Menuju konten utama

Suu Kyi Buka Suara atas Kritik Masyarakat Dunia pada Myanmar

Dalam pidato perdananya sejak krisis Rohingya terjadi bulan lalu, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintahan sipil pertamanya ini tengah menghadapi tantangan terbesar.

Suu Kyi Buka Suara atas Kritik Masyarakat Dunia pada Myanmar
Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi. REUTERS/Eric Vidal

tirto.id - Aung San Suu Kyi mengeluarkan pernyataan pembelaan pertama kali menyusul terjadinya kekerasan baru di Myanmar barat yang menggusur ratusan ribu warga etnis Rohingya dan melarikan diri menuju Bangladesh.

Dalam pidato perdananya sejak krisis kemanusiaan dimulai di negara bagian Rakhine bulan lalu, pemimpin de facto Myanmar itu mengatakan bahwa pemerintahannya, yang merupakan pertama kali dipimpin oleh sipil dalam beberapa dasawarsa, tengah menghadapi tantangan terbesar.

"Sedikit tidak masuk akal untuk mengharapkan kami menyelesaikan masalah ini dalam 18 bulan," kata Aung San Suu Kyi kepada Asian News International, dikutip dari The Guardian, Jumat (8/9/2017) "Situasi di Rakhine sudah seperti itu sejak beberapa dekade. Ini kembali ke zaman pra-kolonial. "

Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintah perlu "mengurus semua orang yang berada di negara kita (Myanmar), terlepas mereka warga negara kita atau tidak."

"Sumber daya kami tidak selengkap dan memadai seperti yang kami inginkan. Tapi kami tetap berusaha sebaik mungkin dan kami ingin memastikan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum," kata Suu Kyi menjelaskan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperingatkan bahwa 300.000 orang Rohingya terpaksa pergi ke negara tetangga Bangladesh saat mereka melarikan diri dari "operasi pembersihan" oleh Tatmadaw, angkatan bersenjata Myanmar.

Pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991 itu telah berulang kali didesak untuk mempengaruhi para pemimpin militer yang menguasai pemerintah selama beberapa dekade hingga 2015 lalu.

Tentara mengatakan bahwa pihaknya membasmi "teroris" di antara populasi Muslim etnis tersebut, termasuk pejuang dari Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah pasukan pemberontak yang menyerang puluhan lokasi keamanan pada 25 Agustus.

Sebanyak 1,1 juta Rohingya di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, selama beberapa dekade dianggap imigran ilegal serta ditolak kewarganegaraannya dan akses ke sebagian besar layanan pemerintah. Dalam lima tahun terakhir warga Rohingya telah ditargetkan dalam operasi militer yang menurut PBB bisa "sangat mungkin" merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa pemerintah masih perlu "memutuskan bagaimana membedakan teroris dari orang tak berdosa."

Pemerintah Myanmar mengklaim sekitar 400 orang terbunuh sejauh ini, meskipun pejabat PBB di negara tersebut memperkirakan jumlah korban tewas di lebih dari 1.000 orang.

Ratusan ribu lebih orang telah mengungsi termasuk 164.400 Rohingya yang diperkirakan telah menyeberang ke negara tetangga Bangladesh dalam dua minggu terakhir.

Myanmar mengatakan pasukannya memerangi sebuah kampanye yang sah melawan teroris yang bertanggung jawab atas serangkaian serangan terhadap polisi dan tentara sejak Oktober lalu. Pejabat kemudian menyalahkan militan Rohingya karena membunuh non-Muslim dan membakar rumah mereka.

"Kami perlu menghapus ancaman terorisme di wilayah tersebut," Ko Ko Hlaing, seorang penasihat presiden pemerintah sebelumnya, mengatakan pada Kamis (7/9/2017) di sebuah forum yang diatur oleh media milik militer untuk membahas krisis Rohingya.

Dia mengatakan bahwa rehabilitasi dan pembangunan serta masalah kewarganegaraan perlu diselesaikan. Namun prioritas utama adalah "detoksifikasi ideologi ekstremisme yang berbahaya.”

Sekjen PBB, António Guterres sebelumnya memperingatkan bahwa kekerasan di negara tersebut memicu pembersihan etnis dan dapat mengacaukan wilayah yang lebih luas.

Myanmar mengatakan sedang melakukan negosiasi dengan Cina dan Rusia untuk memastikan bahwa kedua negara itu dapat mencegah resolusi Dewan Keamanan PBB untuk krisis Rohingya.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Politik
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari