Menuju konten utama
Jelang Debat II Pilpres 2019

Tantangan Jokowi dan Prabowo Atasi Ancaman Krisis Minyak Nasional

Kedua paslon diharapkan bisa memberikan solusi konkret terhadap produksi minyak Indonesia yang terus menurun.

Tantangan Jokowi dan Prabowo Atasi Ancaman Krisis Minyak Nasional
Sesi pertama debat pilpres 2019 di hotel bidakara. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Produksi minyak Indonesia diperkirakan terus menurun. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden dituntut memberikan solusi konkret mengatasi ancaman krisis minyak ini dalam debat Pilpres 2019.

Debat jilid II yang akan digelar pada 17 Februari 2019 antara calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto ini akan mengangkat tema seputar energi, pangan, sumber daya alam, infrastruktur, dan lingkungan hidup.

Bahasan soal minyak menjadi penting karena berdasarkan laporan SKK Migas cadangan kondensat Indonesia pada 2017 turun 4 persen dari 2016 yang tercatat 3,31 miliar barel. Kementerian ESDM pun memperkirakan lifting minyak hanya sekitar 775-800 ribu barel per hari (bph), padahal konsumsi energi fosil ini terus meningkat.

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2018, konsumsi minyak dalam negeri meningkat tajam, dari 1,56 juta barel per hari (bph) pada 2015 menjadi 1,65 juta bph pada 2017. Sementara produksi minyak dalam negeri berdasarkan data SKK Migas, tercatat hanya 786 ribu bph pada 2015 menjadi 801 rubu bph di tahun 2017.

Insitute for Essential Services and Reform (IESR) memperkirakan angka itu akan terus menyusut menjadi 700 ribu bph pada 2020. Kemudian angka itu akan terus menurun hingga 600 ribu bph pada 2022.

Sekjen Asosiasi Daerah Penghasil Migas Indonesia, Andang Bachtiar tidak heran dengan perkiraan penurunan angka tersebut. Sebab, volume penemuan cadangan baru dari eksplorasi memang lebih sedikit dari jumlah cadangan yang diproduksi dalam kurun waktu tertentu.

Dengan kata lain, kata mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini, Reserve Replacement Ratio (RRR) Indonesia berada di angka <100 persen.

Menurut Andang, hal itu disebabkan banyaknya sumur minyak yang telah uzur. Pada kondisi itu, Andang memastikan produksi akan menurun sekitar 10-20% per tahun tergantung dari jenis dan karakter reservoirnya.

Eksplorasi yang dilakukan juga tak mampu menemukan sumur baru yang siap produksi dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun mendatang. Sebab, selain membutuhkan waktu yang lama, eksplorasi untuk mendapatkan cadangan minyak baru memiliki tingkat keberhasilan cukup rendah yaitu 10-30%.

"Jadi penurunan cadangan dan produksi 2016-2018 kemarin diakibatkan oleh gagalnya eksplorasi di kurun 2010-2013," ucap Andang saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (13/2/2019).

Upaya Menahan Penurunan Produksi

Di samping eksplorasi, pemerintah dapat mengoptimalkan cadangan minyak dan pemulihan sekunder dari sumur minyak yang sudah ada dengan teknik enhanced oil recovery (EOR). Menurut Andang, cara itu terbukti dapat menahan penurunan produksi hingga 10 persen.

Hanya saja, kata Andang, EOR membutuhkan investasi yang cukup besar sekaligus waktu pengerjaan yang lama. Langkah ini juga tidak mendapat dukungan pemerintah baik dalam prioritas investasi dan insentif.

Karena itu, Andang menilai masih banyak pekerjaan rumah pemerintah ke depan untuk mempermudah proses investasi, pelaksanaan eksplorasi hingga eksploitasi migas di Indonesia.

"Oleh karena itu tidak heran bila tak ada satu pun pengelola migas besar setara ex seven sister yang meminati blok eksplorasi Indonesia 2 tahun terakhir," ucap mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini.

Andang mengingatkan jika presiden terpilih tidak mampu mengatasi masalah ini, maka impor minyak Indonesia akan terus memburuk. Jumlah impor diperkirakan membengkak hingga enam kali lipat pada 2050.

"Indonesia sudah jadi net importir minyak bumi sejak 2004 dan terus akan impor minyak bumi 2-3 kali lipat produksi nasional di 2025. Bahkan 5-6 kali lipat produksi minyak domestik di 2050," ujarnya.

Penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menuturkan agar upaya eksplorasi tak terus ngos-ngosan mengejar produksi, diversifikasi energi bisa jadi alternatif lain yang perlu digenjot. Terutama penggunaan biofuel atau Energi Baru Terbarukan (EBT) lainnya.

Namun, kata Komaidi, BBM jenis fosil belum tentu dapat digantikan sepenuhnya. Sebab, saat ini biaya produksi penggunaan energi alternatif seperti biofuel belum ekonomis sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan sesuai rencana bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

"Kita tidak bisa sepenuhnya meninggalkan energi fosil. Tentu yang dinilai apakah produsen yang dikorbankan keuntungannya atau daya beli konsumen yang dikorbankan," kata Komaidi.

Pemerintah sebetulnya diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 untuk mengelola sumber daya alam secara serius. Menurut dia, realisasinya dengan cara mengutamakan Pertamina dalam pengelolaannya, terlepas aspek bisnis yang perlu dipertimbangkan.

"Regulasi memang mengharuskan Pertamina yang didahulukan [dalam mengelola blok migas]. Kalau beda dengan regulasi, ya salah penerapannya itu," ucap Komaidi.

Lalu bagaimana dengan rencana yang akan diusung kedua paslon dalam Pilpres 2019?

Dalam dokumen Visi Misi Jokowi-Ma’ruf, terutama di bidang energi, paslon nomor urut 01 ini berjanji untuk meneruskan program peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil secara efisien.

Sementara dalam dokumen Visi Misi Prabowo-Sandi memiliki pendekatan lain. Mereka cenderung memilih menjauhi minyak bumi lewat konversi BBM ke gas dan mendorong Indonesia sebagai produsen bahan bakar nabati terbesar di dunia.

Namun, rencana untuk mengatasi persoalan produksi energi fosil seperti minyak bumi belum terlihat dalam program dan visi misi pasangan Prabowo-Sandiaga.

Reporter Tirto menghubungi anggota juru debat BPN, Ramson Siagian dan juru bicara TKN Arif Budimanta. Namun, mereka belum mau menjelaskan secara detail soal program ketahanan energi, khususnya minyak bumi yang separuh lebih dari kebutuhan konsumsi didapat dari impor.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan