tirto.id - Sekolah di asrama bukan hal baru di Indonesia. Ketika sekolah tak bisa diakses, sekolah berasrama sudah bermacam-macam di zaman kolonial. Di era sebelumnya, pesantren sudah banyak di Indonesia. Pesantren mengacu pada sekumpulan orang yang berguru pada seseorang dalam sebuah lingkungan. Sistem pesantren ini adalah pengaruh dari tradisi Hindu. Di India, ia disebut ashram, dan dalam lidah Indonesia menjadi asrama.
Sekolah tinggi penghasil birokrat dan teknokrat, karena hanya ada di kota-kota besar, mau tidak mau juga memberikan fasilitas asrama kepada para siswa. Di Betawi, ada sekolah dokter Jawa, School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA). Di Magelang, Bandung dan Probolinggo ada Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) yang mencetak pegawai pangrehpraja.
Sekolah ini sempat disebut Hoofdenschool (sekolah raja). Selain di tiga kota itu, setelah tahun 1900 sekolah ini ada di Serang, Madiun, dan Blitar, lalu Bukittinggi. Untuk mencetak guru, Kweekschool kemudian didirikan di beberapa kota seperti Ambon, Bukittinggi, Tondano, Banjarmasin, juga Probolinggo.
Jauh dari rumah, berpotensi membuat anak lebih dewasa. Apalagi jika tinggal di asrama dengan seperangkat aturan ketat. Banyak orang besar Republik ini pun pernah merasakan sekolah berasrama. Lihatlah misalnya Mantan Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution waktu sekolah guru tinggi di Bandung atau Pahlawan Nasional HOS Cokroaminoto yang lulusan OSVIA.
Sekolah-sekolah yang dienyam Nasution atau Cokroaminoto itu masih tergolong sekolah yang hanya menjamah kelas priyayi atau menengah pedagang. Ia bukan untuk orang miskin. Selain berpotensi jadi orang yang penghidupannya bagus, daya tarik sebagian sekolah berasrama adalah makan gratis. Di daerah Keresidenan Kedu—Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya, banyak anak masuk sekolah berasrama di Muntilan. Misalnya di sekolah Yesuit yang didirikan van Lith.
I.J. Kasimo, menurut Gerry van Klinken dalam 5 Penggerak Bangsa Yang Terlupakan (2010), menurut ukuran orang-orang Eropa adalah orang miskin. Ayahnya hanya prajurit Keraton. Dari sekolah itulah Kasimo menjadi Katolik, karena tertarik melihat kebaikan dari siswa-siswa Kolese Xaverius, sekolahnya, yang beragama Katolik .
Tak hanya Kasimo, yang mengalami sekolah Katolik berasrama dan lalu jadi Katolik, adalah Soegijapranata—yang belakangan jadi Uskup Indonesia pertama. Soegijapranata adalah kakak kelas Kasimo.
Setelah Indonesia Merdeka, didirikan beberapa sekolah kejuruan seperti Sekolah Pendidikan Guru, yang tak jauh beda dari Kweekschool (sekolah guru) era kolonial. Para siswa diasramakan.
Sekolah calon pangrehpraja termutakhir, Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), yang karena kasus penganiayaan berubah menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), tak jauh beda dengan OSVIA. Sama-sama berasrama. Sekolah Menengah Umum (SMA), dari zaman kolonial ke zaman Indonesia merdeka tak berubah juga. Tak ada asrama. Mereka yang berasal dari luar kota biasanya indekost.
Di Magelang, yang sejak zaman kolonial pernah ada OSVIA dan Kweekschhol yang berasrama ini, kembali dikenal sebagai kota asrama. Tak hanya tentara yang diasramakan, tapi juga calon perwira yang diasramakan, yakni taruna Akademi Militer (dulu Akabri Darat).
Bahkan sebuah SMA paling mentereng dengan konsep asrama, bernama Taruna Nusantara, berdiri juga di Magelang. Tentu saja, Taruna Nusantara bukan sekolah berasrama pertama di Magelang. Sebab, sekolah Kasimo dan Soegijapranata, Kolese Xaverius, sudah seabad lebih disana.
Menurut buku Demokrasi, antara Represi dan Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia (1993) karya Mulyana W Kusumah, “Ide mendirikan SMA yang berdisiplin militer ini datang dari bekas Panglima ABRI Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani.” Ketika mengatakannya Moerdani alias Benny mengucapkannya di Pendapa Agung Taman Siswa, Yogyakarta pada 20 Mei 1985.
Meski Benny yang punya ide kemudian tak jadi pejabat lagi, ide sekolah itu berjalan terus dan sekolahnya diresmikan pengganti dan sahabat Benny juga, Jenderal Try Sutrisno, pada 14 Juli 1990. Semula sekolah ini hanya menerima siswa putra, tapi pada 1996 diterima pula siswa putri. Sekolah yang semula gratis ini pun dihantam krisis ekonomi 1997, hingga beasiswa penuhnya harus ditanggung pihak lain seperti pemerintah daerah atau perusahaan. Bahkan, belakangan ada siswa berbayar non-beasiswa.
Tak hanya Jenderal Benny saja yang punya ide semacam ini. Belakangan, purnawirawan Letnan Jenderal Tiopan Bernard Silalahi juga punya. Dia tak membangunnya di Jawa. Bersama Yayasan Soposurung, sekolah yang sudah ada SMA Negeri 2 Balige ini kemudian diberi fasilitas asrama juga. Usia sekolah terpaut satu tahun lebih muda dengan dengan SMA Taruna Nusantara Magelang.
Setelahnya, sekolah berasrama yang menerima anak-anak pintar bermunculan, baik oleh pemerintah daerah maupun swasta. Tak hanya mendirikan sekolahnya, tapi juga menyediakan beasiswa untuk para siswanya. Contohnya cukup banyak. Bahkan siswa dari keluarga tidak mampu diprioritaskan. Misalkan SMAN Sumsel, yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dengan Sampoerna Foundation salah satunya.
Perusahaan-perusahaan nasional ikut menjadi donornya. Contoh sekolah dengan asrama yang tidak didukung uang oleh pemerintah atau swasta alias bayar sendiri juga banyak sekali bertebaran.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani