Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Swedia vs Swiss: Agar Tak Menjadi Laga Terburuk Piala Dunia

Menanti kejutan duel tim underdog yang sama-sama belum terkalahkan di fase grup

Swedia vs Swiss: Agar Tak Menjadi Laga Terburuk Piala Dunia
Ilustrasi Swedia vs Swiss

tirto.id - Jelang laga antara Swedia vs Swiss di babak 16 besar Piala Dunia 2018 Rusia, editor rubrik sepakbola The Guardian, Marcus Christenson, melontarkan cuitan provokatif di akun Twitter miliknyanya: “@ed_aarons baru saja datang ke kantor dan mengatakan Swedia vs Swiss adalah laga terburuk sepanjang sejarah Piala Dunia. Orang macam apa yang bilang begitu?”

Ed Aaron merupakan salah satu jurnalis olahraga di Guardian. Sementara Christenson adalah orang kelahiran Swedia yang sudah tinggal di Inggris sejak 1995. Bisa jadi ia memang sebal betulan dengan pernyataan Aarons. Namun bisa saja keduanya hanya bersenda gurau belaka.

Salah satu media online di Swedia, Fotbollskanalen, melalui jurnalisnya, Joel Agberg, kemudian mewawancarai Aarons untuk meminta penjelasan terkait pernyataannya tersebut.

Alberg: “‘Pertandingan Piala Dunia terburuk? Bagaimana anda menjelaskan itu?”

Aarons, sambil tertawa, menjawab: “Oke, untuk suporter netral, laga nanti bisa dianggap agak membosankan. Lihat saja kondisi masing-masing tim. Tapi siapa yang tahu - (pertandingan antara) tim nasional biasanya bisa mengejutkan.”

Aarons setidaknya sudah mencoba jujur dan tidak berkelit dari pernyataannya sendiri. Harus diakui, terlepas dari nasionalisme kedua suporter, laga yang mempertemukan negara yang tergolong kasta kelas dua dalam sepakbola memang akan dengan mudah dipersepsikan tak menarik.

Hal tersebut diakui gelandang Swedia, Albin Ekdal, ketika menanggapi pernyataan Aarons. Dengan cuek, gelandang 28 tahun yang kini memperkuat Hamburg SV tersebut mengatakan:

“Ini bukan permainan sepakbola yang menyenangkan untuk ditonton. Jurnalis Inggris mengatakan kami membosankan, tapi siapa yang peduli? Kami tidak bisa dibandingkan dengan Perancis atau Spanyol dalam urusan skill mengolah bola, tetapi untungnya sepakbola tidak ditentukan oleh umpan tiki-taka.”

Ekdal betul. Tadi malam, tiki-taka Spanyol yang menghasilkan 1006 operan, 24 tembakan (9 mengarah ke gawang), dan 79% penguasaan bola, tidak dapat membuat mereka lolos dari babak 16 besar. Namun demikian, apakah Swedia, yang tidak bermain dengan sistem operan tik-tak sebagaimana Spanyol, dapat menang dari Swiss dan lolos ke babak perdelapan final?

Nanti dulu.

Kunci Swedia: Tidak Ada Ibrahimovic

Sebelum Piala Dunia 2018, Zlatan Ibrahimovic, dengan lagak sengak yang selama ini sudah menjadi ciri khasnya, sempat berujar: “Piala Dunia tanpa kehadiran saya bukanlah Piala Dunia.”

Ibra berhak mengklaim demikian. Terlepas dari usianya yang sudah 36 tahun, tapi kualitasnya belum terlalu menurun. Apalagi popularitasnya. Ketika hijrah ke MLS untuk bergabung ke LA Galaxy, seantero Amerika dibuat terkejut lewat iklan sehalaman penuh di bagian belakang surat kabar LA Times: “Dear Los Angeles, You’re Welcome”.

Semua orang tambah terpana setelah melihat penampilan perdana Ibra bersama LA Galaxy. Masuk ke lapangan pada menit ke-71, ia berhasil mencetak dua gol hanya dalam tempo 19 menit dan membawa LA Galaxy sukses membalikkan skor menjadi 4-3 dari tim lawan. Golnya pada menit 77 bahkan dibuat dengan cara spektakuler: tendangan voli dari jarak 36 meter!

Dengan penampilan yang masih oke, Ibra sebetulnya masih dapat berguna bagi Swedia. Namun ia telah memutuskan pensiun sejak 2016 lalu. Keputusan ini, menariknya, justru menjadi berkah bagi Swedia. Setelah bertahun-tahun ketergantungan hanya kepada pemain yang pernah memperkuat Ajax, Juventus, Inter Milan, Barcelona, AC Milan, PSG, hingga Manchester United tersebut, Swedia kini dapat bermain lebih kolektif dan tanpa beban.

Praktis kini hanya Victor Lindelof, bek United, yang dapat dikategorikan sebagai pemain “bintang” dalam skuat Swedia, jika parameter kebintangan diukur memperkuat klub besar. Selain Lindelof, ada juga Emil Forsberg yang bermain konsisten di RB Leipzig. Oleh Whoscored, Forsberg yang bermain sebanyak 39 kali dan mencetak enam gol musim lalu, terpilih menjadi bagian dalam European Team of The Season dengan rating 7,75.

Di bawah arahan Jan Olof "Janne" Andersson, Swedia bermain statis dengan formasi 4-4-2. Kolektifitas yang mengandalkan permainan efisien menjadi kunci kekuatan Swedia. Hal ini terlihat jelas ketika mereka secara mengejutkan sukses mengalahkan Meksiko dengan skor telak 3-0 di fase Grup F.

Dengan hanya menguasai bola sebanyak 33%, Swedia berhasil membuat 15 tembakan, dengan 5 yang mengarah tepat sasaran. Kendati dua gol mereka berasal dari penalti Andreas Granqvist (menit 62) dan “bunuh diri” Edson Alvares (menit 74), hal tersebut tetap menunjukkan efiensi permainan yang ditunjukkan anak asuh Andersson.

Di lini sentral pertahanan, Andersson menempatkan duet Lindelof dan Granqvist. Kedua pemain tersebut diapit Ludwig Augustinsson di sisi kiri dan Mikael Lustig di sisi kanan. Di tengah, empat pemain diisi oleh kuartet Forsberg-Ekdal-Sebastian Larsson-Viktor Claesson. Sementara di sektor penyerangan ada Ola Toivonen dan Marcus Berg.

Sisi kiri menjadi salah satu kelemahan Swedia mengingat orientasi Forsberg yang terlalu ofensif dan kerap lupa turun ke belakang untuk melapis Augustinsson. Di tengah, Swedia akan minim kreativitas jika Ekdal dikepung beberapa pemain. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Andersson memainkan bola-bola panjang langsung ke depan.

Duet Toivonen dan Berg tentunya tidak memiliki kualitas dan kharisma sebaik Ibrahimovic, tapi kedua pemain ini sudah bermain bersama di tim junior Swedia sejak usia mereka 14 tahun. Kekompakan keduanya akan menjadi kunci penyerangan Swedia dalam meraih gol. Secara pergerakan, Toivonen terhitung kerap bermain agak ke dalam untuk menjemput bola dan memberi ruang bagi Ekdal untuk maju ke depan. Salah satu cara lain Swedia dalam membongkar pertahanan lawan adalah dengan mengandalkan kecepatan Forsberg dan Claensson melakukan penetrasi ke tengah.

Sebagaimanapun membosankan dan tidak menariknya penampilan Swedia, harus diingat bahwa mereka berhasil lolos dari Grup F yang diisi Meksiko dan Jerman dengan predikat juara. Dan bukan tidak mungkin jika Swedia masih dapat membuat kejutan-kejutan lain.

Swiss: Variasi Permainan Tim Multietnis

Berdasarkan data Swiss Info, skuat Swiss kali ini termasuk yang paling tinggi diperkuat pemain keturunan (31%). Mereka antara lain keturunan dari Kosovo, Kamerun, Bosnia Herzegovina, Kroasia, Cape Verde, Spanyol-Cile, Sudan Selatan-Kongo, Pantai Gading, hingga Nigeria. Bahkan pelatih Vladimir Petkovic pun juga keturunan Bosnia.

Skuat multietnis timnas Swiss sebetulnya bukan hal baru. Sejak Piala Dunia 2014, beberapa pemain keturunan tersebut, terutama dari Balkan, telah memperkuat Swiss dan berhasil membawa negaranya mencapai babak 16 besar. Suasana multikultural pun makin terasa pada Piala Eropa 2016.

Dari 23 pemain yang membela timnas Swiss saat itu, 14 di antaranya berasal dari Kosovo, Makedonia, Bosnia, Kamerun, Pantai Gading, Turki, hingga Sudan. Dalam Piala Eropa 2016, skuat multietnis itu bahkan menorehkan sejarah: untuk pertama kalinya Swiss lolos dari fase gugur sepanjang keikutsertaan mereka di Piala Eropa. Kendati mereka akhirnya gugur setelah kalah dalam adu penalti kontra Polandia.

infografik preview swiss vs swedia

Fakta menarik lain mengenai skuat Swiss saat ini adalah mereka menjadi negara yang paling banyak diperkuat pemain dari klub asing (89,7%). 10 pemain berkutat di Bundesliga, lima di Serie A, dua di Premier League, dan lainnya tersebar di liga negara lain seperti Prancis, Kroasia, Portugal, Turki, hingga Spanyol. Sementara hanya ada satu pemain yang memperkuat klub lokal, yakni Michael Lang yang bermain untuk FC Basel.

Sebagaimana Swedia, Swiss juga menjadi salah satu tim yang belum terkalahkan di Piala Dunia 2018 sejauh ini. Di Grup E yang dihuni Brazil, Serbia, dan Costa Rica, anak asuh Petkovic tersebut berhasil meraih poin lima, hasil dari dua kali seri (Brazil 1-1, Costa Rica 2-2) dan satu kemenangan kontra Serbia 2-1.

Swiss bermain menggunakan formasi 4-2-3-1 dengan intensitas yang cukup cair di bawah arahan Petkovic. Lini tengah menjadi kunci kekuatan Swiss dengan bercokol nama-nama kawakan seperti double pivot Valon Behrami dan Granit Xhaka, serta trio Xerdan Shaqiri (LW) - Blerim Dzemaili (AM) dan Steven Zuber (RW). Sementara Haris Seferovic diplot sebagai penyerang tunggal dalam formasi ini.

Kala menyerang, Shaqiri melakoni peran sebagai second striker yang berposisi di belakang Seferovic, sebagaimana yang tampak saat Swiss mengalahkan Serbia. Ia juga dapat menjadi wide playmaker untuk mengeksploitasi sekaligus kreator peluang dari sisi sayap.

Sementara saat menghadapi lawan yang memiliki kualitas di atas mereka seperti Brasil, Swiss memainkan 4-2-3-1 dengan orientasi pada pertahanan zona. Tercatat 6 hingga 7 pemain Swiss akan bermain merapat di zona pertahanan, termasuk di kotak penalti.

Ketika bola direbut, bola akan segera diulirkan secara cepat untuk merancang serangan balik kilat. Dalam hal ini, Shaqiri akan ditempatkan sebagai pemain terdepan untuk memaksimalkan skema tersebut, sebagaimana yang terlihat dalam gol kedua Swiss saat mengalahkan Serbia.

Behrami, pemain pertama Swiss yang telah ikut serta dalam empat pagelaran Piala Dunia, sejauh ini menjadi duet yang cocok untuk Xakha. Sikap pengertian antar kedua pemain ini cukup sinergis. Ketika Xakha naik ke atas, Behrami akan bergeser menjadi DM dan berdiri sebagai benteng pertama di depan para bek yang menghalau serangan lawan sebelum memasuki zona sentral pertahanan.

Keunggulan Swiss terdapat di kedua bek sayap mereka, Stephan Lichtsteiner (kanan) dan Ricardo Rodriguez (kiri). Kendati tercatat sebagai pemain tertua di skuat Swiss saat ini dengan caps 101 kali, Lichtsteiner masih dapat mengandalkan pengalamannya bermain di level tertinggi bersama Juventus. Sedang Rodriguez merupakan pemain yang saat ini memang tengah mencuat kebintangannya. Selain mampu bermain menyerang dan bertahan sama baiknya, bek AC Milan ini juga memiliki kemampuan mengeksekusi bola mati.

Kelemahan Swiss tampak ketika mereka (dipaksa) bermain bertahan di bawah tekanan lawan seperti saat menghadapi Brazil. Aliran bola bagi Seferovic menjadi tersendat dan lini tengah minim kreatifitas karena orientasi menjaga area belakang menjadi opsi utama. Untuk mengantisipasi hal ini, Petkovic dapat memasukkan Breel Embolo, striker Schalke 04 berusia 21 tahun, yang memiliki kecepatan dan juga menjadi pemain termuda di skuat Swiss saat ini.

Dengan beragam potensi yang dimiliki masing-masing tim, juga dengan kondisi keduanya sebagai tim underdog, laga Swedia kontra Swiss diprediksi akan dapat menghasilkan kejutan-kejutan yang menarik untuk ditunggu kehadirannya.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS