Menuju konten utama

Tax Amnesty, Pengampunan yang Tak Boleh Setengah Hati

Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengampunan Nasional atau pengampunan pajak (tax amnesty) akhirnya akan masuk pembahasan rapat paripurna DPR-RI. Persoalan krusial dalam RUU yang gagal disepakati tahun lalu ini satu per satu sudah mencapai titik temu antara pemerintah dan DPR. Tax amnesty ini jadi taruhan pemerintah dan legislatif. Bagaimana bila tak efektif?

Tax Amnesty, Pengampunan yang Tak Boleh Setengah Hati
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bersama Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiasteadi (kedua kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR mengenai RUU Pengampunan Pajak di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - “Find Us Before We Find You.” Tagline iklan video ini dikeluarkan oleh negara bagian Pennsylvania Amerika Serikat (AS) 2010 lalu. Dalam video itu digambarkan bagaimana pemerintah bisa melacak kekayaan wajib pajak, yang diilustrasikan dalam sebuah monitor berteknologi satelit.

Iklan tax amnesty di Pennsylvania masih sangat relevan dan mengena dengan kondisi saat ini, termasuk di Indonesia. Indonesia kini selangkah lagi punya payung hukum pengampunan pajak yang sudah bertahun-tahun jadi wacana lintas pemerintah. Keputusan besar itu akan ditentukan Selasa (28/6/2016). Tax amnesty mau tak mau memang harus berlaku tahun ini. Kenapa?

Kebijakan keterbukaan informasi perpajakan dan perbankan secara internasional akan berlaku 2018. Sistem yang bernama automatic exchange of information (AEOI) diyakini menjadi “mata” bagi banyak negara. Sistem ini memungkinkan pertukaran data perbankan serta pajak antarnegara, terutama soal aset wajib pajak para warga negara mereka yang disembunyikan di luar negeri.

"Jika sudah diterapkan, tidak ada satu pun negara di dunia yang bisa mengelabui sistem ini," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dikutip dari Antara.

Bagi pemerintah, lolosnya RUU tax amnesty ini memberikan kelegaan. UU ini akan menjadi salah satu jurus andalan pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak tahun ini, selain ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.

Menambal APBN

Target penerimaan pajak pemerintah memang cukup ambisius. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mematok penerimaan pajak sebesar Rp1.360 triliun pada APBN 2016. Angka itu meningkat 28 persen dibandingkan realisasi APBN-P 2015 yang sebesar Rp1.055 triliun. Target pajak ini sudah memperhitungkan lolosnya RUU tax amnesty.

Sayangnya, capaian pajak cukup terseok-seok di awal tahun. Realisasi penerimaan pajak di triwulan I-2016 sudah terlihat lampu merah, penerimaan hanya Rp199,4 triliun atau lebih rendah Rp4 triliun dari tahun sebelumnya, hanya 14,6 persen dari target.

Pemerintah tentu tidak tenang dengan realisasi itu. Tanpa terobosan, kekurangan penerimaan pajak akan tembus Rp290 triliun. Ini tentu saja merupakan sebuah angka yang sangat besar untuk bisa ditambal dengan skenario apapun.

Tax amnesty diharapkan bisa mendorong kenaikan penerimaan pajak. Secara hitung-hitungan di atas kertas, UU tax amnesty akan menambah penerimaan pajak sebesar Rp180 triliun. Namun, ini masih sebatas hitungan kasar. Realisasinya akan sangat tergantung pada efektivitas UU baru itu nanti.

Menkeu Bambang mengatakan potensi penerimaan tersebut dihitung berdasarkan asumsi rata-rata tarif tebusan sebesar 4 persen untuk deklarasi dari harta-harta wajib pajak di luar negeri dan 2 persen dari harta-harta wajib pajak di dalam negeri.

"Empat persen kali target kita sekitar katakan Rp3.500-4.000 triliun deklarasi saja luar negeri udah dapat Rp160 triliun ditambah dua persen kali repatriasi dan deklarasi dalam negeri kita anggap kita tergatkan Rp1.000 triliun itu sudah dapat Rp20 triliun. Jadi ada sekitar Rp180 triliun," ujar Bambang dikutip dari Antara

Menkeu Bambang rupanya cukup sadar terhadap risiko hitung-hitungan penerimaan baru dari tax amnesty jika nantinya meleset. Ia memilih menetapkan angka yang konservatif untuk kontribusi UU tax amnesty nanti dalam penerimaan pajak di APBN-P 2016. Jumlahnya hanya sekitar Rp165 triliun.

“(Nilai) Itu memang asumsi, jadi bisa lebih, bisa juga kurang. Target namanya. Nanti kita lihat perkembangannya saja," kata Wapres Jusuf Kalla dikutip dari Antara.

Mengukur Tax Amnesty

Berdasarkan aturan pajak di Indonesia, setiap wajib pajak harus menyetor pajak dari setiap tambahan kemampuan ekonomis atau kekayaan yang mereka peroleh dari dalam maupun luar negeri, kekayaaan bergerak atau tak bergerak, salah satunya dengan instrumen Pajak Penghasilan (PPh). Masalahnya, dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak, tak semua wajib pajak mau melaporkan harta mereka, termasuk yang di luar negeri. Artinya ada potensi PPh dan pajak lainnya yang tak berhasil ditangkap negara.

Jumlah pasti kekayaan orang Indonesia yang diparkir di luar negeri memang sulit melacaknya. Pemerintah hanya berasumsi jumlahnya mencapai Rp3.500-4000 triliun. Beberapa pihak ada yang menghitung sekitar Rp5.000 triliun. Kekayaan orang Indonesia di luar negeri diperkirakan tak semuanya dalam bentuk tunai, sebagian dalam bentuk aset tetap seperti properti, hingga dalam bentuk saham.

"Saya kira dana itu bisa balik, tapi tidak semuanya dalam bentuk cash, paling dalam bentuk cash hanya Rp 5.000 triliun, sisanya bisa lewat saham atau dalam bentuk aset," kata Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronni Bako dikutip dari Antara.

Menurutnya, tax amnesty cukup efektif sampai saat ini untuk mengembalikan dana yang berada di luar negeri. Ia mencontohkan keberhasilan Afrika Selatan. Negara-negara Italia, Portugal, Argentina, Yunani, dan Belgia juga melakukannya dan berhasil.

"Jadi sebagai suatu kebijakan tidak ada yang salah," kata pengamat pajak dari Universitas Indonesia Darussalam.

Tax amnesty untuk jangka pendek memang diyakini akan menambah pundi-pundi keuangan negara. Penghapusan utang pokok pajak, sanksi administrasi, bahkan pidana pajak atas ketidakpatuhan wajib pajak di masa lalu, memang seolah cukup menarik. Namun, itu semua masih di atas kertas, butuh pembuktian diterapkan di Indonesia.

Bukan Tanpa Risiko

Pemerintah maupun kalangan pengamat memang boleh percaya diri dengan rencana kebijakan baru ini. Namun tetap saja ada risiko. Bagaimana bila tak laku? Atau tak direspons para wajib pajak lalai.

Persoalan ini memang menjadi tanda tanya besar.

Masalah yang krusial adalah soal tarif tebusan tax amnesty, karena akan menentukan daya tarik para wajib pajak lalai untuk mengajukan pengampunan ke pemerintah. Dalam laman presidenri.go.id disebutkan tarif tebusan bagi permohonan tiga bulan pertama sejak UU disahkan, hanya dikenai 2 persen dari selisih nilai harta bersih yang dimohonkan tax amnesty dengan nilai harta bersih dalam SPT tahunan 2014 yang menjadi basis pengurang.

Sedangkan untuk permohonan tiga bulan kedua sejak UU disahkan, akan dikenai 4 persen dari selisih nilai harta bersih yang dimohonkan tax amnesty dengan nilai harta bersih dalam SPT tahun 2014 yang menjadi basis pengurang. Sedangkan untuk permohonan pada semester kedua sejak UU disahkan, akan dikenai 6 persen dari selisih nilai harta bersih yang dimohonkan tax amnesty.

Untuk repatriasi dana dari luar negeri, RUU tax amnesty memberikan insentif bagi mereka yang mengajukan permohonan paling cepat. Permohonan tiga bulan pertama sejak UU disahkan, tarif tebusan hanya dikenakan sebesar 1 persen. Permohonan tiga bulan kedua sejak UU disahkan, tarif tebusan menjadi 2 persen. Sedangkan untuk permohonan semester kedua sejak UU disahkan, tarif tebusan bertambah menjadi 3 persen. Dalam jumlah ratusan triliun rupiah, perbedaan persentase tersebut tentu sangat signifikan nilai nominalnya.

"Bila tebusan terlalu tinggi, bisa dipastikan tidak akan laku oleh para investor dan penanam modal," kata Ronni Bako dikutip dari Antara.

Sebelumnya, beberapa fraksi mengusulkan tarif tebusan repatriasi yang tinggi, misalnya Nasdem mengusulkan 5-6 persen, Gerindra 6,7,8 persen, PAN 9 -11 persen, PPP 5-7,5 persen, PKS 17 persen, Demokrat sesuai KUP, Hanura 5- 9 persen dan PDI 5-7 persen.

Kuncinya kini ada di tangan DPR dan pemerintah dalam menetapkan angka-angka krusial tadi. Intinya apakah mau melakukan pengampunan total meski menyakitkan bagi wajib pajak lainnya, atau memberikan pengampunan setengah hati dengan risiko kebijakan ini tak diminati.

Kebijakan tax amnesty memang kebijakan sesaat hanya beberapa bulan saja. Namun dampaknya tak hanya jangka pendek untuk menambal kas negara, tapi jangka panjang sebagai sarana perbaikan perpajakan, hingga penambahan wajib pajak baru dan objek pajak baru di masa mendatang. Ujung-ujungnya bisa menambah penerimaan negara di kemudian hari.

Sudah sepantasnya publik berharap kebijakan tax amnesty 2016 yang terakhir kalinya di Indonesia. Jangan sampai ada harapan lagi bagi para wajib pajak nakal bisa mendapatkan ampunan di kemudian hari. Cukup sekali saja. Semoga.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti