya menjadi mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia, pertengahan 1990-an. Kala itu, saya mengunjungi Dufan Ancol bersama teman-teman yang kebanyakan adalah sesama mahasiswa dari kalangan tidak begitu berkecukupan. Ingatan mengenai peristiwa itu senantiasa melekat, sebab itulah vakansi pertama saya ke Ancol yang bisa saya nikmati secara full. Sebelumnya, tak ada fasilitas tiket terusan, sehingga tiap kali selesai mencoba satu wahana dan ingin menjajal wahana berikutnya, rasanya berat sekali karena harus membayar lagi dan lagi.
Tak lama setelah lulus kuliah, awal tahun 2000-an, mading (majalah dinding) kampus dipenuhi berbagai iklan lowongan pekerjaan. Saya mengirim lamaran ke banyak perusahaan, salah satunya ke PT Pembangunan Jaya Ancol. Kala itu, Ancol butuh orang untuk posisi mechanical dan electrical. Saya merasa punya latar belakang yang sesuai; syukurlah, lamaran saya direspon cepat.
Bagi banyak orang, menghabiskan waktu dua dasawarsa lebih untuk bekerja di perusahaan yang sama boleh jadi membosankan. Namun, tidak demikian yang saya rasakan. Hari demi hari, Ancol seperti terus menantang kami, para karyawan, untuk terus berinovasi. Lima belas tahun pertama karir saya di Ancol saya habiskan di belakang meja, sebagai service corporation. Pada 2015, saya ditugaskan ke bagian operation, ujung tombak perusahaan. Secara personal, itulah momen terberat saya bekerja di Ancol. Segala yang saya buat harus menjadi profit, bagus saja tidak cukup.
Lima tahun kemudian, datanglah Covid-19. Secara kolektif, itu merupakan saat-saat terberat bagi Ancol. Pemasukan anjlok, bahkan tidak ada, tapi gaji karyawan dan berbagai biaya operasional lainnya mesti tetap dibayarkan. Halilintar dan Kora-Kora, misalnya, tetap kami hidupkan sekalipun Ancol tutup. Mesin-mesin wahana harus selalu dipanaskan, dan itu butuh solar. Olinya juga tetap harus rutin kami ganti. Lumba-lumba dan berbagai binatang lainnya yang ada di sini tetap kami beri makan sebagaimana biasanya. Jatah mereka tak bisa dipotong atau dikurangi seperti halnya gaji manajemen atas (servis & operasional) dan direksi. Selama pandemi, total kerugian kami hampir mencapai 700 miliar rupiah.
Bagi bisnis yang keuntungannya didapat dari aktivitas mendatangkan orang, pandemi Covid-19 benar-benar bikin babak belur. Hal semacam ini tidak pernah kami bayangkan bakal menimpa Ancol, destinasi wisata yang sudah eksis sejak tahun 1960-an.
Awal tahun 2000-an, Bali pernah sepi lantaran aksi terorisme. Beberapa kasus bom di Jakarta sama sekali tidak berpengaruh terhadap keramaian Ancol. Demikian pula pada 1998. Alih-alih sepi, Ancol justru penuh didatangi lebih banyak orang karena dianggap sebagai salah satu tempat wisata yang aman.
Lepas dari urusan keamanan, kelebihan Ancol adalah segmentasinya luas dan pilihan atraksinya sangat beragam. Sampai saat ini, Ancol masih menjadi tempat wisata dengan integrated recreation area paling lengkap di Indonesia. Sebagai ilustrasi, orang-orang bisa datang ke Ancol sejak jam enam pagi, main di pantai. Aktivitas menikmati pantai adalah pilihan paling tepat bagi wisatawan yang datang ke Ancol pagi-pagi sekali. Atlantis Ancol baru buka pukul delapan. Sea World Ancol pukul sembilan, disusul Dufan Ancol satu jam kemudian. Di sore hari, meski sebagian wisatawan rombongan mulai pulang, wisatawan individu justru mulai berdatangan. Mereka sengaja mengunjungi Ancol baik untuk menikmati sunset ataupun kulineran di berbagai restoran yang ada di Ancol. Sebagian pengunjung malah datang ke Ancol sekadar buat menginap.
Selain wahana hiburan, Ancol juga punya sejumlah atraksi yang erat kaitannya dengan kerja-kerja konservasi atau pelestarian lingkungan. Pada November 2022, kami meresmikan Jakarta Bird Land, salah satu aviary terbesar di Indonesia. Atraksi yang bisa dilakukan wisatawan di sini, di samping memberi makan burung, adalah pengamatan burung yang biasanya diselenggarakan bersama Jakarta Birdwatcher. Secara berkelanjutan, program ini dilakukan untuk terus memantau jumlah spesies yang berkembang biak di kawasan Ancol, sehingga Ancol dapat terus meningkatkan kualitas ruang hijau yang dimilikinya agar tetap menjadi habitat yang cocok untuk berbagai jenis burung.
Dengan kondisi seperti itu, wajar bila sampai saat ini kami masih terus mengoptimalkan pendapatan dari kunjungan wisatawan. Sebagai pembanding, keuntungan Disneyland di Amerika kurang-lebih hanya 30-40 persen yang didapat dari ticketing wahana rekreasi. Sebagian besar keuntungan Disney didapat dari IP (Intellectual Property), merchandise, film, dan produk bisnis lainnya yang bisa dinikmati orang tanpa perlu mengunjungi Disney secara langsung. Ancol berbeda. Keuntungan terbesar kami masih didapat dari ticketing.
Sebisa mungkin kami juga ingin semua wahana yang ada di Ancol bisa diakses oleh semua orang Indonesia dari berbagai usia. Apalagi, bagi anak-anak zaman sekarang, tiket masuk Ancol dan berbagai tiket terusan di dalamnya terbilang lebih terjangkau, bukan? Beda dengan zaman saya kanak-kanak dulu. Untuk lebih mendekatkan Ancol kepada publik, selama bulan puasa kemarin, kami sengaja membuat kebijakan gratis masuk Ancol di jam ngabuburit.
Tentang Masa Depan dan Tiga Pilar Utama Keberlanjutan Ancol
Komitmen Ancol terhadap pariwisata berkelanjutan bukanlah perkara baru; kami sudah melakukannya sejak dahulu. Bahkan pendirian Ancol pada 1966 dilandasi oleh semangat keberlanjutan itu. Sebelum menjadi kawasan wisata terpadu seperti sekarang, Ancol adalah area rawa-rawa yang notabene merupakan sarang nyamuk malaria.
Ada banyak hal yang sudah Ancol lakukan untuk mewujudkan aktivitas pariwisata berkelanjutan. Membuka Jakarta Bird Land sebagaimana saya sebutkan di atas adalah salah satu contoh, di samping mengubah lapangan golf menjadi kawasan Ecopark—contoh lainnya.
Meski sudah beroperasi sejak paruh kedua tahun 1960-an, baru pada pada 1992 Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol yang ditunjuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berganti nama menjadi PT Pembangunan Jaya Ancol. Tahun ini, pada perayaan ulang tahun Ancol yang ke-31, Ancol menegaskan komitmennya terhadap kehidupan berkelanjutan dengan meluncurkan Tentang Masa Depan, campaign utama program "Sustainability in Action 2023". Campaign ini menjadikan bidang lingkungan, sosial, dan ekonomi sebagai tiga pilar utama keberlanjutan Ancol.
Dalam konteks lingkungan, sebagaimana impian banyak orang, Ancol juga ingin berkontribusi dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk hari ini dan masa depan. Hal itu dilakukan Ancol dengan menerapkan berbagai kebijakan, mulai dari nol styrofoam sebagai wadah makan, Sea Water Reverse Osmosis, konservasi, hingga restorasi kerang hijau, dan lain-lain.
Sejak 2018, Ancol melakukan restorasi kerang hijau (Perna viridis) untuk mengurangi polutan di kawasan Teluk Jakarta. Pada 2018, temuan LIPI menyebutkan ada 21 ton sampah per hari yang mengalir masuk ke Teluk Jakarta lewat 13 sungai yang bermuara ke sana. Bertolak dari situasi semacam itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan Ancol adalah restorasi kerang hijau. Untuk diketahui, satu kilogram kerang hijau punya kemampuan membersihkan sepuluh liter air laut dalam waktu satu jam. Dua bulan setelah program restorasi kerang hijau dilakukan, hasilnya langsung kelihatan. Beberapa biota laut seperti ikan buntal, Golden trevally, ketang-ketang hingga bulu babi tampak tumbuh subur di area restorasi.
Adapun untuk bidang sosial, salah satu program yang sudah konsisten dilakukan Ancol sejak 2004 adalah menyelenggarakan Sekolah Rakyat Ancol, setingkat SMP, untuk warga sekitar yang kesulitan mengakses pendidikan. Secara kurikulum, Sekolah Rakyat Ancol menginduk kepada SMP Negeri 95 Jakarta Utara. Saban tahun, rata-rata ada 30-40 siswa dari kawasan sekitar Pademangan masuk Sekolah Rakyat Ancol. Adapun jumlah alumninya sampai saat ini mencapai 578 orang.
Program Sekolah Rakyat Ancol terselenggara atas kerjasama dengan banyak pihak, salah satunya adalah Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia. Operasional Sekolah Rakyat Ancol dilakukan oleh guru-guru dengan kreativitas dan jiwa sosial yang sangat tinggi. Selepas lulus, para alumni Sekolah Rakyat Ancol terus dipantau keberlanjutan pendidikannya. Ancol membuka peluang kolaborasi dan donasi seluas mungkin baik bagi individu, perusahaan, maupun komunitas untuk ambil bagian meningkatkan kualitas Sekolah Rakyat Ancol ini. Beberapa pihak yang pernah berkolaborasi lewat program ini antara lain Benihbaik dan Kitabisa.
Sementara untuk bidang ekonomi, komitmen yang terus dilakukan Ancol adalah memberdayakan masyarakat sekitar, baik dengan memprioritaskan mereka sebagai tenaga kerja (penyerapan SDM), maupun melibatkan UMKM-UMKM sekitar untuk berjualan di kawasan Ancol. Dengan upaya begini, Ancol berharap dapat berkontribusi langsung terhadap peningkatan kualitas ekonomi masyarakat sekitar.
Singkatnya, lewat tiga pilar lingkungan, sosial, dan ekonomi di atas, Ancol menegaskan komitmennya untuk menjadi kawasan wisata terpadu yang berkelanjutan. Campaign “Tentang Masa Depan” diluncurkan sebab semua aktivitas dan kebijakan yang dilakukan Ancol benar-benar ditujukan untuk membentuk kehidupan berkelanjutan hari ini dan masa depan.
Jika pada gelaran HUT DKI Jakarta 2023 lalu Ancol menerapkan kebijakan gratis tiket masuk, pada perayaan ulang tahun Ancol kali ini kami menggratiskan tiket masuk kendaraan listrik, baik motor maupun mobil listrik. Ini juga merupakan dukungan nyata dari kami kepada pihak-pihak yang sama-sama punya komitmen mewujudkan kerja-kerja keberlanjutan.
Artikel ini adalah hasil kerjasama dengan Ancol
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis