tirto.id - Front Pembela Islam (FPI) hingga kini belum mendapat perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai organisasi kemasyarakatan dari Kementerian Dalam Negeri. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI yang menyinggung soal khilafah nubuwwah disinyalir menjadi pengganjal dikeluarkannya SKT tersebut.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta FPI agar mendeklarasikan diri dan mengakui Pancasila sebagai ideologi. Ia menegaskan pemerintah menutup pintu dialog dengan FPI untuk membahas hal tersebut.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga mengatakan Presiden Joko Widodo menolak berkompromi terkait perpanjangan izin FPI jika dinilai membahayakan negara. Ia mengatakan seluruh organisasi kemasyarakatan di Indonesia mesti sejalan dengan ideologi negara.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri telah membentuk tim dari lintas kementerian/lembaga untuk mengevaluasi AD/ART FPI. Sekjen Kemendagri Hadi Prabowo mengatakan evaluasi ini diperlukan guna mengetahui apakah FPI sejalan dengan Pancasila atau tidak.
"Kami akan melihat sepak terjang ormas [FPI]. Apakah menyimpang, apakah tidak. Ini akan dievaluasi terus. Apakah bermanfaat terhadap masyarakat, apa malah membikin suatu hal yang bertentangan," jelas Hadi seperti diberitakan Antara, Jumat (2/8/2019).
Mananggapi itu, Ketua Bantuan Hukum FPI, Sugito Atmo Prawiro mengatakan pemerintah seolah-olah mewajibkan FPI untuk mencantumkan Pancasila dalam AD/ART. Ia menilai hal itu tidak perlu lantaran FPI sudah melampirkan surat pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila dalam pengajuan perpanjangan SKT.
"Jika dalam AD/ART tidak ada, ada surat pernyataan mengenai kesanggupan menaati dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kalau itu harus dimasukkan ke dalam AD/ART, harus dicek lagi, ketentuan yang mana mengatur hal itu," kata Sugito saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (7/8/2019).
Sugito berpendapat surat pernyataan itu sudah mewakili FPI meski belum mencantumkan Pancasila dalam AD/ART. "Tapi kami mengakui Pancasila dan itu tidak bertentangan dengan visi dan misi perjuangan FPI, apalagi sila pertama," ujarnya.
SKT FPI sebagai ormas habis pada 20 Juni lalu. FPI kemudian mengajukan perpanjangan SKT ke Kemendagri. Namun berkas FPI dikebalikan oleh Kemendagri lantaran belum mendapat surat rekomendasi dari Kemenag.
"Kalau ada kekurangan, tolong buatkan secara resmi. Bila kekurangan itu menyangkut internal FPI, kalau rekomendasi itu dari eksternal. Itu ranah Kementerian Agama, sudah kami ajukan ke mereka," kata Sugito.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah ketika ormas tidak mencantumkan Pancasila dalam AD/ART otomatis menjadi terlarang atau bertentangan dengan negara?
Awasi Kegiatannya, Bukan Administrasi
Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira mengatakan suatu ormas tidak bisa dikatakan terlarang hanya karena tidak mencantumkan Pancasila dalam AD/ART. Menurut dia, pemerintah dapat melihat apakah suatu ormas bertentangan dengan Pancasila atau tidak dari program-programnya.
"Itu lebih kepada perbuatan, daripada hanya mencantumkan [Pancasila dalam AD/ART] tapi kelakuan tidak mencerminkan Pancasila. Jadi terjebak dalam formalitas, bukan realitas," kata Indra saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (7/8/2019).
Menurut Indra, pihak yang menjalankan Pancasila terlebih dahulu ada pemerintah itu sendiri. Hal itu ia sampaikan menyinggung maraknya koruspi di kementerian/lembaga pemerintahan.
"Tunjukkan kalau mereka melaksanakan Pancasila, masyarakat akan bingung mana yang Pancasilais atau tidak. Apakah koruptor itu Pancasilais?" ujarnya.
Indra menilai pemerintah seperti paranoid melihat kecenderungan berkembangnya paham lain yang mengancam Pancasila, seperti komunisme, marxisme, leninisme, maupun radikalisme.
"Kalau ormas mencantumkan Pancasila, dijamin tidak [berbuat sesuai nilai Pancasila]? Fungsi pengawasan itu di pemerintah, ormas manapun dibina dan diawasi pemerintah. Jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan Pancasila, bisa diperingatkan," jelas Indra.
Namun, Indra mengatakan pemerintah tak bisa sewenang-wenang menyatakan suatu ormas bertentangan dengan Pancasila. Menurut dia perlu ada pembuktian di pengadilan apakah kegiatan suatu ormas bertentangan dengan Pancasila atau tidak.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Hifdzil Alim mengatakan dalam Undang-undang Ormas tidak ada keharusan mencantumkan Pancasila AD/ART. Ia sepakat dengan Indra bahwa yang perlu diawasi adalah kegiatan ormasnya, bukan soal administrasi.
Dalam pasal 59 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan [PDF], menyebutkan: ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Hifdzil mengatakan pemerintah dalam menegakkan suatu aturan tidak boleh bertentangan dengan hak warga negara, salah satunya hak berserikat dan berkumpul. Di sisi lain, ormas juga tidak boleh melakukan kegiatan yang melanggar hak orang lain.
"Berorganisasi ialah hak konstitusional warga negara, tapi berorganisasi yang meresahkan itu melanggar hak warga negara. Salah satu perlindungan ialah melalui pengaturan ormas," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (7/8/2019).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan