Menuju konten utama

Tahap Demi Tahap Khofifah Bertarung di Pilgub Jatim

Seperti apa rekam jejak Khofifah dalam dunia politik nasional dan Jawa Timur?

Tahap Demi Tahap Khofifah Bertarung di Pilgub Jatim
menteri sosial khofifah indar parawansa. antara foto/puspa perwitasari

tirto.id - Bursa kandidat Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) 2018 kembali memanas. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Jawa Timur mengabarkan utusan Khofifah Indar Parawansa mengambil formulir pendaftaran bakal calon gubernur Jatim melalui partai tersebut.

"Beberapa jam menjelang penutupan pendaftaran, Sabtu (30/9) malam, ada utusan Bu Khofifah yang mengambil formulir maju sebagai bacagub (bakal calon gubernur) melalui Demokrat," ujar Sekretaris DPD Partai Demokrat Jatim Renville Antonio, seperti dilansir dari Antara.

Khofifah memang punya modal politik untuk berlaga di Jatim. Berdasarkan survei yang dilakukan Poltracking Indonesia pada 19-25 Mei 2017, tingkat elektabilitas Khofifah berada di angka 19,11 persen. Survei tersebut menyatakan elektabilitas Saifullah Yusuf mencapai 32,29 persen. Sedangkan elektabilitas Tri Rismaharini sebesar 27,08 persen dan Abdullah Azwar Anas 8,47 persen.

Pada pekan ketiga dan keempat Agustus 2017 Alvara Research Center juga menggelar survei terkait Pilgub Jatim 2018. Hasilnya, elektabilitas Khofifah mencapai 31,8 persen. Angka tersebut masih di bawah pesaingnya, Syaifullah Yusuf, yang elektabilitasnya mencapai 37,2 persen. Sedangkan Tri Risma Harini memiliki tingkat elektabilitas 18 persen.

Dari Menteri ke Kepala Daerah

Manuver Khofifah di Pilgub Jatim 2018 bisa digolongkan pelan tetapi pasti. Awal Juli 2017 Khofifah menyatakan “masih check sound”. Secara tersirat, pada pertengahan tahun itu, Khofifah masih menimbang-nimbang kekuatannya di Jatim. Hal tersebut berlangsung hingga satu bulan berikutnya. Pada Agustus 2017 Khofifah menyatakan “sedang menyamakan frekuensi”.

Memasuki akhir Agustus hingga September, "penyamaan frekuensi" yang dilontarkan Khofifah mulai berbuah manis. Sebelum mendaftarkan diri sebagai bacagub Demokrat, pada 22 September 2017 Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menyatakan partainya siap mengusung Khofifah sebagai calon gubernur Jatim 2018. Empat hari kemudian, pada 26 September 2017, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem memastikan telah mengusung Khofifah sebagai calon gubernur di Pilgub Jatim 2018.

Baca juga: Sejarah Golkar, Digagas Sukarno Lalu Meninggalkannya

Putusan resmi Golkar keluar pada 2 Oktober 2017. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar Wilayah Indonesia 1, Nusron Wahid menyatakan partainya telah resmi mendukung Khofifah sebagai cagub.

"Kami dukung Khofifah. Itu final. DPP Golkar tadi sudah memutuskan dukung Khofifah," kata Nusron di sela-sela Rapat Pleno Pilkada DPP Golkar, di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta (2/10/2017).

Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jatim, fraksi Golkar memiliki 11 kursi sementara Demokrat 13 kursi. Sedangkan fraksi gabungan Nasdem dan Hanura memiliki 6 kursi. Perolehan kursi terbesar di DPRD Jatim dimiliki fraksi PKB dengan 20 kursi. Sejak Mei 2017 PKB telah mantap mengusung Saifullah Yusuf sebagai calon gubernur di Pilgub Jatim 2018.

Jejak Politik Khofifah

Salah satu momen politik yang paling diingat dari Khofifah adalah Sidang Umum MPR 1998. Saat itu, Khofifah menjadi juru bicara Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Dia dipilih sebagai perwakilan yang membacakan pandangan fraksinya atas pidato pertanggungjawaban presiden Soeharto.

Lazimnya di zaman itu, para juru bicara akan membacakan naskah pidato yang sudah mengalami pemeriksaan sebelumya oleh pihak Markas Besar TNI di Cilangkap. Namun lulusan Universitas Airlangga itu merombak pidatonya yang semula banyak memuji Orde Baru berisi kritik kepada rezim tersebut.

“Dari sedikit cuplikan pidato yang saya ikuti, FPP menggugat Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 01/Kep/Menpen/1984 tentang SIUPP yang melegalisasi pembredelan pers. FPP meminta agar model pengendalian pers dikembalikan kepada semangat UU Pokok Pers No 21/1984 yang tidak memperkenankan pembredelan,” ujar Eep Saefulloh Fatah, dalam Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokratisasi, mengenang peristiwa tersebut.

Baca juga: Mereka Tetap Jenderal Setelah Tragedi Mei 1998

Karier politik Khofifah pun beranjak. Dia diangkat menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak semasa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (1999-2001). Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurniawati Hastuti Dewi, dalam Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, mencatat orientasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) juga mengalami perubahan di era tersebut.

Semula PKK memiliki doktrin gerakan kesejahteraan keluarga dengan "istri sebagai pendamping suami". Pada masa Khofifah, doktrin berubah menjadi perempuan sebagai "partner setara laki-laki". Doktrin baru ini secara implisit mendorong perempuan menjadi peserta aktif bersama pria di berbagai bidang.

Selepas itu Khofifah aktif sebagai anggota fraksi PKB di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Sosial pada 2014.

Infografik menteri turun kasta

Andai Khofifah nanti memenuhi syarat sebagai calon gubernur dan pada akhirnya mampu menang, dia akan menambah daftar eks menteri yang menjabat kepala daerah. Sejak pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, setidaknya ada 3 mantan menteri yang akhirnya menjadi kepala daerah.

Nur Mahmudi Ismail menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia di era Kabinet Persatuan Nasional. Setelah lepas jabatan dia terpilih sebagai Wali Kota Depok. Dia menjabat dari Januari 2006 hingga Januari 2016. Jejak Nur itu diikuti oleh Syaifullah Yusuf. Laki-laki yang pernah menjabat Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kabinet Indonesia Bersatu jilid I itu saat ini menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur.

Selain itu, Anies Baswedan juga akan menjadi Gubernur DKI Jakarta per 16 Oktober 2017. Sebelumnya Anies menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016.

Seteru Dua Kader NU

Walau banyak berkecimpung di pemerintah pusat di Jakarta, baik Khofifah dan Saifullah Yusuf bukan tokoh baru dalam kontestasi pemimpin daerah Jatim. Keduanya adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang telah berkompetisi menapaki kursi kuasa Jatim sejak dua Pilgub sebelumnya.

Pada Pilgub Jatim 2008, Saifullah maju menjadi cawagub mendampingi cagub Soekarwo. Pasangan ini diusung Demokrat. Dari lima pasangan yang ada, pada putaran pertama Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) berada pada posisi teratas dengan 26,44 persen suara. Sementara pasangan Khofifah-Mudjiono (KaJi) yang diusung oleh PKB berada di posisi kedua dengan 24,82 persen suara.

Pertarungan sengit terjadi pada putaran kedua. KaJi mendapatkan suara 49,8 persen dan KarSa 50,2 persen. Selisih keduanya hanya 0,4 persen.

Baca juga: Cara Nahdlatul Ulama Menghadapi Perbedaan

Pada Pilgub Jatim 2013 keduanya kembali berhadapan. Demokrat tetap mengusung KarSa. Sementara itu PKB mengusung Khofifah sebagai cagub dan Herman Sumawiredja sebagai cawagub. Hasilnya KarSa lagi-lagi menang, bahkan kali ini satu putaran. Mereka meraup 47,25 persen suara, sementara Khofifah-Herman memperoleh 37,62 persen suara.

Dalam Dinamika Proses Kandidasi Calon Gubernur PKB Pada Pilgub Jawa Timur 2013, Revol Afkar menyebutkan pencalonan Khofifah melalui PKB tidak berjalan mulus karena PKB dianggap tidak sepenuh hati mendukung Khofifah. Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz PKB berbeda pandangan soal tokoh yang layak didukung. Dewan Tanfidz memutuskan PKB mengusung Khofifah-Herman, namun Dewan Syuro mendukung pasangan KarSa.

Kali ini situasinya berbalik. PKB menyatakan mendukung Syaifullah Yusuf, sedangkah Khofifah masih terus menggalang dukungan politik dari berbagai partai.

Baca juga artikel terkait PILGUB JATIM 2018 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS